Selasa, 08 Maret 2011

Bukan Sekedar Kata Maaf

Laki-laki itu sedang memeriksa mobilnya. Sebentar lagi, dia dan keluarga kecilnya akan berangkat menuju sebuah tempat wisata di kota Medan. Persiapan mobil telah benar-benar dia lakukan. Dari pengecheckan mesin, ban, dan sebagainya. Dia juga tidak lupa membawa segitiga pengaman, dongkrak, racun api dan kotak P3K.

Hari ini hari lebaran. Langit tampak putih, cerah tak berawan. Tampaknya langit dan cuaca ikut merasakan kebahagian yang dirasakan sebagian warga bumi, merayakan hari penuh makna ini. Dari corong mesjid, dari televisi dan dari bibir anak-anak kecil terdengar gema takbir berkumandang. Syahdu.

Lebaran telah tiba. Semua umat Islam menyambutnya dengan gembira. Hari kemenangan setelah berpuasa selama satu bulan. Kemenangan dari jeratan syaitan yang selalu menggoda manusia dengan berbagai cara yang menyesatkan.

Beberapa rumah tetangganya diramaikan kehadiran para kerabat dan tamu-tamu mereka. Ramai dan riuh. Namun tak lama, ada suara tangis bersahutan. Dia menurunkan kaca mobilnya dan memperhatikan lebih seksama ke arah rumah pak Jali. Tiba-tiba dia kaget. Di beranda rumah pak Jali, ada abang dan kakak iparnya, yang baru sampai dari Madina beserta anak-anak mereka.

Dahinya menyerngit. Setahu dia, selama ini di antara pak Jali dengan abangnya tidak terjalin hubungan silaturrahmi yang baik. Hubungan mereka terputus, karena adanya masalah seputar pembagian harta warisan almarhum orang tua mereka. Tapi kini, apa yang membuat mereka dapat akur kembali?

“Jali, sudah sekian lama silaturrahmi di antara kita terputus. Kita menjadi dua orang yang bermusuhan. Tak kenal dengan pribadi masing-masing. Tapi mulai sekarang, kita kubur semua perselisihan dan permusuhan di dalam hati kita. Abang minta maaf, kalau selama ini telah keliru menilai kau, Jali. Ternyata kau tidak seperti yang abang kira.”kata lelaki enam puluh tahun itu, tak melepaskan rangkulannya.

“Seharusnya akulah yang meminta maaf pada abang. Mungkin, sebagai adik aku tidak memahami perasaan abang. Apapun masalah yang kita hadapi, sebaiknya kita selesaikan dengan cara bermusyawarah, Bang. Kita tidak perlu bermusuhan, apalagi sampai memutuskan tali silaturrahmi. Istri dan anak-anak kita ikut menjadi korban permusuhan kita,”

Kedua abang beradik itu saling menumpahkan rindu, karena telah lama tidak berjumpa. Air mata mengalir dari kelopak mata mereka. Istri-istri mereka pun begitu. Anak-anak justru lebih pintar menyesuaikan keadaan. Mereka saling bercanda dan bekerjaran di halaman. Pandangan itu membuat hatinya berdesir. Seperti ada ombak bergulung-gulung di hatinya.

“Papaaaaa, kita sudah siap. Ayo, berangkat.”tiba-tiba lamunannya terpental dengan teriakan Silvi, anak ke tiganya. Bersama mamanya, Silvi dan dua kakaknya Samira dan Arif bergegas menuju mobil.

Dia kembali ke dalam rumah. Memeriksa semua pintu dan jendela. Setelah merasa semua aman, dia langsung menuju mobil.

“Bismillahirrahmanirrahim,”katanya mengawali perjalanan.

Di sepanjang jalan, tampak orang-orang bersiap-siap untuk pergi. Wajah mereka cerah ditimpa sinar mentari pagi. Pakaian mereka tampak bersih dan baru. Pasti mereka tidak ingin melewatkan hari penuh makna ini. Tentu mereka akan bersilaturrahmi ke keluarga, kerabat, ataupun temannya. Saling mengucapkan selamat datang idul fitri dan saling bermaafan. Mungkin tak seorang pun melewati hari ini dengan kesedihan.

“Andi, zaman sekarang ini, kayaknya lebih baik menganggap orang lain sebagai saudara, daripada saudara kandung kita sendiri. Saya pikir, sudah sulit sekali saya untuk berbaikan kembali dengan abang saya. Hubungan kami seperti sudah tamat,”kata pak Jali suatu senja di ambang teras rumahnya.

“Mungkin perasaan kita tidak berbeda, Pak. Saya juga merasakan hal yang sama dengan Bapak. Lebih baik kita mempererat hubungan bertetangga di antara kita ya, Pak. Daripada mengharapkan saudara kandung sendiri,”jawabnya.

Dia menarik nafas. Tiba-tiba melintas wajah kakaknya. Sudah enam tahun, dia tidak berbaikan dengan kakaknya. Bukan karena ada pertengkaran hebat di antara mereka atau perkelahian sengit. Hanya masalah sepele. Biasalah di kalangan saudara, terkadang suka iseng mengejek iparnya. Suami kak Raudah memang insinyur, tapi tidak punya karir. Hanya sebagai dosen perguruan tinggi swasta. Dosen terbang pula. Sementara kalau bicara seperti tahu segalanya.

“Insinyur bagaimana, paling-paling juga insinyur bantut. Tidak menghasilkan karya apa-apa. Omongannya saja yang besar, padahal nggak ada apa-apanya lah. Dia bisa hidup enak juga dari harta warisan kak Raudah,”

Pasti orang ketiga telah mengadu domba mereka. Di antara dia, kak Raudah dan abang iparnya. Bukankah orang ketiga lebih suka memecah belah? Memang itulah pekerjaan mereka. Mereka sangat senang kalau umpan mereka termakan oleh mangsanya. Buktinya tak jelang lama, kak Raudah meneleponnya. Kata-kata yang dilontarkan kepadanya sangat pedas. Sangat menyakitkan!

“Hebat kau, ya. Apa rupanya salah abang iparmu, sehingga kau menjelek-jelekkan dia? Apa kau lupa, kau bisa hidup enak dari warisan orang tua kita? Dan satu lagi. Kau pikir istrimu bagus sekali? Kakak dan adiknya kena stress, menjelang gila. Jangan-jangan istrimu bakal menyusul!”

Pertengkaran itu berbuntut panjang.

Di hari-hari selanjutnya, mereka jadi membungkam diri satu sama lain. Tiada sapa dan perjumpaan di antara mereka. Masing-masing dengan kehidupan sendiri. Bila bertemu tak sengaja di acara-acara kerabat dekat mereka, acapkali mereka saling membuang muka. Tidak memedulikan kehadiran satu sama lain. Mereka juga mundur dari acara arisan keluarga yang rutin setiap bulan.

“Lihat, Yah. Di mobil pick up itu banyak sekali penumpangnya. Seperti membawa kambing saja,”seru Arif mengejutkan.

“Hush. Tidak boleh menyepelekan orang lain, Nak. Mereka pasti sedang menuju rumah saudaranya. Mau merayakan lebaran bersama-sama. Kita harus bersyukur tidak kepanasan atau kehujanan seperti mereka.”jawab mama Arif. Andi menatap Arif dan mamanya dengan senyum. Lalu pandangannya kembali terarah ke jalan raya.

Bukankah hari lebaran seharusnya berkumpul dengan semua keluarga? Itulah hikmah Idul Fitri yang terbesar. Tapi kenapa dia mesti berangkat ke tempat wisata, membawa serta keluarga kecilnya? Tidakkah dia salut melihat tetangganya berbaikan kembali, setelah permusuhan merajai hati mereka? Tidakkah dia juga merasa kagum kepada orang-orang yang pulang mudik ke kampung halamannya, menempuh perjalanan yang lumayan jauh dan melelahkan hanya untuk bertemu dengan keluarga mereka tercinta?

Tiba-tiba jalanan di depannya macet. Klakson dari para pengguna jalan sahut menyahut. Satu bukti sikap ketidaksabaran yang dimiliki manusia. Dari arah kanan dekat tikungan jalan, tampak beberapa orang mengusung sebuah keranda. Disusul beberapa orang berjalan di belakang mereka. Menuju pekuburan umum.

“Innalillahi wa inna ilaihi ro’jiun.”ucapnya dengan satu keterkejutan. Hatinya berdebar tak menentu. Entah kenapa.

“Tidak seorangpun mengetahui kapan dia akan meninggalkan dunia fana. Maka, sebelum hal itu terjadi, kita harus persiapkan diri kita dengan amal dan ibadah yang sebaik-baiknya supaya ada bekal menuju hari akhirat,”kata-kata ustadz Taufik tiba-tiba menggema di telinganya.

Apa yang tidak dia lakukan demi kebaikan? Selama bulan puasa, dia melakukan ibadah puasa dengan baik. Dia juga banyak bersedekah kepada orang yang kurang mampu. Sholat tarawih tetap dia tegakkan, begitu juga sholat tahajud sebelum makan sahur. Tapi ketika dikaitkan dengan saudara kandungnya, dia sama sekali tidak ada artinya. Apakah amal ibadahnya itu akan diterima Allah, bila kepada saudaranya sendiri dia tidak bertegur sapa dan menjalin silaturrahmi?

Di depannya jalanan sedang lengang. Tiba-tiba sedang berfikir-fikir begitu dia membelokkan setir ke kanan. Mobil pun mengikuti gerakan dari tuannya menuju arah yang berlawanan dengan tujuan mereka sebelumnya. Ada apa ini? Istri dan anaknya saling pandang tak mengerti. Berbagai pertanyaan terlontar dari mereka, tapi dijawabnya dengan singkat.

“Lihat saja nanti. Tenang saja kalian di boncengan,”katanya dengan gurau.

Sampai di beranda rumah kakaknya, dia serasa mau pingsan melihat ke arah pintu. Kakaknya duduk di atas kursi roda. Dadanya bergemuruh. Segera langkah kakinya membawanya di hadapan kakaknya.

“Maafkan segala kesalahanku selama ini, Kak. Bahkan aku tidak tahu, kakak sakit dan harus berada di kursi roda. Aku adik tak berguna, Kak. Maafkan aku.”tangisnya meledak kini. Dia memeluk erat tubuh ringkih kakaknya, dengan segala perasaan berdosa yang selama ini dia biarkan tumbuh subur di hatinya.

“Tak ada seorang manusia yang luput dari kesalahan, Dik. Kakak juga minta maaf atas semua kesalahan kakak. Sudah saatnya kita kubur semua masa lalu. Umur tidak bisa ditentukan. Besok lusa kakak meninggal, kakak ingin kau di barisan paling depan membawa mayat kakak,”kakaknya tak kalah sedihnya. Suasana haru menyeruak di rumah itu.

Tak henti-hentinya Andi mensyukuri nikmat idul fitri ini. Tidak ada lagi kebencian dan permusuhan di hatinya. Andi bertekad akan lebih memperhatikan dan menyayangi kakaknya, lebih dari apa yang dapat dia perbuat pada tetangganya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan hari-harinya tanpa saudaranya lagi. Seperti kekeliruan yang telah dibuatnya selama ini.

***

Jejak Masa Lalu

PDF

Cetak

Email

Rina Mahfuzah Nst

Kalau saja ada kenderaan yang bisa membawaku kembali ke masa lalu, akan kunaiki kenderaan itu. Akan kutelusuri jalan menuju masa laluku, sampai kutemukan jejaknya.

“Amangboru meninggal! Amangboru sudah tidak ada lagi, Kak Ida!” Seseorang menggoncang-goncangkan tubuhku dengan keras. Aku membuka mata dengan susah payah. Perlahan aku duduk, dengan rasa mengantuk masih menggantung di mataku.

“Kakak tahu artinya meninggal? Tidak bernyawa atau hidup lagi dan tidak tinggal di rumah ini lagi, tapi akan diantar ke sebuah tempat pemakaman.” Sejurus kemudian, terdengar suara-suara berisik di luar kamar. Tidak seperti biasanya. Ke mana emak yang selalu membangunkan aku dengan suaranya yang lembut?

Begitu aku selesai mandi, perempuan itu menyodorkan aku sebuah baju berlengan panjang yang terus sampai ke mata kaki. Setelah itu kepalaku dipasang sebuah kerudung yang menutupi segenap rambutku. Begitu keluar kamar, aku melihat orang-orang sedang sibuk mengatur kursi-kursi di halaman. Menggelar ambal dan tikar di lantai. Ada juga yang memasang tiang untuk teratak di halaman.

Aku menguap. Sejenak mengganti posisi dudukku yang bersandar di dinding. Kini, di tengah ruangan diletakkan sebuah tempat tidur. Di atasnya dipasang sehelai kain yang lebar. Tidak seorang pun memerdulikanku. Perutku yang keroncongan. Tubuhku yang terasa gerah dengan baju dan penutup kepala ini. Semua sibuk dengan urusannya.

Pergi ke mana emak? Rasanya aku ingin minum dan makan. Biasanya emak sudah menyiapkannya untukku tanpa kuminta. Emak memang perempuan paling baik.
Aku menguap lagi, entah untuk ke berapa kali. Apa mungkin tidurku berkurang, karena aku cepat dibangunkan perempuan itu? Untuk apa dia membangunkan aku cepat-cepat? Ah, biar saja nanti kutanyakan pada emak, ucapku membatin.

Emak memelukku. Lama… Lama sekali. Kata emak, hari ini dia merasa sangat kehilangan. Laki-laki yang sangat dia cintai telah pergi untuk selama-lamanya. Emak mengabarkan kesedihannya itu lewat matanya yang basah, dengan bibirnya yang bergetar dan tubuhnya yang lemah lunglai.

Kata emak, ayah telah meninggalkannya dengan kematian yang sederhana. Sebelum ayah pergi, entah bagaimana tangannya terus dia letakkan di bahu emak. Seolah ingin mengucapkan selamat berpisah pada emak.

Aku tidak bisa menangis. Air mataku kering. Aku juga tidak bisa berfikir. Aku, bagaikan sebuah ruang hampa yang menanti seseorang datang menemaniku dan seseorang itu tidak lain dan tidak bukan, emak. Hanya emak yang melakukan semua itu untukku selama ini.

Cuma emak temanku bicara. Sering emak bilang, lelaki tua yang terbaring lemah di tempat tidur itu ayahku. Tidak pernah kami saling bicara, karena sudah lama sekali lelaki itu, hanya mampu memandangi orang-orang yang mengunjunginya. Tanpa dapat diajak dan mengajak bicara. Kadang dia menatap langit-langit kamar, kadang menangis, kadang menggugam entah apa.

Masih ada lima orang anak laki-laki emak. Kadang mereka datang sesekali, mengajak ayah dan aku bicara, tapi lebih sering mereka pergi. Di hadapanku terbaring lelaki tua yang sangat kurus, nyaris hanya kulit membalut tubuhnya. Wajahnya ditumbuhi jambang dan rambut yang memutih. Ketika kuletakkan tanganku di atas tubuhnya, terasa aku memegang sesuatu dari kulkas. Dingin dan beku. Apakah ini yang disebut meninggal dunia?

“Seandainya ayah kalian masih berumur panjang, berapa lama pun dia terbaring lemah di tempat tidur tetap akan aku rawat. Asal dia tak meninggalkan aku begini. Aku merasa hidupku tak berarti apa-apa, tanpa ayah kalian,” kata emak di atas tubuh ayah.

Meskipun emak menyebut ayahku telah meninggal, apa yang kuingat tentang ayah? Seperti apa sosoknya ketika dia hidup? Aku tidak mempunyai bayangan apa-apa tentang ayah. Aku juga tidak tahu, kata-kata apa yang dapat kuucapkan pada emak untuk menghibur hatinya?

Setelah bertakziah ke jenazah ayah dan memanjatkan doa, orang-orang menghampiri emak dan aku. Betapapun orang-orang itu menangis sambil memeluk emak, tapi tidak denganku. Tangisan mereka tidak membuatku ikut menangis. Aku hanya duduk diam, sesekali berkipas sambil memperhatikan orang-orang.

“Ayaaah…!” Seru seorang anak kecil sambil menangis. Lelaki yang dipanggil ayah membalik dan membawa anak kecil itu dari keramaian orang-orang. Apakah aku juga digendong ayahku sewaktu aku masih sekecil anak itu? Apakah aku juga sering menangis di dadanya dan minta perlindungan padanya?

Entah sejak kapan persisnya aku begini. Aku sama sekali tidak ingat seperti apa diriku. Bagaimana masa kecil dan remajaku. Siapa saja yang berperan dalam hidupku dan banyak hal lagi yang sepertinya tersembunyi rapat di dalam otakku. Begitupun aku tak pernah bertanya pada emak, pada ke lima saudara laki-lakiku mengenai banyak hal. Aku memang tak ingin mengetahuinya. Saat ini yang penting bagiku, disuguhkan minuman, makanan atau disuruh tidur.

Aku tak ubahnya seperti anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tidak berakal dan masih perlu perhatian dari orang tua dan sekelilingnya. Dibanding anak-anak itu, mungkin lebih menyedihkan lagi aku. Dengan tubuh yang membesar di bagian perut, paha, dada, wajah dan lengan membuatku susah untuk bergerak. Lebih sering pekerjaan yang kulakukan adalah duduk, diam dengan pikiran kosong dan hampa.

Saatnya untuk berziarah. Satu per satu kami berlutut di samping jenazah ayah. Husni, Taslim, Iqbal, Rusdi dan Lutfi bergantian memberikan penghormatan terakhir pada ayah. Begitu bibirku kutempelkan pada wajah beku milik ayah seperti yang diperintahkan emak, aku tidak merasa ada yang berubah dalam diriku.

Tidak seperti tubuh emak dan ke lima saudara laki-lakiku.yang bergetar hebat, saat mereka dekat dengan jenazah ayah. Ah, aku memang lain dari mereka dan aku tidak mengerti apa-apa tentang kematian, apalagi hidup?

Ketika keranda ditutup dan jenazah mulai diberangkatkan, orang-orang mulai melangkah ke luar rumah. Pelan, tapi pasti, mereka menjauh dari pandanganku. Ruangan ini pun melengang. Aku kembali duduk bersandar di dinding. Tak tahu apa sebenarnya yang aku pikirkan tentang ayah. Seperti apa dia dalam kenanganku.

Entah apa maksud perempuan itu dengan membolak-balik album foto yang sudah lama tak lagi kami buka. Kata emak, dia ingin tahu tentang ayah dan aku, karena dia dan Lutfi baru saja satu tahun menikah.

“Amangborumu itu seorang laki-laki yang pemberani. Dia tidak bersekolah tinggi, tapi dia lancar berbahasa Inggris. Dia juga pintar berniaga. Belum banyak orang di Medan menjual perabot Jepara, dia berani langsung memesan barang ke Jepara. Dia juga berkunjung ke luar negeri untuk mencari barang-barang antik yang bisa dijual di Medan.”

“Dulu, setiap hari amangborumu memangku Ida di depan jendela yang terbuka, sambil bernyanyi beberapa lagu kesayangannya. Terkadang dia membawa Ida jalan-jalan ke Istana Maimoon, Bandara Polonia, kolam renang Paradiso dan ke Mesjid Raya. Brastagi, Bukit Lawang dan Danau Toba juga sudah dikunjungi Ida.”

“Kak Ida anak sulung yang sangat disayang amangboru ya.” “Namboru, sejak kapan Kak Maulida sakit seperti ini? Apa tidak ada upaya penyembuhan untuknya?” heran perempuan itu. “Rani, tubuh Kak Ida itu enggak sakit, tapi jiwanya yang sakit.” Kata Lutfi menimpali.

“Awalnya, Ida didiagnosa dokter mengidap penyakit hepatitis B. Lama kelamaan kok Ida jadi seperti kehilangan gairah hidup. Dia tidak ingat apa-apa dan tidak bisa berfikir dan berbuat apa-apa. Dia tak ubahnya anak kecil yang mesti diurus dan diperhatikan. Pernah kami membawa Ida ke seorang yang memiliki ilmu kebatinan. Menurutnya, Ida menjadi korban perbuatan keji seseorang yang sebenarnya ingin mencelakakan amangborumu.” Kata emak menerangkan.

“Mak, sakit Ida bukan karena dibuat orang, tapi karena Ida tertekan dengan sikap ayah.” Tukas Lutfi. “Tidak, Lutfi. Ayahmu sudah tenang di alam baka. Jangan kau menyalahkan ayahmu atas apa yang terjadi pada Ida.”

“Mak, ada sifat ayah yang tidak bisa dia rubah. Keras dan temperamental. Tidak sedikit orang yang pernah tersinggung dibuatnya. Mak ingat, ayah juga pernah mengusir salah seorang sepupunya dari rumah kita, karena suatu hal yang sepele!” “Mungkin ada hal yang tidak kita ketahui telah terjadi pada mereka, Nak.”

“Mak salah! Itu karena ayah telah menuduh dia berbuat sesuatu yang tidak dia perbuat! Ketika dia membela diri, ayah malah mengusirnya!” “Cukup, Lutfi. Emak tidak mau mendengar lagi apa yang kau katakan!” suara emak terdengar parau disertai tangisnya. Emak berlari masuk ke dalam kamar.

“Mak, ini kenyataan! Emak tidak usah menutup-nutupinya. Sebagai anak sulung, setiap hari Kak Ida menyaksikan kekejaman ayah di rumah. Terhadap emak. Terhadap kami, lima anak laki-lakinya. Semua terekam dalam memori di otak Kak Ida. Dia tidak sanggup menerima perlakuan ayah, tapi seperti emak, dia juga tidak bisa protes! Akhirnya dia tertekan. Dia sakit. Jiwa Kak Ida sakit, Mak!” kata Lutfi dengan suara keras. Tubuhnya juga bergetar dan dia menangis.

Bersama ketidakmengertianku, aku seperti berada di atas sebuah perahu yang sedang terombang-ambing di lautan lepas. Ketika ombak yang bergulung-gulung datang bersama angin yang menggemuruh, perahuku tercampak. Tubuhku terbawa keganasan gelombang laut, entah ke mana!
Medan, 9 September 2009

Virya Design

© 2008 Harian Analisa. All rights reserved.

TAMU

Ada seekor kupu-kupu masuk ke dalam ruang tamu rumah kami, kemudian hinggap di atas gordyn jendela. Kupu-kupu itu berwarna coklat, tubuhnya mungil. Tiba-tiba dia bergerak, terbang mengelilingi ruang tamu, hinggap di atas lampu. Mungkin dia tidak merasa nyaman disitu, lalu dia beraksi lagi memperlihatkan kelihaiannya terbang. Kini dia berputar-putar tepat di atas kepala kami.

“Ita, mungkin akan datang seorang laki-laki ke rumah ini, untuk melamarmu. Soalnya sedari tadi dia overacting terus di depan kita,” kata Kak Dina, matanya masih lekat ke arah kupu-kupu itu. Kini hinggap di atas lemari.

“Kakak kayak peramal aja. Kupu-kupu kok diibaratkan laki-laki yang akan melamarku? Biarkan saja kupu-kupu itu, Kak. Lagian aku juga belum punya pacar,”

“Siapa tahu firasat kakak benar, Ta. Mungkin masalahmu hanya kurang membuka diri. Ingat, umurmu tidak lagi muda, Ta. Kau tidak ingin begini terus kan?”

Aku tidak menjawab, tapi menatap sekilas pada kupu-kupu itu. Tiga puluh enam, usiaku sekarang. Memang bukan usia yang muda lagi. Kalau aku sudah menikah, mungkin saat ini aku sudah punya anak-anak yang lucu dan pintar. Mungkin ada yang sudah sekolah, tapi ada juga yang masih kecil.

“Ya..mudah-mudahan firasat kakak tidak meleset, aku juga nggak ingin begini terus, Kak,” jawabku mantap. Kak Dina menganggukkan kepalanya.

***

“Siapa perempuan itu? Rasanya aku pernah melihat wajahnya sebelumnya, tapi kapan dan di mana ya?” pikirku. Perempuan paruh baya itu duduk di salah satu kursi di ruang tamu dan Kak Dina sepertinya sangat senang menyambut kehadirannya.

“Ta, kau ingat kupu-kupu yang datang tadi malam? Ternyata kita kedatangan tamu jauh ya sore ini,” ujar Kak Dina riang.

“Hallo, Ita. Apa kabar? Baru pulang kerja? Anakmu sudah berapa?” tanya sang tamu memberondongku.

Aku tidak menjawab, tapi langsung mendekatinya dan menjabat tangannya. Masih juga aku belum mengingat siapa dia sebenarnya. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya tentang anak? Kenyataannya menikahpun aku belum!

“Memangnya kau tidak mengenal dia?” tanya Kak Dina, kusambut dengan gelengan kepala. Aku memang tidak ingat siapa dia.

“Kau sudah sering melihat foto-foto kami, saat kakak berkunjung ke rumahnya di Jakarta,” lanjut Kak Dina. Foto-foto Kak Dina di Jakarta? Tapi aku belum pernah melihat perempuan paruh baya ini di dalam foto.

“Dia, Mariani. Istri almarhum Letkol Mustafa. Teman akrab kakak waktu di SMA 5 Medan,” kata Kak Dina menerangkan. Seketika aku terpana. Tidak percaya kalau perempuan di depanku ternyata Kak Mariani yang pernah satu SMA dengan Kak Dina.

“O, ya? Benarkah dia, Kak Mariani?” kagetku dalam hati. Sebab Kak Mariani yang pernah kulihat dalam foto sangat jauh berbeda dengan perempuan ini.

Yang kulihat saat ini adalah perempuan bertubuh ringkih. Beberapa bintik hitam menghiasi wajahnya. Rambutnya tidak tersisir dengan rapi, sebagian besar tampak acak-acakan. Dia memakai baju atasan warna ungu yang agak pudar dan rok warna kuning kecoklatan. Sungguh, warna yang tidak nyambung.

Berbeda sekali dengan wajah yang pernah kulihat di foto. Dalam foto di Taman Mini Indonesia Indah itu wajahnya cantik. Pipinya putih berisi, dengan sapuan make up tipis. Pakaiannya rapi dengan warna yang cerah. Kala itu, ada sebuah selendang tipis yang menutupi rambutnya.

“Oh, iya. Aku ingat. Kakak yang memberikan sebuah guci cantik dan beberapa asbak unik untuk Kak Dina kan? Guci dan asbak itu benar-benar dijaga oleh Kak Dina. Tapi setelah Kak Dina punya cucu, asbaknya pecah tiga dan tinggal dua buah,” kataku. Perempuan itu tertawa. Nampaklah deretan giginya yang sepertinya sudah jarang disikat.

“Din, dulu kita kan punya teman yang pernah hanyut waktu mandi di sungai. Siapa ya namanya? Oh, Norma. Untung dia masih bisa diselamatkan si Butet. Di mana ya dia sekarang tinggal?” Dia dan Kak Dina tertawa mengenang peristiwa itu.

Sepertinya dalam beberapa menit bersamanya, aku membuat kesimpulan kalau berbicara dengannya tidak nyambung. Kita bicara tentang “A”, tapi dia bicara tentang “U”. Kulihat dia juga sering menerawang. Entah melamun atau sedang berfikir.

Pada saat makan malam, kami mengajaknya makan. Dia makan sampai nambah dua kali. Dia bilang, masakan Kak Dina enak sekali. Di rumah, dia dan ke dua anaknya tak pernah makan seenak ini. Mereka lebih sering makan mie instan dan telur. Mereka sudah lama tidak makan ikan kakap sambal dan gulai daun ubi tumbuk seperti yang dimasak Kak Dina hari ini. Aku ikut prihatin mendengarnya.

“Setelah kepergian almarhum suamiku, nyaris aku tidak bisa melakukan apa-apa, Din. Aku mengalami depresi selama beberapa tahun. Pelan tapi pasti semua aset terjual dan kami pindah ke Medan. Aku hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suamiku sekarang. Selain itu aku tak bisa apa-apa. Aku seperti layaknya anak-anak yang tidak bisa diajak berfikir tentang sesuatu.”

“Kau tidak boleh berputus asa, Mar. Hadapilah semua ini dengan tegar. Kau harus bersyukur, kau masih diberi dua anak laki-laki yang menyayangimu. Seharusnya merekalah alasanmu untuk terus bertahan,” jawab Kak Dina.

Perempuan itu tak menyahut. Lagi-lagi dia menerawang dalam diam.

Kehidupan memang penuh dengan rahasia. Siapa sangka Kak Mariani yang seorang istri Letkol berubah menjadi perempuan yang tak punya semangat hidup. Dulu hidupnya senang. Makan enak, tidur nyenyak, mau pergi ke mana-mana pakai mobil. Mau shopping barang-barang yang disukai tinggal pilih. Di rumah dia tinggal perintah pada pembantunya. Tapi sejak ditinggal suaminya, hidupnya bagaikan tak berjejak di bumi.

“Barangkali dia tidak menyisakan sebuah ruang di hatinya untuk satu keyakinan, bahwa hidup tidak selamanya menyenangkan. Adakalanya cobaan datang tanpa pernah memberikan sebuah tanda.” Bisik hatiku sambil melirik padanya.

“Kapan ya aku bisa kembali ke Jakarta lagi? Menjalani kehidupan yang menyenangkan seperti dulu lagi? Ke Jakarta aku kan kembali..” tiba-tiba terdengar senandungnya. Aku terpana melihat ke arahnya.

Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke Jakarta? Sedangkan hidupnya sekarang hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suaminya. Apalagi ke dua anak laki-lakinya tidak jelas pekerjaannya.

“Ke Jakarta aku kan kembali…”

***

Seminggu kemudian, dia datang lagi ke rumah. Kini, membawa sebuah bungkusan. Tapi bukan buah tangan untuk Kak Dina. Entah apa.

“Apa aku mengganggumu?”

“Tidak,”

“Tapi baru seminggu yang lalu aku ke rumahmu,”

“Tidak ada masalah bagiku. Lagipula, aku kan yang menyuruhmu sering-sering ke rumahku? Masuklah kau,”

Dia duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di sebelahnya. Hari sudah menjelang senja. Itu berarti dia akan pulang malam lagi seperti seminggu lalu, tapi dia tidak merasa khawatir sedikitpun. Dia merapikan rambutnya yang agak susah diatur.

“Kau lagi ngapain, Din? Biar kubantu. Menyapu atau mencuci piring kotor,” katanya menawarkan diri. Hanya sebatas omongan, tapi tidak benar-benar ada tindakan.

“Nggak usah. Kau kan tamuku,” jawab Kak Dina.

Ketika aku meletakkan secangkir teh dan sepiring biskuit di meja, perempuan itu memandangku dengan pandangan yang ramah. Lalu dia berkata :

“Makasih ya, Ta. Kakak sudah merepotkan,” alamak, ucapannya barusan mengeluarkan aroma yang kurang sedap dari mulutnya. Cepat-cepat aku beranjak, sambil mengatakan kalau aku dan Kak Dina sama sekali tidak repot dengan kedatangannya.

“Ini kain songket, telekung, rok dan accessories. Aku tak pernah memakainya lagi, tapi masih bagus. Aku ingin menjualnya, terserah kau mau bayar berapa, Din,” katanya dengan wajah memelas. Dia juga menatapku penuh harap.

Seperti Kak Dina, aku juga menolak dengan halus. Aku hampir-hampir tidak pernah memakai kain songket dan rok. Aku lebih sering memakai celana panjang dan kemeja. Sementara telekung dan accessories milikku sudah banyak, aku belum membutuhkannya lagi.

“Tolonglah, Din. Persediaan beras dan mie instan di rumahku sudah habis. Dari pagi aku ke luar dari rumah, numpang makan di rumah kerabatku, tapi tidak ada yang mau meminjamkan uangnya padaku. Padahal kalau aku sudah ambil pensiun nanti, akan kubayar hutangku,” katanya.

Mungkin karena tak sampai hati, Kak Dina memberikan sejumlah uangnya pada sahabatnya itu. Kak Mariani menerimanya dengan wajah gembira, sambil mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum pulang, dia meminta sesuatu lagi dari Kak Dina.

“Din, kalau boleh aku minta beberapa mangkuk berasmu dan laukmu hari ini untuk makan malam anakku. Kau tidak keberatan kan?”

Kak Dina terdiam sebentar, lalu menggeleng. Di rumah ini kami memang hanya tinggal berdua. Ke tiga anak Kak Dina yang sudah menikah tinggal di rumah yang berbeda dengan kami. Tentu tidak menjadi masalah bagi Kak Dina memberikan beras maupun sisa lauknya kepada Kak Mariani. Dia bukan hanya sekedar tamu, tapi sahabat lama yang sudah lama tak bertemu.

“Ita, tolong hubungi no handphone ini. Kakak mau minta dijemput sama Iwan, anak sulung kakak,” katanya sambil mengangsurkan secarik kertas padaku. Aku menerimanya dan setelah hubungan tersambung, kuangsurkan handphoneku padanya.

Iwan datang untuk menjemput ibunya, saat jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sebenarnya aku ingin segera tidur, karena besok akan mengikuti meeting pagi di kantorku. Tapi Kak Mariani menahanku, dengan alasan ingin mengenalkan aku pada putranya itu. Aku tak bisa mengelak. Perkenalan itupun berlangsung seadanya. Wajar, tapi tidak dengan Kak Mariani.

“Ita, kalian kan sama-sama belum menikah. Siapa tahu kalian bisa cocok. Kakak udah pengen sekali punya cucu seperti kakakmu,” hampir copot jantungku mendengar ucapannya, tak menyangka dia punya ide seperti itu terhadapku!

“Ada-ada saja kakak. Usiaku kan sudah tiga puluh enam,” jawabku cepat.

“Zaman sekarang banyak orang menikah tidak mempermasalahkan soal umur, Ta. Asal sama-sama suka ya sudah,” balasnya dengan mantap.

“Jadi si Ita tutur apa sama kau nanti, Mar? Ibu atau namboru?” gelak Kak Dina. Aku langsung pamit ke belakang, tak ingin lagi memperpanjang pembicaraan itu.

Aku benar-benar heran dengan jalan pikiran Kak Mariani. Sepertinya perilakunya aneh. Apakah penurunan tingkat ekonomi dalam hidupnya telah merubah semuanya?

***

Tiga hari kemudian Kak Mariani muncul lagi. Penampilannya makin tak karuan. Wajahnya nampak semakin gelap, pakaiannya minus kerapian. Dia datang di saat langit memantulkan warna senja yang indah. Tapi kabar yang disampaikannya sebaliknya!

“Pihak PLN mengeksekusi meteran listrik kami. Rumah kami gelap gulita. Aku tidak punya uang sepeserpun untuk membayarnya. Sudah enam bulan pensiun suamiku dipotong untuk membayar hutang di Bank. Waktu itu kami mengagunkan surat pensiunnya, untuk modal usaha anakku. Tapi karena anakku tidak mempunyai pengalaman, usaha itu hancur. “

Apa? Listrik di rumah Kak Mariani dieksekusi pihak PLN? Dan surat pensiun suaminya diagunkan ke Bank?

“Maaf, Mar. Kali ini aku tidak bisa membantumu. Pada dasarnya kita sama-sama hidup dari pensiunan suami. Suamimu Letkol dan suamiku seorang guru sekolah dasar. Kita sama-sama telah kehilangan orang yang sangat kita kasihi. Tapi aku dapat menyikapinya dengan tegar dan penuh percaya diri. Tidak seperti kau. Hanya terpaku pada masa lalu yang pernah kau rasakan. Hidup terus berjalan, meski tanpa seorang suami. Anak-anakku tumbuh dengan kedewasaan berfikir, sedangkan anak-anakmu biasa dimanja, sehingga sampai sekarang tidak bisa lepas darimu. Padahal mereka anak laki-laki, tidak sepantasnya kau yang memberi makan mereka. Maafkan aku tak bisa membantumu.” buru-buru Kak Dina beranjak ke kamar. Aku yakin, Kak Dina terpaksa melakukannya pada sahabatnya ini!

Perempuan itu menangis berurai air mata. Aku tak tega melihat keadaannya. Kuangsurkan sejumlah uang untuknya. Dia menggenggam tanganku. Air matanya jatuh menimpa jariku. Lalu dengan tersendat dia bilang :

“Ita, suatu saat kakak akan hidup senang lagi. Kakak akan membalas kebaikanmu dan Dina. Dulu, almarhum suami kakak pernah mengungkapkan kalau dia menyimpan harta karun di suatu tempat rahasia. Dia belum sempat mengangkatnya dari dasar laut, karena keburu dipanggil Tuhan. Doakan ya suatu hari kakak akan menemukannya, Ita.”

Apa lagi ini? Pikirku. Tapi tak sampai kutanyakan padanya, karena dia keburu pergi. Berhari-hari setelahnya, berminggu-minggu kemudian, bahkan sampai angka tahun berganti kutunggu kehadirannya untuk bertanya, tapi dia tak pernah kembali lagi. Tak pernah! ***

Ajarkan Aku Menulis Tentang Cinta

Dari balik buku bacaannya, Reihan mencuri pandang ke arah cewek yang sedang berdiri di depan kelas. Tubuhnya mungil, hidungnya bangir. Matanya bulat dan rambutnya yang hitam dibiarkan tergerai sampai ke bahunya. Astrina, nama gadis itu. Biasa dipanggil Ririn. Semua warga kelas sudah tak perlu mengerutkan kening lagi, jika ada makhluk luar angkasa, eh kelas lain di SMA Favorit ini bertanya tentang si manis itu.

Bagaimana dia tidak dikenal? Mulai dari sie kesenian Osis, bendahara kelas dan pengurus mading sekolah dia pegang. Dia tidak pernah ketinggalan kereta untuk hal-hal berbau kegiatan sekolah. Dia juga pandai mengatur strategi dan posisi teman-teman bila ada rencana ingin mengadakan suatu kegiatan.

“Teman-teman, dalam beberapa bulan mendatang di sekolah kita akan kedatangan dua orang penulis terkenal yang ada di Kota Medan. Sebagai tuan rumah yang baik, sudah sewajarnya kita menampilkan yang terbaik dari sekolah kita, khususnya kelas kita,”beritahu Ririn pada seisi kelas.

“Memang acaranya seperti apa, Rin? Siapa aja penulis yang akan mengisi acara?”Siska balik bertanya.

“Acaranya kita buat seperti temu ramah. Jadi, bagi siapa yang ingin bertanya dan belajar mengenai dunia tulis menulis, inilah saatnya dan disinilah tempatnya. Kita akan menghadirkan Januar Sianturi, penulis yang sudah menghasilkan ratusan cerpen dan puisi dan beberapa novel. Ada juga Liana Batubara yang kreatif menulis cerpen dan puisi di koran lokal Medan dan media nasional,”

Beberapa cewek bertepuk tangan. Mereka menyambut baik acara yang akan digelar di sekolah mereka, apalagi akan menghadirkan penulis yang sudah sering mereka baca karyanya di koran dan majalah.

“Terus apa yang akan kita persiapkan untuk itu, Rin?”tanya Wina antusias.

“Nah, disinilah perlunya kita berembuk untuk bisa menghadirkan acara yang mengandung unsur seni, tapi tetap mencerminkan jati diri kita sebagai pelajar. Menurut kalian apa saja ‘pertunjukan’ yang bisa kita tampilkan nanti?”

Reihan masih duduk di bangkunya di kursi paling belakang. Teman-temannya sedang sibuk memberikan ide-ide mereka. Ada yang mengusulkan baca puisi. Ada yang menawarkan diri menjadi panitia. Ada juga yang ingin menari. Main drama dan sebagainya. Ririn tetap antusias mendengarkan semua aspirasi dari teman-temannya.

“Bagaimana kalau kau membaca puisi, Rei? Kau bisa kan? Sedari tadi kau hanya diam saja di bangkumu?”bagai seekor kucing yang tersiram air dingin, pertanyaan Ririn membuat Reihan terkejut. Sekuat tenaga dia berusaha menetralkan sikapnya.

“Ehm, puisi ya, Rin? Aduh, seumur-umur aku belum pernah baca puisi. Aku takut nanti malah malu-maluin. Bagaimana kalau yang lain aja, Rin?”jawaban Reihan yang jujur malah ditanggapi teman-temannya dengan nada protes.

“Tidak ada salahnya mencoba, Rei. Pada dasarnya kita mampu melakukan sesuatu, kalau kita mau mencobanya dan tidak mengenal kata menyerah,”

Mulut Reihan masih separuh terbuka, saat Ibnu menyusul ke bangkunya. Di depan kelas, Ririn mulai sibuk mencatat agenda kegiatan mereka dan nama-nama calon pengisi acara beserta nama panitia.

“Kok Ririn bisa nyuruh aku yang baca puisi ya, Ib? Macam mana aku tampil di panggung membaca puisi nanti. Aduh, tolong aku, Ib,”kata Reihan sedikit memelas.

“Belajarlah kau sama si Ririn. Kapan lagi kau bisa dekat dengan cewek yang kau taksir kalau tidak sekarang?”jawab Ibnu. Reihan semakin melongo. Bagaimana Ibnu tahu kalau dia menaruh hati pada Ririn?

“Alah, nggak usah pura-puralah. Aku bisa menangkapnya dari sinar matamu. Dari raut wajahmu. Aku mengerti perasaanmu,”

“Tapi kau bisa jaga rahasia kan? Jangan bilang siapa-siapa ya,”

Ibnu terkekeh sambil berlalu dari kelas II-A. Untung Ririn dan teman-teman tidak mendengar, karena sudah beranjak ke kantin. Reihan masih tidak percaya kalau Ririn memberinya tugas berat ini. Padahal Ririn pasti tahu, kalau Reihan berbeda dengan dirinya. Tidak seperti Ririn, dia cenderung jarang mengikuti kegiatan di sekolah. Reihan juga tidak ada posisi di kepengurusan Osis.

Besoknya, Ririn mulai menyerahkan sebuah puisi ke tangannya. Ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri. Meski dengan perasaan gusar, diterimanya juga. Di rumah, dia mulai berlatih. Di depan cermin besar di dalam kamarnya dia berdiri memegang puisinya.

Reihan mencoba berdeklamasi, layaknya seorang pembaca puisi handal. Reihan berhenti. Jangankan orang lain mendengar, dia sendiri saja tidak tertarik dengan gaya deklamasi yang dia tampilkan. Reihan malah terpantul sosok tubuhnya sendiri. Bagaimana dia akan menutupi penampilannya di atas panggung, dengan pipi ditumbuhi beberapa jerawat batu seperti ini? Apakah para penonton akan mendengarkan pembacaan puisi darinya atau akan memperhatikan jerawat di pipinya? Reihan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Lelah memikirkan kekurangan dirinya, Reihan pun jatuh tertidur.

***

“Jadi cowok mesti beranilah, Rei. Justru dengan kekurangan yang ada pada dirimu, kau tutupi dengan kelebihanmu. Kalau kau terus-menerus memikirkan kekuranganmu, kapan kau akan terlepas dari rasa takutmu?”

Reihan tercenung. Ternyata bisa juga Ibnu mengucapkan kata-kata bijak. Tiba-tiba dia merasa mendapat semangat baru. Dia merasa tertantang untuk tampil dengan lebih baik. Setiap hari dia berlatih di depan cermin besarnya. Semua rasa takut ditelannya. Dia tidak saja ingin tampil prima saat baca puisi. Dia juga ingin punya satu tiket menuju hati Ririn!

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Sebuah panggung dan atribut acara telah dipersiapkan oleh panitia. Pergelaran pertama ditandai dengan sebuah tarian serampang dua belas dari teman-teman cewek, gabungan dari beberapa kelas. Disusul dengan pembukaan oleh moderator, yang dipegang Ririn. Kata sambutan mengalir dari wakil kepala sekolah. Setelah itu nama Reihan dipanggil untuk membacakan puisinya.

Apapun yang terjadi, inilah saatnya dia menampilkan apa yang ada pada dirinya. Semua mata tertuju padanya, khususnya Ririn! Reihan berdiri tegak. Tangan kanannya memegang mic. Tangan kirinya bergerak mengikuti puisinya.

MALAM

Oleh : Sutardji Calzoum Bachri

Angin menepuk bukit bukit yang terbaring

Tidur tidurlah

Dan pepohonan berbuai kantuk

Tangkai-tangkai merunduk

Tiarap dalam kelam

Dan beberapa kelepak elang berputar

Mencari rimbun kantuk yang paling lelap

Kemudian langit diamlah

Jadi kelabu dipukau kelam

Dan kau menengadah

Mencari bulan atau bintang atau celah di langit

Tempat lewat keabadian

Dan kau hanya menengadah setengah

Dan terpaksa senang pada lelampuan jalan yang memusingkan

Matamu dengan gerogotan binatang malam

Dan tiba-tiba kau terpikir

…. Mengapa tak kuambil saja batu

dan melempar segala lampu-lampu yang memusingkan

siapa tahu dalam pekat gelap

cahaya yang paling sekarat di langit

akan dapat disimak

menunjukkan arah keabadian

Intonasi suara diaturnya sedemikian rupa. Begitu juga mimik wajahnya. Reihan seakan sudah menyatu dengan puisi yang dibacanya. Alhasil, tepuk tangan meriah terdengar di penghujung penampilannya.

Kini, mata teman-temannya tertuju pada Januar Sianturi. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menceritakan riwayat kepenulisannya, sehingga bisa seperti sekarang.

“Adik-adik, percayalah. Dengan menulis kalian bisa menguasai dunia. Mulanya saya menulis hanya menyalurkan hobi. Tidak lebih, tapi semakin lama saya merasa dengan menulis hidup saya lebih berarti. Saya bingung kalau tidak menulis. Mungkin saya juga sakit bila tidak menulis. Maka, menulis menjadi jalan hidup saya. Profesi saya. Saya ingin berkeliling dunia dengan menulis. Ayo, mulai sekarang galilah potensi yang ada pada diri kalian. Jangan takut mencoba. Jalan terbentang di depan kalian,”tepuk tangan riuh terdengar. Beberapa siswa ingin melayangkan pertanyaan kepada nara sumber.

“Katanya menulis itu gampang. Saya seringkali tidak bisa mewujudkan apa yang ingin saya tulis, saat berada di depan komputer. Pikiran saya seperti buntu. Tidak tahu apa yang mau saya tulis,”kata Siska melepas uneg-unegnya.

“Kalau begitu, jangan hanya duduk diam. Ke luarlah. Cari ide-ide yang bisa adik temukan di mana saja. Makanya adik perlu memiliki sebuah buku catatan. Setiap ada hal penting atau kejadian tertentu, adik bisa mencatatnya dahulu di buku itu. Lama kelamaan buku itu akan penuh dengan catatan. Barulah adik kembangkan di dalam komputer,”kali ini giliran Liana Batubara menanggapi. Siska manggut-manggut tanda mengerti.

Tanya jawab terus mengalir di antara para siswa dengan nara sumber. Tampaknya acara temu ramah kali ini mendapat sambutan yang luar biasa dari semua siswa. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan bertemu penulis top Kota Medan. Gelar kreatifitas SMA Favorit kembali hadir dengan pementasan sebuah drama berdurasi pendek. Mengetengahkan cerita tentang kekerasan di sekolah yang diibaratkan seperti monster. Semua hadirin bertepuk tangan memberikan applaus kepada para pemain.

***

“Penampilanmu kemarin bagus, Rei. Aku belum pernah melihat kau seperti itu sebelumnya,”puji Ririn sebelum bel masuk kelas berbunyi.

“Makasih, Rin. Itu juga berkat dukungan kau dan teman-teman. Rasa percaya diriku jadi lebih tinggi sekarang,”jawab Reihan. Ririn tersenyum.

“Rin, koleksi tulisanmu pasti sudah banyak. Aku juga ingin menulis sepertimu. Ajarkan aku menulis, Rin,”ucapan Reihan mengalir bagai air. Ririn tersipu.

“Aku memang menulis dari SMP, tapi baru berani mempublikasikannya di SMA. Jadi tulisanku masih sedikit. Tulis aja apa yang mau kau tulis, Rei. Gerakkan hatimu,”

Bel pelajaran pertama berbunyi. Itulah percakapan yang mengawali keakraban mereka. Ririn menunjukkan kliping tulisannya ke Reihan. Ada puisi, cerpen dan artikel remaja. Ririn juga meminjamkan buku panduan menulis untuk Reihan.

“Rei, kalau ingin menulis dengan baik, syaratnya harus banyak membaca. Aku yakin, kalau kau mau belajar dan berlatih, kau juga bisa seperti aku. Bahkan bisa seperti Januar Sianturi dan Liana Batubara!”kata Ririn.

Maka, Reihan pun ingin menulis apa yang bergolak dalam hatinya. Diambilnya kertas dan pulpen. Terbayang wajah Ririn. Senyumnya. Rambutnya. Reihan ingin mengungkapkan bahwa apa yang ada di dalam diri Ririn dia suka dan dia mulai merasa aneh bila sehari saja tidak bertemu Ririn.

“Rin, ajarkan aku menulis tentang hati, perasaan dan cinta, karena aku masih sulit mengungkapkannya dengan kata-kata,”entah kenapa kata-kata itu keluar dari mulut Reihan.

Ririn tersipu. Angin menyibak rambutnya. Daun-daun randu di pekarangan sekolah ikut bergoyang.

“Kapan kau mulai mengajarkan aku, Rin?”

Reihan masih menunggu, tapi Ririn masih saja diam tak mau bicara. Dia malah sibuk mengatur denyut jantungnya yang tiba-tiba saja tidak beraturan.

***

Lagu Biru Buat Ayah

Ada dua tempat yang paling tidak ingin kukunjungi. Pertama, rumah sakit sebagai tempat penampungan bagi orang-orang yang sakit terlepas dari jenis penyakit dan umur penderitanya. Dan kedua, pasar sebagai tempat bertemunya para penjual dan pembeli yang konsekuensinya melahirkan suasana yang tidak menentu.

“Lucunya” aku berada di rumah sakit sekarang (kalau memang aku boleh memilih kata itu walau sejak empat hari yang lalu aku belum tertawa sederai pun). Dan untuk sementara harus kuredam keinginan untuk mengalergikan rumah sakit. Karena kini, ayahku tengah berjuang melawan penyakit “jantung” di ruang ICU rumah sakit ini.

Tidak ada yang dapat kulakukan di ruang tunggu ini. Diantara orang-orang berwajah gelisah dan penuh penantian sepertiku. Mataku yang kurang tidur menangkap riak kegembiraan bagi pihak yang berhasil membawa pulang keluarganya yang semula sakit dengan selamat. Tak luput penglihatanku melihat kesibukan para suster yang menangani pasien yang baru sampai. Sama sibuknya dengan para dokter yang kemerut di keningnya membikin perasaan was-was kami yang menanti kabar. Aku bisa melihat semua itu dengan pikiran yang melayang bagai daun dipermainkan angin.

“Tidaaak! Jangan tinggalkan kami, Yah! Bukankah Ayah masih ingin melihat kami mengenakan toga? Ayah tidak boleh pergiii,”

Deg! Raungan seorang gadis yang menghantarkan jenazah sang Ayah menuju mobil ambulance sempat membuat korsleting jantungku. Perih sekali jerit tangisnya. Orang-orang di sekelilingku menatap dengan iba.

Aku memijit keningku yang terasa memberati kepalaku. Dengan susah payah kuajak berdamai hatiku yang mulai kecut. Aku tidak ingin hatiku terperangkap di tempat ini. Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah selatan rumah sakit. Di hadapan aneka ragam bunga dan sebuah kolam ikan dengan air mancur di tengahnya aku berhenti. Aku menghela nafas, berada di tempat ini membuat hatiku mulai tenang.

“Hei, kunyuk ! Ngapain kau di sini?”seseorang menepuk pundakku. Aku membelalakkan mata begitu melihat siapa yang telah mengejutkanku.

“Ah, kau rupanya. Kau sendiri ngapain, brur?”aku balik bertanya.

“Kau duluan lah yang jawab,”ia bersandar di pilar. Mau tak mau aku tersenyum melihat mimik wajahnya.

“Ehm, Ayahku, sejak empat hari yang lalu nginap di ruang ICU, Kat,”

“Oooo,”angguknya sambil menatapku. Lalu memandang ke arah lain.

“Kau sendiri belum menjawab pertanyaanku,”protesku. Katrin terdiam.

“Heh, ayam tetanggaku banyak bengong mati lo, Kat,”tawaku disambutnya dengan hangat.

“Sama. Ayahku juga baru meninggal setengah jam yang lalu.”

Deg! Untuk kedua kalinya aku merasa jantungku korsleting. Bedanya kini Katrin mengucapkan itu seolah bukan dia yang tengah berduka cita. Hebat!

“Kau mengira aku bergurau kan? Kau pikir aku senang Ayahku mati? Walaupun aku dan Ayah sering bertengkar, aku tak pernah bermimpi jadi anak yatim begini, Priti ! Kau ngerti kan?”

Dengan kesedihan yang dalam kupeluk tubuhnya yang terguncang hebat. Selama ini aku mengenal Katrina sebagai gadis yang badung, suka bikin onar dan agak cuek. Kontroversial sekali denganku yang suka berada di perpustakaan dan agak pendiam. Tapi kini ia tengah berjuang melawan rasa kehilangan yang amat sangat atas kematian Ayahnya.

“Sudahlah, Kat. Doakan saja Ayahmu agar mendapat ketenangan di alam baka. Karena sebagai insan yang masih diberi kesempatan hidup, kita hanya mampu mendoakan yang telah pergi,”aku mencoba mencari kalimat untuk meredakan kesedihan Katrin, tapi lebih tepatnya kata-kata penghibur untuk hatiku sendiri.

Katrin memandangi wajahku yang tenang tanpa riak.

“Kau memang benar, Priti. aku harus berdoa untuk Ayah,”tiba-tiba ia sudah melangkah buru-buru.

“Hei, mau ke mana kau?”

Katrin menoleh lagi ke belakang.

“Aku kan sudah bilang, Priti. aku mau berdoa untuk Ayahku. Oh, ya. Semoga ayahmu cepat matinya, ya,”

“Ha!”hampir kulempar dia dengan batu dekat kolam.

“Iya, semoga penyakitnya cepat mati, gitu. Dan Ayahmu bisa sehat seperti sedia kala,”tawanya.

“Huh, sompret!”kulempar juga dia dengan kerikil. Katrina menghindar dan berdadah-dadah padaku. Sialan!

Dengan perasaan yang masih tak menentu aku kembali ke ruang tunggu.

***

“Priti, kau baik-baik aja kan?”seseorang mengguncang bahuku. Aku terlompat dari tempat dudukku dikejutkan begitu.

“Kau melamunkan apa, Prit?”Katrin duduk di dekatku. Tawanya kemudian terdengar. Aku mengucek-ucek kedua mataku.

“Memangnya kenapa?”tanyaku bego.

“Tuh, esmu mencair karena belum disentuh. Itu berarti, selama aku ke toilet tadi, kerjaanmu melamun aja,”

Aku mengerutkan kening. Belum sepenuhnya sadar apa yang tengah terjadi.

“Nah, baru aku tahu kenapa kau melamun, Prit,”katrin menepuk tanganku. Aku mengikuti pandangannya ke arah meja kedua sebelah kiri dekat pintu café ini. Seorang Ayah menyuapi anak gadisnya es krim.

“Aku yakin, keakraban mereka yang membuatmu melamun,”

Aku memandang Katrin lalu berfikir tentang sesuatu. Astaga, baru aku ingat. Bahwa sejak seorang ayah dan gadis muda itu hadir di café yang sama denganku, aku jadi teringat kembali ke masa laluku. Karena keakraban mereka menetaskan rasa iri di hatiku.

“Priti, Priti. Kau ini bagaimana. Biarlah semua itu jadi kenangan manis di hatimu. Kau sendiri pernah bilang, sebagai insan yang masih diberi kesempatan untuk hidup, kita hanya mampu mendoakan “ayah” yang telah pergi untuk selama-lamanya. Lalu mana buktinya? Sudah keseringan kau kutegur melamun karena adanya adegan seperti itu. Ah, sudahlah Priti. Kita isi saja hidup ini dengan sesuatu yang berarti agar tidak kalah dengan mereka yang masih punya ayah,”Katrina menyeruput esnya.

Aku menatapnya seolah bukan dia yang bicara sedewasa itu. Sejak ayahnya meninggal, kebadungannya lenyap berganti dengan sifat-sifat yang baik. Aku tersenyum mengerti kepada sahabatku yang senasib itu.

***