Kamis, 25 Juni 2009

Ibu, aku jatuh cinta lagi ...

IBU, AKU JATUH CINTA LAGI…

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Tidak ada tempat yang lebih aman, dari hati seorang ibu. Tidak ada kelembutan, selain perhatian ibu. Bagai seorang prajurit yang mengalami kekalahan dalam arena peperangan, aku kembali ke rumah ibu. Aku telah gagal membina mahligai rumah tangga. Aku merasa, bila suasana hati sudah tidak dapat berkompromi lagi, untuk apa mesti bertahan? Kenapa harus takut menempuh jalan perceraian? Ini resiko besar yang harus kuterima dengan lapang dada.

Aku tahu ini semua tidak mudah. Bukan seperti membalikkan telapak tangan dan mengucap bim sala bim. Semua permasalahan selesai. Sebaliknya, dampak perceraianku mempengaruhi perasaanku. Tak bisa kupungkiri kesedihan dan kekecewaanku. Acapkali aku menangis seorang diri di dalam kamar. Entah apa yang kutangisi, aku sendiri tak mengerti.

Di depan ibu dan orang-orang di sekitarku, kuperlihatkan wajah yang selalu dilumuri senyum dan keceriaan. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku sering merasa sebaliknya. Aku merasa ada yang hilang dari diriku, dari hidupku. Bahkan di tengah keramaian, kesunyian sering menyergapku. Membuat ingatanku terlempar ke masa lalu. Masa indah yang pernah aku kecap bersama Ilham, tapi berakhir dengan cepat.

Aku jadi tak menyukai hadir di acara-acara pernikahan. Aku merasa berat sekali mau melangkah ke sana. Padahal dulunya aku tak begitu. Syukurlah ibu tak memaksaku, ia membiarkan aku memilih hanya berdiam di rumah.

Aku juga bertekad tak ingin jatuh cinta lagi. Aku akan menutup rapat-rapat hatiku. Perhatian dan kasih sayangku kuberikan hanya buat Faiz. Dia satu-satunya yang dapat mencairkan kebekuan hatiku. Merubah suasana perasaanku jadi tenang dan damai.

Dua tahun telah kujalani kehidupan sebagai Single Parent. Menjadi ibu sekaligus ayah bukan pekerjaan mudah. Banyak hal yang mesti kubenahi dalam hidupku. Bagaimana mengatur keuangan. Mengurus dan mendidik anak. Aku belajar menjadi sebuah pribadi yang dapat mengatasi semuanya dengan tegar.

Aku bekerja di sebuah perusahaan. Di saat bekerja, kucurahkan segala perhatian untuk pekerjaanku. Ia sangat berarti buatku, membuatku tidak terlalu memikirkan kepahitan yang melanda hidupku. Namun bagaimana pun letihnya menjadi seorang single parent, tak pernah terasa di saat menjalankannya, kecuali saat sudah terbaring di tempat tidur.

Untuk kesekian kali, ibu menyinggung tentang kesendirianku. Ibu ingin aku mencari seorang pendamping lagi.

“Nisa, sudah dua tahun kau hidup sendiri. Tak sepantasnya beban hidup kau tanggung sendiri. Bukalah hatimu untuk laki-laki lain, untuk menggantikan posisi Ilham yang telah hilang dalam hidupmu,”

“Rasanya Nisa trauma mau menikah lagi, Bu. Takut akan gagal lagi,”jawabku.

“Waktu mau menikah dengan Ilham, kau terburu-buru. Padahal sudah ibu ingatkan. Dia kurang tepat untukmu. Selanjutnya berhati-hatilah. Jangan sampai kehilangan tongkat sampai dua kali. Perluas pergaulanmu, ikutilah berbagai acara. Jangan hanya diam menunggu. Ingat, anakmu makin besar. Ibu khawatir, nanti dia tidak suka kau menikah lagi, karena sudah terbiasa denganmu,”kata Ibu panjang lebar.

Kupandangi anakku yang sedang tertidur pulas di sampingku. Di malam seperti ini, wanita lain mungkin sedang bercengkrama dengan suaminya. Sementara aku melewati malam dengan kesunyian. Entah kapan semua ini akan berakhir. Aku tak tahu apakah aku bisa jatuh cinta lagi, setelah apa yang kualami bersama Ilham?

. ***

puluh tujuh tahun. Perawakannya tinggi, dengan warna kulit agak gelap. Ia sudah menduda lima tahun, tanpa kehadiran seorang anak. Di sekeliling kepalanya telah ditumbuhi rambut putih. Tapi penampilannya masih parlente. Gaya bicaranya seperti layaknya lelaki muda. Mungkin karena dia orang yang sering bergaul, makanya dia mudah berkomunikasi dengan orang lain.

Ia barusan pamitan. Berlalu dari hadapanku. Tanpa kesan yang dalam di hatiku. Tadinya kami mengobrol seputar pekerjaan, anak, sampai kegagalan kami membina rumah tangga. Bang Arman, begitu aku memanggilnya, berjanji akan datang kembali ke rumah, dalam waktu dekat.

Kedatangan bang Arman memang berlanjut. Seringkali kehadirannya memancing rasa ingin tahuku, tentang siapa dan bagaimana dia sebenarnya. Sebagai wanita yang pernah dikecewakan lelaki dalam membina rumah tangga, sulit buatku untuk cepat percaya lelaki lagi. Entah kenapa bayangan buruk selalu menghantuiku.

“Nisa, ibu lihat sikap Arman baik. Tapi perlahan-lahan kamu bisa selidiki siapa dia sebenarnya,”kata ibu mengingatkanku.

“Ya..Bu. Nisa akan selalu ingat pesan ibu,”jawabku mantap.

Aku minta bantuan Kurnia, pemuda yang telah menjembatani perkenalanku dengan bang Arman. Kurnia teman Aldy, adik lelakiku yang telah menikah dan tinggal di kota lain. Dia mengenal Arman karena perusahaan mereka masih terlibat kerjasama. Tak lama aku sudah mendapatkan info lengkap perihal bang Arman.

Bang Arman bukanlah lelaki yang jujur, terutama perihal masa lalunya. Ternyata dia sudah menikah tiga kali! Masalah yang dihadapi dalam tiga perkawinannya nyaris sama. Bang Arman, pria kasar dan tidak bertanggung jawab. Satu hal yang sangat tidak mengesankan wanita, bang Arman tidak bisa melakukan hubungan intim seperti layaknya seorang suami kepada isterinya! Tuduhan perselingkuhan sudah biasa ia tujukan pada isterinya, untuk menutupi kesalahannya sendiri. Padahal isterinya meninggalkannya bukan karena berselingkuh, tapi karena sudah tak tahan hidup bersamanya.

Aku berterima kasih pada Kurnia, untuk informasi yang telah ia dapatkan. Aku tidak perlu merasa kecewa karena hal itu. Karena dari awal pun aku tak menyukai Arman. Kuanggap perkenalan itu sebagai hal yang wajar saja.

Sabtu sore aku mengajak Faiz ke mal. Sewaktu asyik melihat-lihat baju untuk se-umurannya, aku kehilangan jejaknya. Kucari dia di antara baju-baju yang bergelantungan, sambil memanggil namanya. Tak ada sahutan, apalagi ditandai kemunculannya. Kemana dia? Jantungku berdegup kencang. Keringat menetesi keningku. Hampir saja aku menangis, menyesali diri begitu saja melepaskan pengawasan terhadapnya.

“Mama…!”tiba-tiba muncul anakku bersama… Kurnia. Tentu saja Faiz sudah sangat mengenal Kurnia, karena pemuda itu sudah sering berkunjung ke rumah.

“Kurnia… Kamu ada di sini juga? Sama siapa? Pacarmu mana?”kagetku.

“Faiz, lain kali jangan jauh-jauh dari mama, sayang. Mama sampai bingung mencari kamu,”alihku pada Faiz. Kurangkul dan kuusap kepalanya.

“Aku sendirian, Mbak. Capek kerja, pengen jalan-jalan,”jawab Kurnia.

Mal di waktu sore, hari sabtu pula. Bisa dipastikan sedang ramai. Sepanjang jalan, Faiz tak lepas dari gendongan Kurnia. Kami berhenti di sebuah café. Memilih tempat duduk di sudut, menghadap ke luar jendela.

Ini kali pertama aku berada satu meja dengannya. Duduk berhadapan. Tak kupungkiri hatiku jadi sedikit berbeda. Selama ini kami tidak pernah canggung ketika harus mengobrol di rumah, tapi kali ini seperti ada yang berbeda.

Pesanan datang, kami pun makan sambil meneruskan obrolan. Kurnia bercerita, hubungannya dengan pacarnya telah berakhir. Aku terkesiap. Berarti selama ini, di saat perasaannya sedang kecewa, dia malah sibuk mencari informasi tentang bang Arman.

“Bagi saya tidak ada masalah kok, Mbak. Saya malah senang bisa membantu mbak. Lagipula yang mengenalkan bang Arman pada mbak, kan saya juga,”katanya disertai tawa kecil.

“Heran ya, Kur. Ngakunya diselingkuhi isteri, tak tahunya dianya yang tidak benar. Tidak mudah memang mencari lelaki yang benar-benar bertanggung jawab, jujur dan beriman, Kur.”

Kurnia menatapku. Baru kusadari sorot matanya begitu lembut menghujaniku. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Sorot mata itu, bagai langit sore yang dinaungi awan putih di luar mal. Entah kenapa, aku jadi sibuk mengatur denyut jantungku yang tiba-tiba berdenyut lebih kencang.

“Mbak, mbak harus yakin dan percaya. Masih banyak lelaki yang baik di muka

bumi ini, yang akan menyayangi dan membahagiakan mbak. Lupakanlah masa lalu, mbak. Buka mata dan hati mbak lebar-lebar,”ucapnya serius.

Itulah pertemuan kami yang pertama di café mal, suatu sore. Ketika senja semakin merambat, kami harus meninggalkan café. Kali ini, entah kenapa aku merasa ada harapan menggelitiki hatiku. Semoga akan ada pertemuan lagi di tempat ini, di waktu yang lain. Bersama Kurnia.

***

Rabu, 24 Juni 2009

Cerpen - Ompung

OMPUNG

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Hal pertama yang muncul di benaknya, saat melihat kesibukan sahabatnya dengan tiga cucunya adalah sebuah tindakan kebodohan. Pemborosan tenaga. Bagaimana mungkin di usianya yang sudah tidak muda lagi, Mak Idah masih berkutat dengan urusan anak-anak balita? Sudah dua bulan lebih ke tiga cucunya dititipkan di rumah Mak Idah. Setiap pagi diantar oleh ayah emaknya, sore sepulang bekerja baru dijemput.

Biasaya, Mak Idah selalu rutin mengikuti pengajian setiap Senin. Sejak kehadiran cucu-cucunya di rumah, Mak Idah kehilangan minat untuk pergi. Rumah Mak Idah yang biasanya rapi, tiba-tiba berantakan. Pakaian dan aneka mainan anak berserakan di kursi, meja, dan di lantai. Membuat mata tak nyaman memandang.

“Kau saja yang pergi, Mak Yati. Biar aku menjaga cucuku saja. Salam buat teman-teman yang hadir nanti,”ucap Mak Idah.

“Mak Idah, gara-gara menjaga cucumu, kau jadi nggak ikut pengajian? Bukannya kau sendiri yang bilang, di usia kita yang sudah lebih kepala lima, kita harus banyak mengikuti pengajian? Supaya hati kita selalu tenang dan keimanan kita terjaga,”sahut Mak Yati.

Mak Idah menghela nafas.

“Tak apalah, Mak Yati. Lain kali aku pasti datang. Aku kasihan sama anakku. Sudah beberapa orang pembantunya, tapi tak becus menjaga cucu-cucuku. Setiap ditinggal bekerja oleh anakku, pembantunya lebih sering menonton TV dan tidur. Anak-anak dibiarkan bermain sendiri. Pembantu terakhirnya malah tidak tahu kalau ke dua cucuku saling menggunting rambut mereka masing-masing sampai seperti itu hasilnya. Konyol bukan?”kata Mak Idah sambil menunjuk rambut ke dua cucunya.

“Memang konyol, tapi anak Mak Idah kan bisa mencari pembantu yang lain? Dulu Mak Idah sudah capek mengurus emak ke tiga balita ini sampai dia berumah tangga, setelah dia punya anak ngapain juga masih repot mengurus anak-anaknya?”kata Mak Yati seperti tak menerima apa yang dilakukan Mak Idah, tapi sahabatnya itu hanya tersenyum menanggapi. Mak Yati pergi dengan perasaan resah. Dalam hati dia bertekad akan menolak untuk diperdaya oleh anaknya sendiri, seperti yang dilakukan anak sulung Mak Idah.

Selama ini Mak Idah sudah tenang hidupnya, meski sudah menjanda selama delapan belas tahun. Ke tiga anaknya sudah menikah dan tidak tinggal serumah dengannya lagi. Setelah ada ke tiga cucunya, Mak Idah jarang ke luar rumah. Baik sekedar mengobrol bersama tetangga yang lain ataupun melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan. Seperti mengunjungi teman yang sakit. Mengikuti zikir akbar atau sholat tasbih sebulan sekali. Mengelilingi Pasar Melati dan Monza untuk mencari barang-barang bekas yang bagus dengan harga miring. Bahkan untuk melayat tetangga yang meninggal dunia pun Mak Idah tidak bisa ikut.

“Mak Idah, memangnya anakmu si Ida memberi gaji yang besar untukmu?”selidik Mak Yati di suatu kesempatan.

“Aku nggak pernah meminta gaji dari anakku. Kalau mereka memberiku uang atau makanan, kuterima. Kalaupun tidak, aku tidak apa-apa. Kalau aku yang mengurus cucu-cucuku, otomatis biaya untuk menggaji pembantu kan bisa digunakan anakku untuk keperluan lain. Biaya hidup untuk tiga anak kan lumayan besar,”jawab Mak Idah.

“Kalau aku, dibayar satu juta sebulan pun tak mau kalau harus menjaga cucu seperti kau, Mak Idah. Repot,”

Terdengar derai tawa Mak Idah.

“Bukannya menantumu yang dokter itu akan melahirkan tak lama lagi, Mak Yati? Kau lihat bedanya nanti. Kehadiran seorang cucu akan membuat hidupmu bahagia. Kau akan lebih menghormati usiamu dan kau mempunyai sebuah peran yang baru dalam hidupmu, menjadi seorang ompung,”

“Jauh-jauh hari sudah kusuruh anak dan menantuku mencari pembantu, pokoknya aku tidak mau dibebani mengurus anak bayi di rumah,”

***

Sudah sebulan lebih Mak Idah tidak berjumpa dengan Mak Yati. Sejak cucunya lahir, anak dan menantunya tinggal di rumah Mak Yati. Dari ke tiga anak Mak Yati, baru Rusdi yang mempunyai anak. Rusdi dan Merina sama-sama menyandang gelar dokter dan sebenarnya sudah mempunyai rumah dinas di perumahan angkatan laut Barakuda, tapi Merina lebih memilih pulang ke rumah mertuanya.

Setelah kelahiran cucunya, tentulah Mak Yati tidak ingin direpotkan. Dia masih bisa mengikuti pengajian. Melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia. Apalagi Mak Yati akan pensiun tak lama lagi dari mengajar di SD Inpres. Banyak waktu yang bisa dia gunakan untuk bersenang-senang di usia tuanya.

Apa yang dilihat Mak Idah kemudian, membuatnya seolah tak percaya. Di rumahnya, Mak Yati sedang menggendong cucunya, sambil menyanyikan lagu nina bobok. Bayi mungil itu tampaknya baru habis menangis, Mak Idah masih melihat sisa air matanya. Mak Idah menyapu ruangan dalam rumah. Sepertinya rumah sedang sepi. Hanya ada Mak Yati dan cucunya. Merina, emaknya bayi mungil itu tidak kelihatan. Mak Idah lebih heran, karena tidak melihat pembantu di rumah Mak Yati.

“Ke mana pembantu kalian? Katanya kau tak mau mengurus anak bayi lagi? Takut repot?”tanya Mak Idah.

“Itulah yang membuat aku kesal, Mak Idah. Beberapa hari setelah persalinan Merina, yang mana sedang sibuk-sibuknya pasca kelahiran cucu pertamaku, pembantu yang telah dipersiapkan Rusdi dan Merina dari rumah dinas mereka malah minta berhenti. Alasannya, orang tuanya sakit keras dan dia harus pulang ke kampungnya,”

“Aku sudah tidak terkejut lagi mendengar hal seperti itu, Mak Yati. Apa aku bilang? Tidak mudah menemukan seorang pembantu rumah tangga yang handal mengurus rumah sekaligus memiliki tanggung jawab pada profesinya,”

Mak Yati menarik nafas. Dia kemudian bercerita bagaimana sibuknya dia setelah ketiadaan pembantu di rumah. Dia mengurus rumah, berbelanja, menyediakan makanan untuk keluarga sampai mencuci pakaian bayi! Sampai pembantu ke dua tiba di rumah, Mak Yati berfikir dia akan lebih tenang. Tapi lagi-lagi Mak Yati dibuat kesal.

Entah bagaimana cara pembantu itu mencuci pakaian, baru saja masuk kamar mandi, tahu-tahu hanya hitungan menit sudah selesai. Entah teknik macam apa yang dibuatnya dalam mencuci. Setelah mencuci, kerjaannya memegang handphone. Tak tahu dia apa yang harus dikerjakannya, kalau tidak disuruh Mak Yati.

Ternyata kekesalan Mak Yati tidak hanya pada pembantu, tapi juga pada Merina. Menantunya dinilai sebagai perempuan manja dan cengeng.

“Percuma saja dia telah digembleng menjadi seorang dokter, kalau untuk mengobati dirinya sendiri pun dia tidak bisa. Kau tahu, Mak Idah. Di ruang bersalin, aku ikut menyaksikan bagaimana gampangnya dia memutuskan untuk menjalani caesar. Padahal kalau dia mau sedikit usaha lagi untuk mengedan, bayinya pasti akan lahir,”

“Pasca operasi, kumasakkan dia menu ikan gabus, supaya bekas operasinya lekas sembuh. Tapi jangankan dimakannya, disentuh pun tidak. Katanya dia mau muntah, nggak tahan nyium baunya. Waktu dia terserang demam tinggi beberapa hari, kerjaannya menangis. Untuk minum obat saja, mesti dicekokin sama si Rusdi. Bukannya dia tahu mengurus dirinya, apalagi bayinya!”

Mak Idah menyimak uneg-uneg yang disampaikan sahabatnya dengan baik. Bayi mungil di gendongan Mak Yati sudah tertidur pulas, setelah menghabiskan susu formulanya. Mak Yati memindahkannya ke box bayi.

“Jadi, bagaimana perasaanmu setelah mempunyai cucu?”senyum Mak Idah.

“Aku seperti punya anak lagi. Mulanya karena aku tidak tega mendengar tangisan cucuku, saat emaknya sedang terserang demam tinggi dan dia tidak bisa mendapatkan asi seperti biasa. Kupeluk tubuhnya, kutenangkan dia. Kuberikan dia susu formula. Kujaga dia sampai tertidur pulas. Setelah itu barulah aku mengerjakan pekerjaan rumah. Kau lihat rumahku sekarang jadi berantakan kan, Mak Idah?”

“Carilah pembantu lagi, nanti kau capek,”tangan Mak Idah menepuk bahu Mak Yati.

“Aku dan bapak anak-anak bergantian mengurus rumah sekarang. Mungkin lebih baik begitu, dari pada si Rusdi mencari pembantu yang semodel dengan dua pembantunya yang lalu,”jawabnya.

Mak Idah melihat jam di dinding, kemudian dia berjalan pelan menuju pintu.

“Aku pulang, Mak Yati. Cucu-cucuku sedang tidur. Oh, ya. Menjadi seorang Ompung itu, terasa capek tapi nikmat kan? Kau minta gaji berapa pada pak dan buk dokter sebulan, Ompung Parlin?”katanya dengan senyum. Ucapan Mak Idah disambut Mak Yati dengan tawanya, disertai gelengan kepalanya.

Sepulang Mak Idah, perempuan lebih separuh abad itu baru teringat kalau hari ini jadwal anggota pengajian untuk mengikuti sholat tasbih di Mesjid Agung. Mak Yati bergeming. Merina sedang tidur, suami Mak Yati sedang ada urusan ke luar rumah. Dini, anak bungsunya sedang kuliah. Kalau dia pergi, siapa yang akan menjaga Parlin?

Sebenarnya ada sesuatu yang luput diceritakan Mak Yati pada sahabatnya. Dia memang tidak bilang, kalau sekarang Parlin lebih dekat dengan dirinya, daripada emaknya sendiri. Bahkan kalau dia terbangun tengah malam dan menangis, yang dicarinya dekapan Ompungnya. Mak Yati akan membawanya ke kamarnya sendiri. Menidurkannya kembali. Rusdi dan Merina bagai sepasang pengantin baru lagi.

Mak Yati tersenyum di depan box bayi. Suatu malam dia pernah bermimpi, bulan terjatuh di pangkuannya. Sejak itu dia lebih sayang pada cucunya. Dia menganggap mimpi itu sebuah pertanda baik di kemudian hari. Semoga cucunya akan menjadi seorang laki-laki terhormat, orang berpangkat dan mempunyai masa depan yang cerah yang akan membuat Mak Yati merasa bangga sebagai Ompungnya. Ya…di suatu hari nanti.

***

Medan, 06 Maret 2009

Puisi-puisi

KANDAS

Oleh : Rina Mahfuzah

Daun-daun tidak lagi menggelayut manja

pada ranting pohon

rerumputan tidak lagi basah oleh air hujan

hutan tempat kita bercengkerama

pun tak lagi menyimpan segala keteduhan

ke mana hilangnya semburat kebahagiaan

pada wajah bulan?

dan kenapa kita mesti sibuk

menghitung kelalaian kita sendiri?

mungkin sudah tidak ada kemanisan

lagi yang tersisa buat kita

sayangnya kita terlalu lama menyadari

JANJI MATAHARI

Oleh : Rina Mahfuzah

Kalau sehari saja dalam tiga ratus enam puluh lima hari

matahari tidak memenuhi janji pada bumi

mana mungkin malam akan berganti pagi?

bagaimana alam akan menjawab pertanyaan warga bumi?

Kalau saja kau dapat seperti matahari

yang selalu setia memegang janji

mana mungkin cinta ini bisa berubah jadi benci?

AKU INGIN MENULIS LAGI

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Aku masih duduk diam di sini

di antara kertas-kertas yang bergolek gelisah

dan pena yang membisu

menanti aku cepat bertindak

mungkin mereka telah menunggu sejak lama

kepastian akan nasib mereka selanjutnya

Kertas-kertas dan pena ini

mungkin telah menyusun rencana untuk berdemonstrasi

karena hati nurani mereka sudah tidak didengar lagi

Kini aku tak lagi hanya diam di sini

ingin kupecahkan segala kebekuan ini

aku ingin berdamai dan kompromi

maka mendekatlah aku pada mereka

Kami pun berdialog

setelah melalui negosiasi yang alot

akhirnya terciptalah puisi ini

SALAM PERPISAHAN SEORANG SEKRETARIS PADA DIREKTURNYA

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Pak, jangan marah padaku

bila hari ini jadi hari terakhir untukku

menempati meja pertama sebelah kiri

di lantai dua gedung kantor ini

tempat aku merajut hari-hari penuh warna

bersamamu dan yang lainnya

Terima kasih adalah ungkapan yang belum cukup

untuk segala yang telah kudapatkan

simpanlah kenangan kita pada

catatan rapat, keyboard komputer, mesin tik elektronik,

PABX Telephone, Facsimile, File Proyek, dialog pagi,

alunan suara Ebiet G. Ade, argumentasi dan negosiasi

Namun ada satu hal yang tidak akan pernah

kulupa tentangmu, Pak

beratus rambut putih yang memenuhi kepalamu

yang sering kucuri pandang bila kau sedang marah

ORANG KETIGA

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Ada yang tak jelas di antara kita

lalu kita membahasnya berdua

bukan jalan keluar yang tercipta setelahnya

malah pertengkaran yang melanda kita

kau tuding akulah penyebabnya

aku pun bilang kaulah yang bersalah

bibit kebencian makin meraja di hati kita

kita mati-matian mencari kebenaran di mana-mana

sementara orang ketiga dan selebihnya

bertepuk tangan di belakang kita

KERTAS KOSONG

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Bila aku diam, bukan berarti marah

atau sedang malas bicara

bila aku pergi, bukan karena ingin menjauh

aku ingin menuliskan sesuatu tentangmu

di selembar kertas kosong ini

tapi hatiku masih saja diliputi rasa sakit dan benci

aku ingin kau tahu semua isi hatiku

lewat apa yang kutulis

tapi aku tak tahu harus memulai dari mana

pikiranku buntu dan hatiku kosong

aku tak tahu kenapa

KANDAS

Oleh : Rina Mahfuzah

Daun-daun tidak lagi menggelayut manja

pada ranting pohon

rerumputan tidak lagi basah oleh air hujan

hutan tempat kita bercengkerama

pun tak lagi menyimpan segala keteduhan

ke mana hilangnya semburat kebahagiaan

pada wajah bulan?

dan kenapa kita mesti sibuk

menghitung kelalaian kita sendiri?

mungkin sudah tidak ada kemanisan

lagi yang tersisa buat kita

sayangnya kita terlalu lama menyadari

JANJI MATAHARI

Oleh : Rina Mahfuzah

Kalau sehari saja dalam tiga ratus enam puluh lima hari

matahari tidak memenuhi janji pada bumi

mana mungkin malam akan berganti pagi?

bagaimana alam akan menjawab pertanyaan warga bumi?

Kalau saja kau dapat seperti matahari

yang selalu setia memegang janji

mana mungkin cinta ini bisa berubah jadi benci?

AKU INGIN MENULIS LAGI

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Aku masih duduk diam di sini

di antara kertas-kertas yang bergolek gelisah

dan pena yang membisu

menanti aku cepat bertindak

mungkin mereka telah menunggu sejak lama

kepastian akan nasib mereka selanjutnya

Kertas-kertas dan pena ini

mungkin telah menyusun rencana untuk berdemonstrasi

karena hati nurani mereka sudah tidak didengar lagi

Kini aku tak lagi hanya diam di sini

ingin kupecahkan segala kebekuan ini

aku ingin berdamai dan kompromi

maka mendekatlah aku pada mereka

Kami pun berdialog

setelah melalui negosiasi yang alot

akhirnya terciptalah puisi ini

SALAM PERPISAHAN SEORANG SEKRETARIS PADA DIREKTURNYA

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Pak, jangan marah padaku

bila hari ini jadi hari terakhir untukku

menempati meja pertama sebelah kiri

di lantai dua gedung kantor ini

tempat aku merajut hari-hari penuh warna

bersamamu dan yang lainnya

Terima kasih adalah ungkapan yang belum cukup

untuk segala yang telah kudapatkan

simpanlah kenangan kita pada

catatan rapat, keyboard komputer, mesin tik elektronik,

PABX Telephone, Facsimile, File Proyek, dialog pagi,

alunan suara Ebiet G. Ade, argumentasi dan negosiasi

Namun ada satu hal yang tidak akan pernah

kulupa tentangmu, Pak

beratus rambut putih yang memenuhi kepalamu

yang sering kucuri pandang bila kau sedang marah

ORANG KETIGA

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Ada yang tak jelas di antara kita

lalu kita membahasnya berdua

bukan jalan keluar yang tercipta setelahnya

malah pertengkaran yang melanda kita

kau tuding akulah penyebabnya

aku pun bilang kaulah yang bersalah

bibit kebencian makin meraja di hati kita

kita mati-matian mencari kebenaran di mana-mana

sementara orang ketiga dan selebihnya

bertepuk tangan di belakang kita

KERTAS KOSONG

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Bila aku diam, bukan berarti marah

atau sedang malas bicara

bila aku pergi, bukan karena ingin menjauh

aku ingin menuliskan sesuatu tentangmu

di selembar kertas kosong ini

tapi hatiku masih saja diliputi rasa sakit dan benci

aku ingin kau tahu semua isi hatiku

lewat apa yang kutulis

tapi aku tak tahu harus memulai dari mana

pikiranku buntu dan hatiku kosong

aku tak tahu kenapa

Jumat, 19 Juni 2009

Langit Masih Biru

LANGIT MASIH BIRU

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Langit memantulkan paras yang anggun, ketika iring-iringan pengantin yang membawamu, sampai di pintu rumahku. Seperti dua gumpalan mega yang menyatu di langit, aku dan kau bertemu di pelaminan. Mengikat janji sebagai sepasang suami isteri.

Akad nikah kita berlangsung khidmat, dilanjutkan ritual tepung tawar. Para kerabat dekat kita bergantian menepung tawari kita. Saling menebar doa dan restu untuk sebuah babak kehidupan baru, yang akan kita lakoni.

Adat Tapanuli Selatan pun menyusul. Kau yang berasal dari Jawa, mendapat sebuah keluarga angkat di Medan. Kau diberi gelar atau marga yang sesuai dengan marga ayah angkatmu. Di belakang namamu kemudian ada embel-embel marga.

Kita berdua diminta melakukan tortor di atas panggung, dengan gerakan yang luwes dan indah. Mulanya kau kurang merespon, tapi kukatakan padamu, bahwa acara adat tak pernah bisa diabaikan. Kau pun mengerti.

Aku dan kau mengikuti semua acara di balik baju kebesaran kita. Semua orang bilang, kita cantik dan tampan sekali di atas pelaminan. Menjelma sebagai seorang raja dan ratu sehari.

Suamiku, saat cahaya bulan tampak merona di langit, kau menyentuh dan menciumku dengan sepenuh hatimu. Kau telah memberikan aku sebuah kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan dalam waktu sesingkat apapun dalam hidupku. Caramu memperlakukan aku, membuatku serasa melambung di langit ke tujuh. Aku tak pernah sebahagia saat itu.

Satu minggu kemudian, kau memboyongku ke rumah dinasmu. Satu hal yang tak pernah kubayangkan, harus pergi dari rumah ayah dan emak. Sepanjang usiaku, baru kali ini aku berpisah dari mereka. Tak dapat kucegah kesedihanku. Kau mengusap kepalaku, menghapus butir-butir air bening di pipiku.

“Sofiya sayang, sudahlah. Jangan menangis lagi. Kalau kau masih menangis, nanti orang mengira, kau tidak bahagia menikah dengan abang. Kepindahan kita ke Rantau Prapat, bukan berarti berpisah dari orang-orang yang kita cintai. Kalau ada kesempatan, kita akan berkunjung ke Medan. Bahkan kalau perlu, kita menginap beberapa hari di sana,”

Kata-katamu terasa sejuk di sanubariku. Aku pun tak lagi memperpanjang tangisku. Aku benahi rumah kita, istana kita. Kini aku bukan lagi gadis remaja, yang harus menunjukkan kemanjaan kepadamu. Aku harus menjalankan peranku sebagai seorang isteri. Sebuah peranan, yang akan ikut menentukan perjalanan perkawinan kita.

Seperti pesan orang tuaku, aku harus pandai-pandai membawa diri. Aku harus tahu kewajiban dan tugasku. Aku tidak boleh banyak menuntut kepadamu. Perkawinan adalah sebuah dunia baru buatku dan aku tak akan menyia-nyiakannya.

Beberapa bulan berlalu, aku belum berani menagih janjimu untuk berkunjung ke Medan. Di samping kesibukanmu yang padat, ada hal lain yang mengurungkan niatku. Aku hamil! Sebenarnya aku ingin mengatakannya di depan ke dua orang tuaku sambil memeluk mereka, namun aku harus bersabar dengan hanya berbicara lewat telepon saja.

Betapa senang terdengar suara mereka, setelah mendengar berita kehamilanku. Berbagai nasehat meluncur dari mulut mereka, intinya aku harus benar-benar menjaga kesehatanku dan calon bayiku.

Hari-hari selanjutnya, tak lepas dari kemesraan kita. Hanya saja kesibukanmu sebagai seorang Kepala Cabang sebuah bank pemerintah, banyak menyita waktu. Terkadang kau pulang larut malam, karena harus bertemu klien atau karena menangani satu masalah. Kadang sepulang bekerja kau main bulutangkis dan olahraga lainnya. Tidak jarang kau juga menghadiri meeting di luar kota.

. ***

Suamiku, kau memang seorang pekerja yang ulet. Tak heran kau diangkat menjadi seorang Kepala Cabang. Dari semasa di bangku sekolah kau sudah rajin bekerja. Dari loper koran, penyemir sepatu sampai pelatih renang, pernah kau jalani. Kau juga sering memberi les privat dan berjualan kue.

Tak heran, saat ini pun kau mempunyai satu usaha sampingan selain

pekerjaanmu. Kau banyak membutuhkan suntikan dana. Kau mengambilnya dari uang

tabungan kita.

Kau jadi membatasi pengeluaran kita. Sikapmu membuatku heran. Entah kenapa kau tiba-tiba jadi pelit. Saat aku minta dibelikan sesuatu, kau bilang sedang mengumpulkan uang, untuk membangun rumah ibu di kampung. Di hari yang lain, aku minta kau membelikan keperluan ayah dan emak di Medan, kau bilang kau harus mengirimkan uang untuk saudaramu yang sedang pailit.

Bagiku tak masalah, bila kau memerhatikan keluargamu di Jawa. Apalagi kau kini telah menjadi orang yang berhasil. Tentulah orang tua dan saudaramu yang berjumlah sembilan orang, juga ingin merasakan buah dari kesuksesanmu. Sebagai isteri, aku hanya minta kau berlaku adil. Itu pesan yang sering kusampaikan padamu dan kau pun menyetujuinya tanpa syarat.

***

Suamiku, betapa bahagianya aku saat melahirkan bayi kita dengan selamat. Kau menjemput ayah dan emak di stasiun kereta api Rantau Prapat. Aku memohon agar mereka tinggal lebih lama di rumah kita. Ibu dan bapakmu tidak bisa datang ke Medan, hanya mengucapkan selamat lewat telepon.

Suamiku, entah mengapa ayah dan emak tak bisa mengabulkan permohonanku. Mereka ingin cepat-cepat pulang ke Medan. Padahal baru tiga hari dua malam di rumah kita. Rasa kangenku saja belum hilang pada mereka. Aku masih ingin terus berada di dekat mereka.

“Emak, belum juga satu minggu di rumah kami, kok cepat sekali mau pulang ke Medan? Bukannya ayah dan emak mau tinggal lebih lama di sini?”protesku.

“Sofiya, emak lupa bilang pada kalian. Di Medan lagi musim kemalingan. Seminggu lalu, rumah pak Anwar dibongkar orang. Emak yakin, kau bisa mengurus Untari dengan baik. Kalau ada apa-apa, telepon Emak ya, Nak,”

Kau pun kembali mengantar ayah dan emak ke stasiun kereta api, menuju Medan.

***

Suamiku, beberapa hari kemudian, kau mengabarkan berita terburuk yang pernah kudengar seumur hidupku! Kau dipanggil ke kantor untuk satu pemeriksaan, karena adanya pembobolan mesin ATM di bank tempatmu bekerja!

Aku tak habis mengerti, kenapa kau harus ikut menjalani pemeriksaan? Bukankah tiap bank, mempunyai petugas keamanan, dengan sistem pengamanan yang super ketat? Kalaupun terjadi kebobolan uang di ATM, apakah harus pemimpinnya yang disalahkan?

Kenyataannya kau harus terseret-seret di pengadilan. Seseorang memfitnahmu mendalangi semua ini. Benarkah, suamiku? Aku tidak mempercayai semua ini! Tidak mungkin kau melakukannya! Suamiku, kau terduduk lemah di kursimu. Hakim memutuskan, kau harus menjalani hukuman di dalam penjara selama enam tahun! Kau pun harus mengganti kerugian yang nilainya tidak sedikit!

Bicaralah, suamiku. Kenapa kau hanya diam saja menerima perangkap ini? Kau pasrah menjalani hari-harimu di dalam jeruji besi. Suatu hal yang tak pernah kita bayangkan, akan terjadi dalam hidup kita! Aku tak sanggup harus berpisah darimu. Bagaimana harus kujalani hari-hari tanpamu? Bagaimana aku mengasuh anak kita, tanpa kehadiranmu di sisiku?

Aku kembali ke Medan, dengan kesedihan menaungi hatiku. Tak kuhiraukan pandangan miring orang-orang di sekitarku, yang melecehkan dirimu! Aku hanya tidak dapat menguasai perasaanku saat mendengar sebuah kebenaran lain tentangmu dari emak dan ayah! Aku serasa tidak berjejak di bumi.

“Sofiya, di dalam mobilnya, sewaktu Panji menjemput emak dan ayah di stasiun kereta api, kami tak ubahnya orang asing dibuatnya. Kalau kami tak mengajaknya bicara, dia tak bicara. Kalau kami diam, dia lebih diam lagi! Bagaimana kami bisa kerasan tinggal di rumah kalian?”

Suamiku, aku tak menyangka, air mata emak harus ke luar, untuk suatu hal yang tak terduga dari dirimu! Satu hal yang tak pernah kutahu, ada di dirimu! Baru kusadari ada sisi lain yang engkau punya di balik sikapmu selama ini.

Mengapa kau begitu sulit mengajak bicara orang tuaku, yang datang jauh-jauh dari Medan? Mengapa kau tak perlakukan mereka sama, seperti kau memperlakukan aku, anak mereka?

Kenyataan ini bagai sebuah pukulan hebat untukku! Berhari-hari aku jadi orang yang murung dan tak bersemangat. Untunglah ada ayah dan emak yang terus menghiburku. Memintaku supaya tetap tawakkal kepada Tuhan dan menganggap itu semua sebagai ujian. Akhirnya aku bisa menguasai diriku dan mengasuh anak kita, Untari.

Suamiku, aku akan selalu berdoa untukmu, semoga kau cepat ke luar dari penjara. Aku akan selalu mencintaimu, tak kan berubah meski kita berpisah ruang dan waktu. Cintaku akan tetap sama, seperti warna biru langit di atas sana!

***

Kedai Ibu

KEDAI IBU

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Berkunjung ke rumah ibu, berarti berkunjung ke kedai ibu. Kedai, yang menyatu dengan bangunan rumah. Dulu, posisi kedai ibu lebih berada di depan jalan, tapi sejak jalan diperlebar, kedai ibu harus mundur beberapa meter ke belakang. Dan itu berarti luas bangunan rumah menjadi lebih pendek.

Kedai ibu sekarang sangat jauh berbeda dengan kedai ibu yang dulu, sebelum ayah meninggal dunia. Dulu, bisa dibilang kedai ibu menjadi primadona di daerah kami. Banyak warga yang membeli kebutuhan hidup sehari-hari di kedai ibu. Dari mulai gula pasir, beras, minyak goreng sampai sabun detergen tersedia. Belum lagi alat-alat rumah tangga, seperti sapu, ember, termos dan baskom plastik juga ada. Begitu juga dengan segala jenis rokok dan minuman ringan, para pembeli tinggal memilih sesukanya.

Tapi itu dulu, jauh sebelum ayah jatuh sakit dan disusul dengan kematiannya yang sangat membuat kami terpukul. Ayahku seorang pria yang memiliki pergaulan luas. Banyak dari teman-temannya yang sering mengunjunginya. Salah satunya Pak Arbain dan istrinya. Mereka memiliki sebuah toko grosir keperluan sehari-hari yang lebih besar dari milik ayah.

Kalau mereka berkunjung ke rumah kami, aku dan ke dua kakakku ikut senang. Pak Arbain dan istrinya tidak pernah lupa membawa buah tangan untuk kami. Ada-ada saja yang mereka bawa. Kadang mereka membawa makanan seperti martabak mesir, es campur, sate padang dan buah-buahan. Mereka juga pernah memberikan hadiah berupa sebuah pesawat televisi bermerk Sony untuk kami. Padahal menurut Pak Arbain, televisi itu adalah hadiah dari sebuah perusahaan baterei, karena toko Pak Arbain terpilih sebagai toko penjual baterei terbanyak.

Pernah di suatu kesempatan, istri Pak Arbain datang sendirian ke rumah. Wajahnya tidak seperti biasanya. Tak lama kemudian dia bercerita kepada ayah dan ibu mengenai masalah yang sedang dia hadapi yang membuatnya sedih. Ternyata, diam-diam Pak Arbain mempunyai seorang wanita idaman lain! Ayah dan ibu sangat terkejut, tapi tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa, karena permasalahan yang dihadapi Pak Arbain dan istrinya tidak dapat dicampuri oleh pihak lain. Meskipun ayah dan Pak Arbain teman akrab.

Tapi ayah dan ibu tidak tega setiapkali istri Pak Arbain mengadukan masalahnya. Mau tak mau ayah tampil juga di antara Pak Arbain dan istrinya. Ayah berusaha mendamaikan perseteruan mereka dan menyadarkan Pak Arbain untuk melepaskan wanita yang telah merusak kerukunan rumah tangganya. Ayah juga menasehati Pak Arbain supaya lebih mencintai istri dan anak-anaknya. Alhamdulillah, upaya keras ayah membuahkan hasil. Pak Arbain dan istrinya akhirnya saling berdamai.

Ayah adalah orang yang sangat mempercayai temannya. Ayah menganggap temannya tidak ubahnya seperti dirinya. Jadi, bila ayah adalah orang yang jujur dan tulus, maka teman ayahpun akan sama dengan dirinya. Ternyata ayah keliru. Sangat sangat keliru. Di suatu hari yang tidak pernah akan kulupakan, ayah memberitahu kami kalau dia telah dihianati oleh Pak Arbain dan istrinya.

Ada satu kebiasaan dalam bisnis ayah untuk saling barter barang dengan selembar giro. Hari itu, saat ayah akan menyetorkan giro Pak Arbain, ternyata gironya kosong. Saat ayah akan mengkonfirmasi kepada Pak Arbain dan istrinya, mereka telah menghilang dari kota Medan! Padahal mereka telah mengambil barang dagangan ayah dalam jumlah lumayan besar! Maka tak ayal lagi, ayahlah yang harus menanggung semuanya!

Ayah berusaha bangkit kembali. Ayah mengambil fasilitas kredit dari sebuah bank pemerintah. Mulanya ibu kurang setuju, karena untuk mendapatkan sejumlah pinjaman, ayah harus memberikan sebuah agunan kepada bank. Ibu takut, suatu saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ibu tidak ingin pihak Bank mengambil alih hak kepemilikan atas sepetak tanah milik ibu, warisan dari almarhum kakek. Tapi ayah berusaha meyakinkan ibu, kalau hal itu tidak akan terjadi.

Sepandai-pandainya ayah menyembunyikan perasaan terluka, ibu dapat menangkapnya. Tidak jarang ibu mendapati ayah termenung sendiri, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ibu sering menghibur ayah untuk mengikhlaskan perbuatan temannya dan berdoa untuk kelanggengan usaha kami.

Namun kian hari, kesehatan ayah seperti tersedot dengan kondisi keuangan yang mulai menurun dan cenderung tidak menentu. Hampir setiap bulan ayah harus ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Tapi tidak juga dapat menyembuhkan ayah dari sakitnya. Beberapa bulan kemudian, ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya setelah koma beberapa hari di ruang ICU.

***

Berkunjung ke rumah ibu, berarti berkunjung ke kedai ibu. Sekarang, di kedai ibu tidak terlihat lagi berkarung-karung beras dan gula pasir. Tidak juga tampak bersusun botol minyak goreng kemasan. Ember, baskom dan beberapa perlengkapan rumah tangga yang lain juga tidak ada. Di dalam rak pajangan rokok, tidak lagi ibu menyusun rokok sampai ber pak, melainkan hanya per bungkus. Lambat laun barang dagangan ibu menyusut. Di kedai, ibu hanya menjual barang eceran. Seperti sabun mandi, gosok gigi dan odol. Ibu juga mempunyai stock sejumlah rokok, beberapa jenis makanan dan minuman ringan dan beberapa barang dagangan lainnya.

Tetapi, struktur bangunan kedai ibu sudah tua. Usianya sudah dua puluh tujuh tahun. Maklumlah kalau kini banyak ditemukan kebocoran di beberapa bagian atapnya. Tak jarang, bila sedang turun hujan, air hujan menerobos masuk melalui seng yang bocor. Kasihan ibu, harus membenahinya seorang diri.

“Sudahlah, Bu. Ibu tutup saja kedai ini. Ibu tinggal di rumah Sarah. Ibu tidak perlu capek-capek harus mengurus kedai dan rumah lagi,”ujar kakak tertuaku di suatu kesempatan.

“Bagaimanapun kondisi kedai ini, ibu tetap menyayangkan kalau harus ditutup. Almarhum ayahmu pasti menginginkan kedai ini terus dibuka. Sayang, tidak satu pun dari kalian yang hobi membuka kedai seperti ibu dan ayah,”

“Bagi ibu, kedai ini seperti sebuah keajaiban, Fahmi. Meskipun pembeli yang datang membeli rokok, minuman, makanan dan barang lain dalam kapasitas kecil, tapi saat ibu menghitung omset penjualan pada malam harinya ibu seperti tak percaya dengan jumlahnya. Allah itu maha besar, Nak. Sama halnya saat ibu membesarkan kalian dengan tetes keringat dan air mata,”ungkap ibu sambil menatapku. Aku jadi terharu.

Memang, acapkali ibu menyayangkan kenapa kami tidak meneruskan kedai peninggalan ayah atau membuka kedai seperti halnya ayah dan ibu. Tapi di satu sisi ibu juga bersyukur dengan karir dan pekerjaan yang telah kami raih. Kak Sarah diterima bekerja di kantor walikota. Kak Fira diterima bekerja di sebuah perusahaan Farmasi dan aku bekerja di sebuah perusahaan swasta.

***

Berkunjung ke rumah ibu, berarti berkunjung ke kedai ibu. Hari ini, kami semua berkumpul di ruang tamu, ruang berukuran 3 x 4 setelah bangunan kedai. Hari ini ibu berulang tahun yang ke lima puluh enam. Suasana bahagia bercampur haru mewarnai ulang tahun ibu. Bayangkan, rumah mungil ibu dipenuhi anak, menantu dan cucu-cucunya!

“Beli rokok Jie sam soe sebatang,”kata seorang pembeli. Aku mengangsurkan sebatang jie sam soe padanya.

Kemudian datang pembeli lain, membeli sebungkus keripik pisang. Disertai pembeli lain yang hendak membeli sebotol coca cola dingin. Tak jelang lama, datang pula pembeli yang ingin membeli sabun mandi dan shampo. Aku meladeni mereka dengan senang.

Begitulah, semangat ibu untuk membuka kedainya tetap menyala. Dan semangat ibu untuk terus mengudang para pembeli datang ke kedainya sungguh sangat kami hargai! Sebagai kado ulang tahun buat ibu, kami memutuskan untuk merenovasi kedai ibu dan melengkapi isi kedai ibu dengan berbagai macam barang dagangan.

***

Rabu, 17 Juni 2009

Selamat datang ke rumah mungilku...

Mungkin, tidak seorang pun pernah bercita-cita ingin menjadi seorang penulis. Begitu juga aku. Tapi ketika menulis telah menjadi bagian dari diri dan hidupku, aku menjadi sangat dekat dengan jiwa dan pikiranku. Aku dapat menuangkan semua kegelisahan, kegembiraan, kesedihan dan apa yang menarik hatiku lewat tulisan-tulisanku. Ternyata menulis membuatku bahagia dan berarti sebagai seorang perempuan/