Selasa, 08 Maret 2011

Bukan Sekedar Kata Maaf

Laki-laki itu sedang memeriksa mobilnya. Sebentar lagi, dia dan keluarga kecilnya akan berangkat menuju sebuah tempat wisata di kota Medan. Persiapan mobil telah benar-benar dia lakukan. Dari pengecheckan mesin, ban, dan sebagainya. Dia juga tidak lupa membawa segitiga pengaman, dongkrak, racun api dan kotak P3K.

Hari ini hari lebaran. Langit tampak putih, cerah tak berawan. Tampaknya langit dan cuaca ikut merasakan kebahagian yang dirasakan sebagian warga bumi, merayakan hari penuh makna ini. Dari corong mesjid, dari televisi dan dari bibir anak-anak kecil terdengar gema takbir berkumandang. Syahdu.

Lebaran telah tiba. Semua umat Islam menyambutnya dengan gembira. Hari kemenangan setelah berpuasa selama satu bulan. Kemenangan dari jeratan syaitan yang selalu menggoda manusia dengan berbagai cara yang menyesatkan.

Beberapa rumah tetangganya diramaikan kehadiran para kerabat dan tamu-tamu mereka. Ramai dan riuh. Namun tak lama, ada suara tangis bersahutan. Dia menurunkan kaca mobilnya dan memperhatikan lebih seksama ke arah rumah pak Jali. Tiba-tiba dia kaget. Di beranda rumah pak Jali, ada abang dan kakak iparnya, yang baru sampai dari Madina beserta anak-anak mereka.

Dahinya menyerngit. Setahu dia, selama ini di antara pak Jali dengan abangnya tidak terjalin hubungan silaturrahmi yang baik. Hubungan mereka terputus, karena adanya masalah seputar pembagian harta warisan almarhum orang tua mereka. Tapi kini, apa yang membuat mereka dapat akur kembali?

“Jali, sudah sekian lama silaturrahmi di antara kita terputus. Kita menjadi dua orang yang bermusuhan. Tak kenal dengan pribadi masing-masing. Tapi mulai sekarang, kita kubur semua perselisihan dan permusuhan di dalam hati kita. Abang minta maaf, kalau selama ini telah keliru menilai kau, Jali. Ternyata kau tidak seperti yang abang kira.”kata lelaki enam puluh tahun itu, tak melepaskan rangkulannya.

“Seharusnya akulah yang meminta maaf pada abang. Mungkin, sebagai adik aku tidak memahami perasaan abang. Apapun masalah yang kita hadapi, sebaiknya kita selesaikan dengan cara bermusyawarah, Bang. Kita tidak perlu bermusuhan, apalagi sampai memutuskan tali silaturrahmi. Istri dan anak-anak kita ikut menjadi korban permusuhan kita,”

Kedua abang beradik itu saling menumpahkan rindu, karena telah lama tidak berjumpa. Air mata mengalir dari kelopak mata mereka. Istri-istri mereka pun begitu. Anak-anak justru lebih pintar menyesuaikan keadaan. Mereka saling bercanda dan bekerjaran di halaman. Pandangan itu membuat hatinya berdesir. Seperti ada ombak bergulung-gulung di hatinya.

“Papaaaaa, kita sudah siap. Ayo, berangkat.”tiba-tiba lamunannya terpental dengan teriakan Silvi, anak ke tiganya. Bersama mamanya, Silvi dan dua kakaknya Samira dan Arif bergegas menuju mobil.

Dia kembali ke dalam rumah. Memeriksa semua pintu dan jendela. Setelah merasa semua aman, dia langsung menuju mobil.

“Bismillahirrahmanirrahim,”katanya mengawali perjalanan.

Di sepanjang jalan, tampak orang-orang bersiap-siap untuk pergi. Wajah mereka cerah ditimpa sinar mentari pagi. Pakaian mereka tampak bersih dan baru. Pasti mereka tidak ingin melewatkan hari penuh makna ini. Tentu mereka akan bersilaturrahmi ke keluarga, kerabat, ataupun temannya. Saling mengucapkan selamat datang idul fitri dan saling bermaafan. Mungkin tak seorang pun melewati hari ini dengan kesedihan.

“Andi, zaman sekarang ini, kayaknya lebih baik menganggap orang lain sebagai saudara, daripada saudara kandung kita sendiri. Saya pikir, sudah sulit sekali saya untuk berbaikan kembali dengan abang saya. Hubungan kami seperti sudah tamat,”kata pak Jali suatu senja di ambang teras rumahnya.

“Mungkin perasaan kita tidak berbeda, Pak. Saya juga merasakan hal yang sama dengan Bapak. Lebih baik kita mempererat hubungan bertetangga di antara kita ya, Pak. Daripada mengharapkan saudara kandung sendiri,”jawabnya.

Dia menarik nafas. Tiba-tiba melintas wajah kakaknya. Sudah enam tahun, dia tidak berbaikan dengan kakaknya. Bukan karena ada pertengkaran hebat di antara mereka atau perkelahian sengit. Hanya masalah sepele. Biasalah di kalangan saudara, terkadang suka iseng mengejek iparnya. Suami kak Raudah memang insinyur, tapi tidak punya karir. Hanya sebagai dosen perguruan tinggi swasta. Dosen terbang pula. Sementara kalau bicara seperti tahu segalanya.

“Insinyur bagaimana, paling-paling juga insinyur bantut. Tidak menghasilkan karya apa-apa. Omongannya saja yang besar, padahal nggak ada apa-apanya lah. Dia bisa hidup enak juga dari harta warisan kak Raudah,”

Pasti orang ketiga telah mengadu domba mereka. Di antara dia, kak Raudah dan abang iparnya. Bukankah orang ketiga lebih suka memecah belah? Memang itulah pekerjaan mereka. Mereka sangat senang kalau umpan mereka termakan oleh mangsanya. Buktinya tak jelang lama, kak Raudah meneleponnya. Kata-kata yang dilontarkan kepadanya sangat pedas. Sangat menyakitkan!

“Hebat kau, ya. Apa rupanya salah abang iparmu, sehingga kau menjelek-jelekkan dia? Apa kau lupa, kau bisa hidup enak dari warisan orang tua kita? Dan satu lagi. Kau pikir istrimu bagus sekali? Kakak dan adiknya kena stress, menjelang gila. Jangan-jangan istrimu bakal menyusul!”

Pertengkaran itu berbuntut panjang.

Di hari-hari selanjutnya, mereka jadi membungkam diri satu sama lain. Tiada sapa dan perjumpaan di antara mereka. Masing-masing dengan kehidupan sendiri. Bila bertemu tak sengaja di acara-acara kerabat dekat mereka, acapkali mereka saling membuang muka. Tidak memedulikan kehadiran satu sama lain. Mereka juga mundur dari acara arisan keluarga yang rutin setiap bulan.

“Lihat, Yah. Di mobil pick up itu banyak sekali penumpangnya. Seperti membawa kambing saja,”seru Arif mengejutkan.

“Hush. Tidak boleh menyepelekan orang lain, Nak. Mereka pasti sedang menuju rumah saudaranya. Mau merayakan lebaran bersama-sama. Kita harus bersyukur tidak kepanasan atau kehujanan seperti mereka.”jawab mama Arif. Andi menatap Arif dan mamanya dengan senyum. Lalu pandangannya kembali terarah ke jalan raya.

Bukankah hari lebaran seharusnya berkumpul dengan semua keluarga? Itulah hikmah Idul Fitri yang terbesar. Tapi kenapa dia mesti berangkat ke tempat wisata, membawa serta keluarga kecilnya? Tidakkah dia salut melihat tetangganya berbaikan kembali, setelah permusuhan merajai hati mereka? Tidakkah dia juga merasa kagum kepada orang-orang yang pulang mudik ke kampung halamannya, menempuh perjalanan yang lumayan jauh dan melelahkan hanya untuk bertemu dengan keluarga mereka tercinta?

Tiba-tiba jalanan di depannya macet. Klakson dari para pengguna jalan sahut menyahut. Satu bukti sikap ketidaksabaran yang dimiliki manusia. Dari arah kanan dekat tikungan jalan, tampak beberapa orang mengusung sebuah keranda. Disusul beberapa orang berjalan di belakang mereka. Menuju pekuburan umum.

“Innalillahi wa inna ilaihi ro’jiun.”ucapnya dengan satu keterkejutan. Hatinya berdebar tak menentu. Entah kenapa.

“Tidak seorangpun mengetahui kapan dia akan meninggalkan dunia fana. Maka, sebelum hal itu terjadi, kita harus persiapkan diri kita dengan amal dan ibadah yang sebaik-baiknya supaya ada bekal menuju hari akhirat,”kata-kata ustadz Taufik tiba-tiba menggema di telinganya.

Apa yang tidak dia lakukan demi kebaikan? Selama bulan puasa, dia melakukan ibadah puasa dengan baik. Dia juga banyak bersedekah kepada orang yang kurang mampu. Sholat tarawih tetap dia tegakkan, begitu juga sholat tahajud sebelum makan sahur. Tapi ketika dikaitkan dengan saudara kandungnya, dia sama sekali tidak ada artinya. Apakah amal ibadahnya itu akan diterima Allah, bila kepada saudaranya sendiri dia tidak bertegur sapa dan menjalin silaturrahmi?

Di depannya jalanan sedang lengang. Tiba-tiba sedang berfikir-fikir begitu dia membelokkan setir ke kanan. Mobil pun mengikuti gerakan dari tuannya menuju arah yang berlawanan dengan tujuan mereka sebelumnya. Ada apa ini? Istri dan anaknya saling pandang tak mengerti. Berbagai pertanyaan terlontar dari mereka, tapi dijawabnya dengan singkat.

“Lihat saja nanti. Tenang saja kalian di boncengan,”katanya dengan gurau.

Sampai di beranda rumah kakaknya, dia serasa mau pingsan melihat ke arah pintu. Kakaknya duduk di atas kursi roda. Dadanya bergemuruh. Segera langkah kakinya membawanya di hadapan kakaknya.

“Maafkan segala kesalahanku selama ini, Kak. Bahkan aku tidak tahu, kakak sakit dan harus berada di kursi roda. Aku adik tak berguna, Kak. Maafkan aku.”tangisnya meledak kini. Dia memeluk erat tubuh ringkih kakaknya, dengan segala perasaan berdosa yang selama ini dia biarkan tumbuh subur di hatinya.

“Tak ada seorang manusia yang luput dari kesalahan, Dik. Kakak juga minta maaf atas semua kesalahan kakak. Sudah saatnya kita kubur semua masa lalu. Umur tidak bisa ditentukan. Besok lusa kakak meninggal, kakak ingin kau di barisan paling depan membawa mayat kakak,”kakaknya tak kalah sedihnya. Suasana haru menyeruak di rumah itu.

Tak henti-hentinya Andi mensyukuri nikmat idul fitri ini. Tidak ada lagi kebencian dan permusuhan di hatinya. Andi bertekad akan lebih memperhatikan dan menyayangi kakaknya, lebih dari apa yang dapat dia perbuat pada tetangganya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan hari-harinya tanpa saudaranya lagi. Seperti kekeliruan yang telah dibuatnya selama ini.

***

Tidak ada komentar: