Kamis, 02 Juli 2009

HIPOSPADIA

Reza masuk ke kamar mandi. Setelah membuka restleting celananya, lalu berjongkok mengeluarkan air seninya. Begitulah cara Reza bila sedang berkemih. Dengan berjongkok, seperti layaknya anak perempuan. Reza tidak mungkin melakukannya di luar rumah. Di alam terbuka. Apa kata teman-temannya nanti, bila tahu bagaimana sebenarnya Reza saat berkemih? Pasti teman-temannya akan menertawainya. Mengejek. Bahkan mengolok-oloknya sepanjang waktu.
Aku menarik nafas di balik pintu. Reza semakin besar. Sekarang dia sudah kelas lima SD. Semakin melihatnya tumbuh dan berkembang, semakin aku cemas akan dirinya dan masa depannya. Kalau dilihat dari kondisi fisiknya, tidak ada sesuatu yang membedakan Reza dari teman-teman sebayanya. Begitu juga dengan perkembangan kejiwaannya. Di balik itu, ada sesuatu yang diderita Reza. Posisi lubang keluar kencingnya berada di bagian bawah penis. Kalau berkemih dengan cara berdiri, air seninya akan berserakan.
Saat usianya masih hitungan bulan, kelainan itu kutemukan. Aku sama sekali tidak paham mengenai hal itu. Tidak juga pernah kudengar orang membicarakannya. Kuajak suamiku menemui seorang dokter ahli di Medan. Teryata Reza mengalami kelainan hipospadia.
Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak laki-laki yang sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya. Anak laki-laki lain kalau buang air kecil berdiri, sedangkan anak pengidap hipospadia harus jongkok seperti anak perempuan (karena lubang keluar kencingnya berada di sebelah bagian bawah penis atau di tengah penis, atau di batang kemaluan dan sebagainya). Harus dilakukan operasi, karena bila dibiarkan, setelah dewasa dia akan kesulitan untuk membahagiakan pasangan hidupnya, sebab penisnya memiliki chordae sehingga menyebabkan bengkok dan dari hari ke hari tidak memiliki perkembangan seperti lelaki normal pada umumnya.
“Tujuan utama penanganan operasi hipospadia adalah merekonstruksi penis menjadi lurus, sehingga aliran kencing arahnya ke depan. Operasi dilakukan dalam dua tahap. Setelah penis berhasil direkonstruksi menjadi lurus dan memobilisasi kulit untuk menutup bagian bawah penis. Tahap selanjutnya membuat saluran kencing (uretroplasty) enam bulan setelahnya. Doker akan menentukan teknik operasi yang terbaik. Satu tahap maupun dua tahap disesuaikan dengan kelainan yang dialami si anak. Ada baiknya dilakukan sebelum memasuki usia sekolah,”ujar dokter yang kami temui.
Maka, sejak Reza kecil kutanamkan pengertian yang mendalam tentang kelainan yang ada pada dirinya. Dia tidak boleh buang air kecil di depan teman-temannya, karena dia berbeda dari anak lelaki lainnya.
Pintu kamar mandi terbuka. Reza keluar dengan setengah berlari. Aku menghindar dari pandangan Reza, tidak ingin dia mempertanyakan mendung di wajahku. Kuamati geraknya sampai dia bergabung dengan teman-teman sebayanya di luar rumah.
Tak lama lagi, Reza akan menjalani operasi. Setelah beberapa tahun sempat tertunda, karena ketiadaan biaya. Suamiku hanya seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta dan aku mengambil upahan menjahit. Kami harus membiayai ke empat anak kami dengan penghasilan yang pas-pasan. Bagaimana mungkin kami dapat menyediakan uang untuk biaya mengoperasi Reza sebanyak dua tahap?
Setiap hari aku berusaha dan berikhtiar, sekiranya ada seorang dermawan yang mau membantu. Kutepiskan segenap rasa malu di hati, yang kupikirkan hanya bagaimana anakku dapat meraih sertifikat normal sebagai anak laki-laki. Aku selalu berdoa, semoga Tuhan mau memberikan pertolongan-Nya lewat tangan seorang dermawan kepada kami.
Tak dapat kuhalau rasa syukurku, ketika seorang dermawan mengulurkan tangannya. Kami bertemu dan berbicara panjang lebar mengenai rencana mengoperasi Reza. Ternyata Sang Dermawan adalah seorang penderita hipospadia di masa kecilnya. Dia ikut prihatin dengan apa yang menimpa Reza.
***
“Reza sayang, kau sudah siap, Nak? Operasi akan segera dimulai dan akan memakan waktu dua jam setengah. Kau baik-baik ya. Jangan lupa berdoa,”kataku sambil mengusap kepalanya dan mengecup keningnya lembut. Reza mengangguk. Suamiku dan ke tiga anakku ikut memberi semangat pada Reza.
Aku berusaha tersenyum di balik perasaan tak menentu yang menghuni hatiku. Reza, betapa tegar dia menghadapi meja operasi. Tidak tampak sedikitpun kekhawatiran di wajahnya. Sebaliknya, akulah yang tidak sanggup menahan perasaanku sejak mempersiapkan keberangkatannya ke rumah sakit. Air mataku terus saja keluar, meski suamiku berulangkali menghiburku.
Seperempat jam berlalu, mataku tak lepas menatap ke arah pintu ruang operasi. Jantungku berpacu lebih cepat. Keringat menetes di dahiku. Belum pernah aku merasa setegang ini. Terbayang wajah Reza. Matanya. Hidungnya. Senyumnya. Tiba-tiba aku merasa sangat takut kehilangannya!
“Di saat dia sedang berjuang di meja operasi untuk meningkatkan kualitas hidupnya, kau merasa takut kehilangannya. Dulu, bukannya kau ingin melenyapkannya, saat dia masih berupa janin di perutmu? Kau takut melahirkan anak laki-laki lagi, menyusul ke tiga abangnya. Ibu macam apa kau, Marni?”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mendengar suara dari dalam lubuk hatiku sendiri. Kututup wajah dan telingaku. Kutinggalkan ruang tunggu dengan seribu galau dan kecamuk perasaanku. Tak peduli pandangan heran dari suami dan ke tiga anakku. Aku terus berlari, sampai tubuhku tersenggol troly yang dibawa petugas rumah sakit. Aku terjatuh di lantai.
Bahuku berguncang seiring tangisanku. Aku terhempas ke masa lalu. Saat mengandung Reza. Entah setan mana yang merasuki pikiranku, sehingga aku meracuni diriku dengan berbagai cara, tapi janin itu tetap pada posisinya. Tidak mau pergi.
Seorang perempuan tua akhirnya menyadarkan aku dari kekeliruanku. Diajarkannya aku untuk menerima karunia yang dititipkan Tuhan buatku. Sesuatu yang bernyawa di dalam rahimku. Bahwa sebuah penghargaan akan selalu diberikan kepada seorang ibu, karena syurga berada di bawah telapak kaki ibu. Tentu, sebagai ibu yang baik aku harus menjaga janinku dengan baik, bukan malah menyingkirkan kesempatannya untuk hidup. Menghirup aroma dunia.
“Marni, kenapa kau meninggalkan ruang tunggu? Kau sakit?”suamiku menyusulku dan menggapai tubuhku. Dia terkejut melihat pucat di wajahku. Langsung aku dipeluknya dan diberinya ketenangan. Aku menangis lagi di dadanya. Dengan terbata kuceritakan apa yang kurasakaan saat ini. Kudengar helaan nafasnya, tapi matanya tetap menyorot lembut ke mataku.
“Memang kau pernah keliru ingin mengaborsi janin di rahimmu, Mar. Mungkin kau khilaf, karena tidak ingin anakmu yang lahir laki-laki lagi. Sementara keinginan terbesarmu melahirkan anak perempuan. Tapi bukankah kau sudah menyadari semua khilafmu? Kau menerima apapun jenis kelamin anak kita, karena dia buah cinta kita berdua. Cahaya hidup kita. Kau membesarkan Reza dengan kasih sayang dan cintamu. Bahkan kau tidak letih mencari seorang dermawan untuk membantu pembiayaan operasi Reza. Kau seorang ibu yang luar biasa, Mar. Kau tidak boleh sedih lagi,”aku mendongak dan kulihat wajah suamiku tersenyum. Aku menghapus air mataku dan berusaha tegar menunggu operasi Reza selesai.
***
Minggu pertama pasca operasi membutuhkan kesabaran penuh dariku. Aku terus berikhtiar untuk kesembuhan Reza. Membesarkan hatinya untuk mencapai kondisi yang lebih baik baginya nanti. Dia masih harus berbaring di tempat tidur. Setiap hari kuolesi penisnya dengan salep dan terus kupantau perkembangannya. Jangan sampai terjadi infeksi pasca operasinya, karena saat ini dia masih memakai kateter.
“Bila Reza banyak bergerak, dikhawatirkan selang kateternya akan tertekuk, sehingga saluran buntu. Akibatnya pada saat kencing, pancaran kencing menyembur keluar melalui sekitar selang. Harus dilihat pula, kalau di bagian atas luka ada nanahnya, harus dikompres dengan betadine dan rajin mengganti kasanya dua kali sehari dan jangan dibungkus bila nanah sudah agak berkurang.”kata dokter yang mengoperasi Reza.
Pesan dari dokter itu selalu kuingat dan menjadi pedoman buatku untuk merawat Reza sampai dia dinyatakan sembuh. Mungkin apa yang kulakukan sudah semestinya dilakukan oleh para ibu. Terlebih-lebih lagi aku, ibu yang pernah hampir membuat sebuah kesalahan besar dalam hidupku. Aku ingin Reza segera sembuh dan melihat dia tersenyum bahagia. Tidak lagi harus malu bila ingin berkemih. Aku ingin merawatnya, menyayanginya. Lebih dari yang apa pernah kuberikan selama ini padanya!
***