Selasa, 08 Maret 2011

Jejak Masa Lalu

PDF

Cetak

Email

Rina Mahfuzah Nst

Kalau saja ada kenderaan yang bisa membawaku kembali ke masa lalu, akan kunaiki kenderaan itu. Akan kutelusuri jalan menuju masa laluku, sampai kutemukan jejaknya.

“Amangboru meninggal! Amangboru sudah tidak ada lagi, Kak Ida!” Seseorang menggoncang-goncangkan tubuhku dengan keras. Aku membuka mata dengan susah payah. Perlahan aku duduk, dengan rasa mengantuk masih menggantung di mataku.

“Kakak tahu artinya meninggal? Tidak bernyawa atau hidup lagi dan tidak tinggal di rumah ini lagi, tapi akan diantar ke sebuah tempat pemakaman.” Sejurus kemudian, terdengar suara-suara berisik di luar kamar. Tidak seperti biasanya. Ke mana emak yang selalu membangunkan aku dengan suaranya yang lembut?

Begitu aku selesai mandi, perempuan itu menyodorkan aku sebuah baju berlengan panjang yang terus sampai ke mata kaki. Setelah itu kepalaku dipasang sebuah kerudung yang menutupi segenap rambutku. Begitu keluar kamar, aku melihat orang-orang sedang sibuk mengatur kursi-kursi di halaman. Menggelar ambal dan tikar di lantai. Ada juga yang memasang tiang untuk teratak di halaman.

Aku menguap. Sejenak mengganti posisi dudukku yang bersandar di dinding. Kini, di tengah ruangan diletakkan sebuah tempat tidur. Di atasnya dipasang sehelai kain yang lebar. Tidak seorang pun memerdulikanku. Perutku yang keroncongan. Tubuhku yang terasa gerah dengan baju dan penutup kepala ini. Semua sibuk dengan urusannya.

Pergi ke mana emak? Rasanya aku ingin minum dan makan. Biasanya emak sudah menyiapkannya untukku tanpa kuminta. Emak memang perempuan paling baik.
Aku menguap lagi, entah untuk ke berapa kali. Apa mungkin tidurku berkurang, karena aku cepat dibangunkan perempuan itu? Untuk apa dia membangunkan aku cepat-cepat? Ah, biar saja nanti kutanyakan pada emak, ucapku membatin.

Emak memelukku. Lama… Lama sekali. Kata emak, hari ini dia merasa sangat kehilangan. Laki-laki yang sangat dia cintai telah pergi untuk selama-lamanya. Emak mengabarkan kesedihannya itu lewat matanya yang basah, dengan bibirnya yang bergetar dan tubuhnya yang lemah lunglai.

Kata emak, ayah telah meninggalkannya dengan kematian yang sederhana. Sebelum ayah pergi, entah bagaimana tangannya terus dia letakkan di bahu emak. Seolah ingin mengucapkan selamat berpisah pada emak.

Aku tidak bisa menangis. Air mataku kering. Aku juga tidak bisa berfikir. Aku, bagaikan sebuah ruang hampa yang menanti seseorang datang menemaniku dan seseorang itu tidak lain dan tidak bukan, emak. Hanya emak yang melakukan semua itu untukku selama ini.

Cuma emak temanku bicara. Sering emak bilang, lelaki tua yang terbaring lemah di tempat tidur itu ayahku. Tidak pernah kami saling bicara, karena sudah lama sekali lelaki itu, hanya mampu memandangi orang-orang yang mengunjunginya. Tanpa dapat diajak dan mengajak bicara. Kadang dia menatap langit-langit kamar, kadang menangis, kadang menggugam entah apa.

Masih ada lima orang anak laki-laki emak. Kadang mereka datang sesekali, mengajak ayah dan aku bicara, tapi lebih sering mereka pergi. Di hadapanku terbaring lelaki tua yang sangat kurus, nyaris hanya kulit membalut tubuhnya. Wajahnya ditumbuhi jambang dan rambut yang memutih. Ketika kuletakkan tanganku di atas tubuhnya, terasa aku memegang sesuatu dari kulkas. Dingin dan beku. Apakah ini yang disebut meninggal dunia?

“Seandainya ayah kalian masih berumur panjang, berapa lama pun dia terbaring lemah di tempat tidur tetap akan aku rawat. Asal dia tak meninggalkan aku begini. Aku merasa hidupku tak berarti apa-apa, tanpa ayah kalian,” kata emak di atas tubuh ayah.

Meskipun emak menyebut ayahku telah meninggal, apa yang kuingat tentang ayah? Seperti apa sosoknya ketika dia hidup? Aku tidak mempunyai bayangan apa-apa tentang ayah. Aku juga tidak tahu, kata-kata apa yang dapat kuucapkan pada emak untuk menghibur hatinya?

Setelah bertakziah ke jenazah ayah dan memanjatkan doa, orang-orang menghampiri emak dan aku. Betapapun orang-orang itu menangis sambil memeluk emak, tapi tidak denganku. Tangisan mereka tidak membuatku ikut menangis. Aku hanya duduk diam, sesekali berkipas sambil memperhatikan orang-orang.

“Ayaaah…!” Seru seorang anak kecil sambil menangis. Lelaki yang dipanggil ayah membalik dan membawa anak kecil itu dari keramaian orang-orang. Apakah aku juga digendong ayahku sewaktu aku masih sekecil anak itu? Apakah aku juga sering menangis di dadanya dan minta perlindungan padanya?

Entah sejak kapan persisnya aku begini. Aku sama sekali tidak ingat seperti apa diriku. Bagaimana masa kecil dan remajaku. Siapa saja yang berperan dalam hidupku dan banyak hal lagi yang sepertinya tersembunyi rapat di dalam otakku. Begitupun aku tak pernah bertanya pada emak, pada ke lima saudara laki-lakiku mengenai banyak hal. Aku memang tak ingin mengetahuinya. Saat ini yang penting bagiku, disuguhkan minuman, makanan atau disuruh tidur.

Aku tak ubahnya seperti anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tidak berakal dan masih perlu perhatian dari orang tua dan sekelilingnya. Dibanding anak-anak itu, mungkin lebih menyedihkan lagi aku. Dengan tubuh yang membesar di bagian perut, paha, dada, wajah dan lengan membuatku susah untuk bergerak. Lebih sering pekerjaan yang kulakukan adalah duduk, diam dengan pikiran kosong dan hampa.

Saatnya untuk berziarah. Satu per satu kami berlutut di samping jenazah ayah. Husni, Taslim, Iqbal, Rusdi dan Lutfi bergantian memberikan penghormatan terakhir pada ayah. Begitu bibirku kutempelkan pada wajah beku milik ayah seperti yang diperintahkan emak, aku tidak merasa ada yang berubah dalam diriku.

Tidak seperti tubuh emak dan ke lima saudara laki-lakiku.yang bergetar hebat, saat mereka dekat dengan jenazah ayah. Ah, aku memang lain dari mereka dan aku tidak mengerti apa-apa tentang kematian, apalagi hidup?

Ketika keranda ditutup dan jenazah mulai diberangkatkan, orang-orang mulai melangkah ke luar rumah. Pelan, tapi pasti, mereka menjauh dari pandanganku. Ruangan ini pun melengang. Aku kembali duduk bersandar di dinding. Tak tahu apa sebenarnya yang aku pikirkan tentang ayah. Seperti apa dia dalam kenanganku.

Entah apa maksud perempuan itu dengan membolak-balik album foto yang sudah lama tak lagi kami buka. Kata emak, dia ingin tahu tentang ayah dan aku, karena dia dan Lutfi baru saja satu tahun menikah.

“Amangborumu itu seorang laki-laki yang pemberani. Dia tidak bersekolah tinggi, tapi dia lancar berbahasa Inggris. Dia juga pintar berniaga. Belum banyak orang di Medan menjual perabot Jepara, dia berani langsung memesan barang ke Jepara. Dia juga berkunjung ke luar negeri untuk mencari barang-barang antik yang bisa dijual di Medan.”

“Dulu, setiap hari amangborumu memangku Ida di depan jendela yang terbuka, sambil bernyanyi beberapa lagu kesayangannya. Terkadang dia membawa Ida jalan-jalan ke Istana Maimoon, Bandara Polonia, kolam renang Paradiso dan ke Mesjid Raya. Brastagi, Bukit Lawang dan Danau Toba juga sudah dikunjungi Ida.”

“Kak Ida anak sulung yang sangat disayang amangboru ya.” “Namboru, sejak kapan Kak Maulida sakit seperti ini? Apa tidak ada upaya penyembuhan untuknya?” heran perempuan itu. “Rani, tubuh Kak Ida itu enggak sakit, tapi jiwanya yang sakit.” Kata Lutfi menimpali.

“Awalnya, Ida didiagnosa dokter mengidap penyakit hepatitis B. Lama kelamaan kok Ida jadi seperti kehilangan gairah hidup. Dia tidak ingat apa-apa dan tidak bisa berfikir dan berbuat apa-apa. Dia tak ubahnya anak kecil yang mesti diurus dan diperhatikan. Pernah kami membawa Ida ke seorang yang memiliki ilmu kebatinan. Menurutnya, Ida menjadi korban perbuatan keji seseorang yang sebenarnya ingin mencelakakan amangborumu.” Kata emak menerangkan.

“Mak, sakit Ida bukan karena dibuat orang, tapi karena Ida tertekan dengan sikap ayah.” Tukas Lutfi. “Tidak, Lutfi. Ayahmu sudah tenang di alam baka. Jangan kau menyalahkan ayahmu atas apa yang terjadi pada Ida.”

“Mak, ada sifat ayah yang tidak bisa dia rubah. Keras dan temperamental. Tidak sedikit orang yang pernah tersinggung dibuatnya. Mak ingat, ayah juga pernah mengusir salah seorang sepupunya dari rumah kita, karena suatu hal yang sepele!” “Mungkin ada hal yang tidak kita ketahui telah terjadi pada mereka, Nak.”

“Mak salah! Itu karena ayah telah menuduh dia berbuat sesuatu yang tidak dia perbuat! Ketika dia membela diri, ayah malah mengusirnya!” “Cukup, Lutfi. Emak tidak mau mendengar lagi apa yang kau katakan!” suara emak terdengar parau disertai tangisnya. Emak berlari masuk ke dalam kamar.

“Mak, ini kenyataan! Emak tidak usah menutup-nutupinya. Sebagai anak sulung, setiap hari Kak Ida menyaksikan kekejaman ayah di rumah. Terhadap emak. Terhadap kami, lima anak laki-lakinya. Semua terekam dalam memori di otak Kak Ida. Dia tidak sanggup menerima perlakuan ayah, tapi seperti emak, dia juga tidak bisa protes! Akhirnya dia tertekan. Dia sakit. Jiwa Kak Ida sakit, Mak!” kata Lutfi dengan suara keras. Tubuhnya juga bergetar dan dia menangis.

Bersama ketidakmengertianku, aku seperti berada di atas sebuah perahu yang sedang terombang-ambing di lautan lepas. Ketika ombak yang bergulung-gulung datang bersama angin yang menggemuruh, perahuku tercampak. Tubuhku terbawa keganasan gelombang laut, entah ke mana!
Medan, 9 September 2009

Virya Design

© 2008 Harian Analisa. All rights reserved.

Tidak ada komentar: