Selasa, 22 Desember 2009

Rumah Nomor Delapan

Kalau sedang tidak ada kerjaan mengantar barang, aku sering mengamati susunan rumah-rumah yang berjejer di komplek perumahan ini. Sering aku membayangkan rumah-rumah itu seperti kue-kue yang sengaja dicetak dengan sebuah adonan, sehingga dari ukuran dan modelnya semuanya sama.

Bukan suatu hal yang mengherankan untuk zaman sekarang ini membangun rumah seperti itu. Dalam hitungan bulan, area tanah yang semula kosong dengan cepat telah berubah menjadi struktur bangunan yang dirancang sesuai dengan keinginan perancangnya, yang kemudian menjadi deretan rumah-rumah yang siap untuk dihuni. Baik untuk rumah tinggal, rumah toko ataupun rumah kantor.

Paling-paling yang membedakan rumah yang satu dengan rumah yang lain adalah segi pemilihan warna cat pintu. Mungkin setelah beberapa tahun, pemiliknya merasa perlu memperindah warna pintunya, namun tetap tidak melenceng dari warna aslinya, yakni warna dinding rumah bagian depan. Mungkin agar rumah-rumah yang ada di komplek ini tetap terjaga keindahannya, juga keseragamannya.

Ada juga pemilik rumah yang menambah bangunan rumahnya di bagian paling atas. Membuat sebuah pagar di sekeliling bangunannya dan menutupnya dengan sebuah canopy. Biasanya penambahan itu berupa tempat menjemur pakaian, kamar mandi, tempat beraneka bunga ataupun berupa kamar-kamar buat anak kost.

Aku sudah cukup lama bekerja di komplek ini. Di sebuah perusahaan yang menjual komputer dan laptop. Sedikit banyak aku mengetahui perkembangan yang terjadi di dalam komplek ini. Kebanyakan rumah di sini dijadikan sebagai toko ataupun kantor oleh pemiliknya, meskipun tidak sedikit yang mendiaminya sebagai rumah pribadi. Ada yang membuka usaha travel. Ada yang membuka counter handphone dan accessories. Ada yang membuka game station dan internet. Kursus bahasa Inggris dan Mandarin. Restoran. Travel. Salon. Multi marketing. Dokter Spesialis kandungan. Dokter gigi. Supermarket. Ah, macam-macamlah. Tidak mungkin rasanya aku menyebutkan satu per satu.

Dalam beberapa tahun ini, aku melihat kecenderungan penurunan ekonomi sampai juga ke komplek ini. Tidak satu atau dua usaha yang bangkrut, lalu memilih cabut. Dari restoran, toko pakaian, toko penjualan alat-alat listrik sampai perusahaan multi marketing, tutup. Alasan terbesarnya, tidak sanggup lagi membayar hutang atau kalah bersaing!

Seandainya disuruh memilih, aku lebih suka tinggal di rumah yang bukan ruko. Aku ingin di dalam rumahku ada beberapa ruangan yang kuatur sedemikian rupa. Ada beranda, ruang tamu dan ruang keluarga. Musholla, ruang makan, dapur dan halaman belakang untuk menanam ataupun memelihara burung atau ayam. Tapi membayangkan kedua hewan itu tiba-tiba membuatku bergidik, teringat virus yang sempat membuat para dokter dan rumah sakit sangat repot dan panik dengan para pasien yang terinfeksi virus tersebut! Kalau begitu, aku akan membuat sebuah kolam air saja untuk beberapa jenis ikan, supaya mata dan pikiranku dan orang-orang di dalam rumah kami segar memandang ke dalam kolam.

Ada apa di rumah nomor delapan?” pikirku, saat melihat beberapa orang ke luar masuk rumah itu dan seperti sedang membicarakan sesuatu. Sudah cukup lama rumah itu kosong, setelah pemiliknya menutup usaha penjualan pakaian balita miliknya.

“Kami pemilik baru rumah nomor delapan. Anda bekerja di nomor sembilan dan sepuluh?” tanya lelaki berkaca mata padaku.

“Oh, iya Pak. Kantor kita di nomor sepuluh, nomor sembilan adalah gudang,” jawabku tak kalah ramah.

Pemilik rumah itu sepasang suami istri yang baru menikah. Kabarnya mereka akan membuka usaha game station dan internet disitu. Mereka berkeyakinan usaha mereka akan maju, karena zaman sekarang banyak orang menggunakan internet sebagai bahan untuk mencari berbagai informasi, ilmu pengetahuan, berita, hiburan dan sebagainya. Padahal di sekitar komplek, sudah ada empat atau lima jenis usaha yang sama. Mereka beranggapan setiap orang mempunyai rezeki masing-masing.

“Mungkin kalau yang dibuka butik pakaian balita seperti yang dilakukan pemilik rumah sebelumnya, hanya sedikit peminatnya. Sebab kebanyakan orang lebih senang melihat-lihat pakaian balita di pajak yang tentu lebih bisa memilih model dan warnanya. Apalagi kebanyakan perempuan di komplek ini jarang keluar rumah di siang hari. Mereka lebih sering beraktifitas di dalam rumah,” kataku sok memberi pandangan.

“Terima kasih ya. Mungkin kami butuh waktu satu atau dua minggu untuk melakukan persiapan pembukaan warnet. Jangan lupa berkunjung ke warnet kami kalau anda butuh jasa internet,” lanjut si lelaki berkaca mata lagi. Aku mengangguk sebelum berlalu dari hadapan mereka.

***

Rumah bernomor delapan. Beberapa waktu lalu telah resmi membuka usaha warnetnya. Ruangan di dalamnya ditata dengan design yang modern, dilengkapi pendingin udara. Letak komputer dan tempat duduk dibuat memanjang dan saling berhadapan. Komputer dilengkapi dengan monitor berlayar datar dengan program yang canggih. Hampir setiap hari warnet itu diramaikan pelanggan yang ingin browsing internet ataupun bermain game online. Kebetulan yang menjaga seorang gadis, yang menurutku cantik dan baik. Pernah beberapa kali aku melongok ke dalam ruangan. Gadis itu duduk di depan monitor komputer, mengawasi billing bagi pelanggan yang mau masuk atau keluar. Meski pelanggannya didominasi lelaki, tapi tak kudengar suara-suara bising dari mereka. Apalagi disertai kata umpatan atau makian. Aku tahu dari temanku kalau di warnet lain hal itu sering terjadi.

“Hebat juga gadis itu, bisa membuat suasana di warnet itu demikian tenang,” pikirku. Ada keinginan untuk menyapa dan mengobrol dengannya, tapi belum pernah kesampaian.

“Nama gadis itu Amanda. Dia tinggal di Jalan Kepodang. Anak ke tiga dari lima bersaudara. Setiap hari dia pergi dan pulang kerja naik sebuah angkot,” papar salah seorang teman office boyku.

***

“Apa yang terjadi di rumah nomor delapan?” tanyaku setelah enam bulan kemudian, perempuan bernama Amanda itu dipecat dari warnet.

“Istri pemilik rumah mencurigai Amanda terlibat perselingkuhan dengan suaminya. Istrinya kan bekerja di luar rumah, kalau tidak salah di sebuah bank,” jawab Edi, salah seorang temanku yang tahu persis penyebab kepergian Amanda.

Aku terdiam. Rasanya tak percaya seorang Amanda yang lembut dan baik tega melakukan perselingkuhan. Apakah tudingan istri lelaki berkaca mata itu memang punya bukti yang kuat? Apa jangan-jangan sebaliknya, istrinya itulah yang terlibat perselingkuhan dengan rekan sekerjanya? Sesalku dalam hati.

Setelah keluarnya Amanda, pemilik warnet memilih seorang laki-laki untuk menjaga warnet. Aku pernah bertemu dengannya di pagi hari. Belakangan ini aku begitu sibuk mengantar barang pesanan. Omset penjualan di perusahaan kami lumayan berkembang. Penjualan komputer dan laptop semakin meningkat. Baru-baru ini, saat perusahaan kami berulang tahun yang ke 12, aku diberi hadiah sebuah cincin emas 5 gram, karena sudah bekerja di atas lima tahun di perusahaan ini.

Suatu sore, setelah pulang mengantar barang, aku ingin istirahat sebentar dengan bermain game di warnet sebelah. Aku agak terkejut, karena melihat pengunjung warnet yang sepi. Hanya ada aku dan enam orang lainnya. Padahal biasanya warnet lebih ramai di sore hari, saat anak-anak sekolah sudah pulang dari sekolah. Ketika kutanyakan hal itu pada lelaki yang menjaga warnet, aku lebih kaget lagi mendengar jawabannya.

“Iya, bang. Warnet ini sudah tidak bisa menutupi biaya-biaya lagi. Dari hari ke hari pengunjung semakin sepi. Mungkin satu atau dua bulan lagi, warnet ini bakal ditutup,” katanya dengan wajah sedih.

Tak sampai dua bulan kemudian, warnet benar-benar ditutup.

“Biasanya, angka delapan merupakan angka keberuntungan menurut fengshui. Tapi kenapa ini sebaliknya? Belum lama membuka usaha, sudah harus tutup pula,” temanku Rio, ikut mempertanyakan tutupnya warnet.

“Banyak orang menganggap, angka sangat berhubungan dengan peruntungan seseorang. Nomor rumah, plat mobil, hingga nomor telepon yang baik akan membawa dampak ‘feng shui’ baik bagi jalan karir dan kesuksesan
seseorang. Angka paling laku dan banyak dicari adalah 168. Mengapa? Angka 1 diartikan satu-satunya, angka 6 diartikan jalan dan 8 diartikan kemakmuran. Jadi, 168 diartikan sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran.” lanjut temanku itu, membuatku takjub. Mungkin dia mengetahui hal ini dari internet, karena diantara kami semua, Rio lah yang paling sering mengunjungi warnet.

“Lalu apa masalahnya? Apa mungkin suami istri itu, tidak bisa memanage keuangan mereka atau mungkin mereka tidak cocok menjalankan usaha warnet, lalu mereka mau mencari usaha yang lain? Kurasa masalahnya, karena mereka tidak mampu bersaing dengan beberapa warnet lain di komplek ini,” kataku.

***

Kalau sedang tidak ada kerjaan mengantar barang, aku sering memandang ke rumah nomor delapan. Kadang terfikirkan juga olehku, mengapa sudah beberapa kali berganti pemilik rumah tetap saja usaha yang dirintis gagal di tengah jalan? Apa ini ada kaitannya dengan hal-hal seputar supranatural dan sejenisnya? Aku juga teringat seorang gadis cantik bernama Amanda. Cukup menyesal juga aku, kenapa saat itu tidak mengajaknya mengobrol atau bahkan menjemputnya pulang bekerja?

“Dek, kau terheran-heran dengan peruntungan rumah nomor delapan? Sudah beberapa kali buka usaha gagal?” tanya pemilik Toko Obat China di rumah nomor tujuh, seperti tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku mengangguk pelan.

“Coba kau hitung berapa jumlah rumah di deretan itu. Ada lima belas rumah, bukan? Kebetulan nomor delapan berada di tengah-tengah. Dia terjepit di antara rumah-rumah yang lain. Itulah salah satu yang mengurangi nilai keberuntungannya. Makanya beberapa kali yang membuka usaha di sini kurang lancar semua. Sayang ya.” Aku masih terpaku, setelah lelaki itu selesai bicara. Rasa-rasanya aku dapat menerima alasannya itu dengan akal sehatku.

Biarlah rumah nomor delapan dengan masalahnya sendiri, aku tidak mungkin terus memikirkannya. Masalahku saat ini, di mana aku dapat menemukan Amanda? Sebab bayangan Amanda tak bisa kubuang dari pikiranku.

Isi Hati Seorang Lelaki

“Kau saja yang masuk ke dalam, biar aku menunggu di sini,” kata Meli menahan langkahnya.

“Mel, jangan begitu. Bos menyuruh kita berdua untuk menemui Pak Lamhot,”

“Bukan apa-apa, Nita. Aku agak takut berhadapan dengan dia,”

“Kenapa harus takut? Ayo, kita masuk sama-sama,” ajakku sambil menghela tangannya.

Ini kali ke dua aku dan Meli mengunjungi kantor sekaligus rumah lelaki itu. Seorang lelaki yang mempunyai sorot mata setajam elang. Suara yang sewaktu-waktu berubah seperti menggelegar. Sikapnya kaku dan sedikit arogan, kukira. Setelah melalui proses di ruang depan yang mirip ruang receptionist, aku dan Meli dipersilahkan masuk ke ruang kerja lelaki itu. Di dalam ruangan, kami disambut senyum dingin lelaki itu.

Sejenak aku mengitari pandangan. Di ruangan ini, ada sebuah rak yang berisi banyak sekali buku-buku dan kitab. Ada juga sebuah filing cabinet yang mungkin berisi file penting perusahaan. Sebuah laptop empat belas inchi terbuka di hadapan lelaki itu. Di atas mejanya tampak beberapa map yang mungkin sebagai berkas dan bahan kajian lelaki itu sebagai konsultan perusahaan.

“Coba kalian bayangkan. Lima juta rupiah untuk jasa konsultan pada saat sekarang ini apa ada? Di luar sana para konsultan meminta jasa yang jauh lebih besar. Bagi saya, yang terpenting adalah saya bisa membantu kesulitan perusahaan kalian dalam melaksanakan tender,” ujarnya sambil meletakkan tangan di atas meja.

“Saya berterima kasih dengan bantuan bapak. Saat ini, perusahaan kami memang butuh jasa konsultan, sebab main contractor kami di Jakarta butuh tiga perusahaan untuk menjadi pendamping tender,”

Kemudian aku menyerahkan beberapa data yang diperlukan lelaki itu sehubungan dengan keperluan tender dan untuk beberapa saat aku dan dia terlibat sebuah pembicaraan yang serius. Seorang karyawan yang bekerja di kantor ini mengangsurkan dua botol aqua untuk aku dan Meli.

“Mau ke mana kita hari Sabtu ini, Ndi? Mau jalan-jalan ke Carrefour kau?” aku terperanjat mendengar suara berat lelaki itu memasuki gendang telingaku. Rupanya dia barusan menyapa seorang anak lelaki berusia enam tahun yang sedang melintas di depan ruangan ini. Apakah anak lelaki itu anaknya? Dan siapa perempuan berjilbab itu? Pikirku.

“Nggak usahlah ke mana-mana kita, Pak. Di rumah saja,” jawab perempuan berjilbab putih. Lelaki di depanku mengangguk.

“Yang tadi itu anak bapak?” tanyaku setengah takut, karena sudah bertanya hal di luar pekerjaan. Meskipun itu memang benar-benar anaknya.

Lelaki itu menggeleng keras. Tiba-tiba aku melihat pandangan tajam lelaki itu berubah menjadi sebuah tatapan sendu. Seperti ada sesuatu yang tersimpan dalam tatapannya. Aku bahkan tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan.

“Sudah tujuh belas tahun usia pernikahanku, tapi tak seorang pun anak terlahir dari rahim istriku. Dari benihku. Andi itu anak inangbao ku, adik istriku, yang aku biayai hidupnya seperti anakku sendiri sejak enam tahun lalu,”

Sungguh, ini suatu hal yang tak pernah kuduga! Kupikir, lelaki ini telah memiliki anak-anak yang sudah remaja, bahkan sudah pula menikah!

“Waktu Andi masih bayi merah, dia sering sakit-sakitan. Tubuhnya lemah tak berdaya. Tangisannya terdengar menyahat hati. Siang malam ibunya merawat dengan penuh kasih sayang, sedangkan ayahnya sibuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan menjual buah keliling. Dia hampir tak tertolong lagi. Maka, aku datang padanya.”

“Kurengkuh dia dalam dekapanku. Dengan lembut kukecup keningnya. Lalu kukatakan padanya, ‘Mulai hari ini, engkau paramanku. Aku, bapakmu,”

Aku mengerjapkan mataku, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Ternyata dia seorang lelaki yang berhati mulia! Aku keliru kalau menilai sikapnya kaku. Dia malah bisa menceritakan hal besar ini padaku dan Meli!

“Tak seorang pun menyangka, aku mau mengakui anak yang hampir mati itu sebagai anakku sendiri. Ayah ibu kandungnya sangat berterima kasih padaku, karena akhirnya jiwa raga anak itu dapat tertolong. Dia tumbuh menjadi anak laki-laki seperti teman-teman sebayanya. Istriku pun terharu, karena di tahun ke sebelas perkawinan kami, hidup kami tidak lagi berisi mimpi-mimpi memiliki keturunan, meskipun Andi tidak terlahir dari rahimnya. ” Aku mengangguk-anggukkan kepala.

“Awalnya memang orang-orang mencemoohkanku, karena jarang orang batak mengangkat anak dari inangbao, karena terbentur masalah marga. Lebih sering mengangkat anak dari abang atau adiknya sendiri, karena marganya sama. Aku malah pernah menyuruh inangbaoku tinggal di rumah ini bersama kami. Aku tidak peduli, meski sebenarnya itu tidak baik. Apalagi pada dasarnya kami berbeda keyakinan. Tapi akhirnya tak ada lagi protes, karena aku telah memberikan hatiku pada Andi.” Lanjut lelaki itu. Aku menatapnya, entah kenapa hatiku ikut tersentuh dengan pembicaraan ini.

Seseorang yang duduk di ruang mirip receptionist memberitahukan kalau ada tiga orang tamu yang ingin bertemu lelaki itu. Aku dan Meli pun segera berpamitan.

***

Satu setengah bulan kemudian, aku dan Meli kembali mengunjungi kantor sekaligus rumah lelaki berusia menjelang separuh abad itu. Pelaksanaan pekerjaan telah selesai, kini saatnya mengurus tagihan main contractor kami di Jakarta yang notabene memiliki proyek di Medan.

“Sebentar lagi saya akan pindah dari sini, karena saya sedang membangun kantor sekaligus rumah yang baru di satu tempat,” ungkapnya.

“Wah, semoga di kantor baru nanti, bapak akan semakin sukses menangani berbagai masalah perusahaan ya, Pak,” jawabku dengan sebuah senyum.

Tapi sekelebat duka kulihat di matanya. Kenapa wajahnya tidak seperti orang yang bahagia, karena tak lama lagi akan pindah ke rumah yang baru? Pikirku.

“Kalian pernah melihat gadis yang duduk di depan ruanganku ini? Yang menerima data-data yang kalian berikan waktu itu?” tanyanya. Aku mengangguk.

Lelaki itu bicara lagi, tentang perasaannya. Sesuatu yang begitu kuat menyentuh hatinya. Dia bilang, selama ini sebenarnya istrinya sering mengumumkan permintaan ingin memungut anak perempuan. Tapi dia menolaknya, karena dia tidak suka hal-hal yang bersifat direncanakan, setengah dipaksakan. Dia ingin sesuatu itu mengalir seperti apa adanya. Seperti saat mengangkat Andi sebagai paramannya.

Sampai kemudian gadis itu datang. Tak pernah terencana. Sudah tiga bulan menghuni kantornya, tercatat sebagai karyawati di perusahannya. Sering dia memanggil gadis itu ‘boru’ atau ‘inang’, padahal dia tentu tahu kalau namanya Sandra. Kian hari, dia memperlakukan Sandra layaknya anak perempuannya, bukan lagi karyawatinya.

Tapi istrinya bertanya, kenapa harus Sandra? Dia seorang gadis, sebentar lagi mungkin akan menikah dan kita akan ditinggalkannya. Kenapa tidak anak perempuan yang masih SD atau SMP? Lelaki itu geming, dia hanya menyayangi Sandra.

“Lantas kenapa bapak sedih? Apa yang terjadi?”

“Di saat aku ingin membangun rumah yang baru, pada saat acara peletakan batu pertama, si boru tiba-tiba berpamitan ingin pulang ke Porsea untuk selamanya. Dia bilang, kalau dirinya tidak pantas menjadi boruku! Bagaimana aku tidak sedih? Air mataku sampai bercucuran mengingat si boru telah pergi meninggalkan aku.”

Untuk sesaat aku tak mampu berkata apa-apa di depan lelaki itu. Aku merasa terharu dengan sikapnya. Selama tujuh belas tahun, perkawinannya hanya memberikan ruang hampa sebagai seorang ayah baginya, tapi ternyata tidak dengan hatinya sendiri. Ternyata hatinya penuh kasih dan cinta sebagai seorang ayah yang selalu ingin dia tebarkan kepada anak-anaknya. Kepada anak-anak yang tidak pernah sekalipun dia rencanakan untuk dikasihi dan dicintai. Mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang kurasakan selama dua belas tahun, tanpa kehadiran seorang ayah di sisiku, pikirku.

“Terima kasih atas bantuan bapak terhadap perusahaan kami. Apakah aku boleh berkunjung ke kantor bapak di lain waktu?” kataku sambil menjabat tangannya. Tanpa lebih dulu bertanya pada Meli, setuju atau tidak dengan kata-kataku.

“Dengan senang hati. Datanglah kau…” balasnya dengan ramah.

***

Secangkir Kopi Hangat

Fairuz mendengarkan obrolan ibu-ibu tetangga barunya. Ia paling muda di antara mereka. Sesekali ia tersenyum atau tertawa kecil menanggapi. Baginya ini bukan obrolan biasa. Dari mereka terpetik juga sebuah masukan yang baik. Sesuatu yang selama ini belum diketahuinya.

Tadinya ia hanya bermaksud mengantar kue ke rumah Ibu Desy. Ia baru saja selesai memasaknya. Ternyata di situ sudah ada Ibu Wina, Ibu Hesty dan Ibu Nani. Ia tidak diizinkan pergi. Mereka menyuruhnya duduk dan mengobrol. Dalam sekejap, kue yang ia bawa telah berpindah ke mulut mereka masing-masing.

“Sebelum saya menikah dengan Bapak si Dodo, sering dia bawa saya makan di Restauran. Pokoknya aneka macam jajanan pernah kami coba. Setelah menikah sampai punya anak tiga, dalam setahun aja belum tentu kami pernah makan di luar!”ungkap Ibu Desy menggambarkan sosok suaminya.

“Memang begitulah lelaki, Bu. Penilaian kita sebelum menikah, bisa berbeda dengan setelah kita menikah. Apalagi setelah punya anak,”tambah Ibu Wina.

“Ya, ialah. Kita, para isteri dapat mengetahui karakter suami kita sendiri, setelah menikah dengannya. Di dalam kancah rumah tanggalah akan terbongkar semua karakternya. Tidak mungkin disembunyikan lagi seperti waktu pacaran,”Ibu Hesty menimpali.

“Apalagi yang mau disembunyikannya. Namanya juga sudah satu atap, satu tempat tidur, satu nafas pula,”sahut Ibu Nani sambil tertawa, diikuti dengan Ibu-ibu yang lain. Tak terkecuali Fairuz.

Dari kepindahannya beberapa minggu lalu, baru kali ini ia bisa berada satu ruangan dan mengobrol dengan Ibu-ibu di sekitar rumahnya. Biasanya ia hanya berbasa-basi dan bertegur sapa. Setiap harinya dia disibukkan dengan urusan mengatur dan menyusun barang-barangnya, yang dibawa dari rumah kontrakan yang lama.

Fairuz merasa senang dengan bahan yang menjadi obrolan mereka. Sesuatu yang memang benar-benar dialami. Bukannya cerita mengada-ada atau menggosip. Kalau itu, jelas-jelas ia tak suka. Apalagi kalau suaminya tahu, pastilah ia akan marah.

“Suami saya seringkali membuat saya kesal. Sudahlah dia pulang larut malam, tak bawa uang pula. Sampai di tempat tidur, minta dilayani. Karena saya kesal, saya serahkan saja saya mau diapainnya. Saya sudah tak tahu apa-apa lagi,”cerita Ibu Nani.

“Apa dia tidak marah, Ibu seperti itu?”Fairuz balik bertanya. Keningnya berkerut.

“Rus, kita harus bisa ngasih pelajaran sama suami kita. Toh untuk kebaikan kita bersama. Seharian kita mengurus anak dan rumah tangga. Jangan dia mau enaknya saja. Dalam rumah tangga, kita kan harus saling berbagi dan memahami,”lanjut Ibu Nani.

“Kalau suami saya lain lagi. Dia tidak pernah memeluk dan melakukan hal yang romantis, kecuali untuk berhubungan intim. Sebagai wanita, saya kan juga ingin dimanja. Bukan hanya sebagai sebuah barang yang dibutuhkan, maka dipakai. Lantas kalau tidak dibutuhkan, tidak dianggap. Hubungan yang romantis di antara suami isteri, bukan harus melulu di tempat tidur. Kita bisa ciptakan banyak hal di luar itu,”kali ini giliran Ibu Hesty bercerita panjang lebar. Ibu Hesty sudah sepuluh tahun menikah, anaknya dua orang.

“Apa suami Ibu bisa mengerti kemudian?”tanya Fairuz ingin tahu. Ibu-Ibu yang lain ikut menunggu jawaban Ibu Hesty.

“Yah…perlahan-lahan saya bicarakan padanya. Sampai pernah saya mengetes dia. Saya tidur di kamar sebelah. Akhirnya kami berbaikan, sampai sekarang…”

Fairuz dan Ibu-ibu yang lain tampak manggut-manggut mendengar cerita Ibu Hesty. Ternyata dari setiap wanita, tak pernah sepi dari problematika di dalam rumah tangga. Mungkin kalau para isteri dikumpulkan, akan sangat banyaklah permasalahan yang mereka bawa dari rumah tangga mereka masing-masing.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Pertemuan tak terencana itu pun bubar dengan damai.

***

“Dek, tolong buatkan abang kopi ya. Taruh di dalam kamar,”

Deg. Jantung Fairuz berdebar. Bukan karena Faisal menyuruh sesuatu yang tak bisa ia lakukan. Apalah susahnya membuat secangkir kopi hangat. Namun kali ini ada yang menganggu pikirannya. Sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada Faisal.

Setiap kali Faisal meminta dibuatkan secangkir kopi hangat, itu sebuah pertanda Faisal ingin membuka pintu kemesraan dengannya. Ia sudah sangat paham. Padahal baru saja Fairuz merasa kesal dibuatnya. Sudah tiga bulan Faisal berjanji membelikannya sebuah liontin emas. Ada saja kendalanya. Bulan pertama, karena harus membayar uang sekolah adiknya. Bulan kedua, karena harus membetulkan seng yang bocor di rumah bapak. Bulan ini, karena harus membiayai perobatan ibu.

Anehnya, di saat Faisal tahu hatinya lagi kesal, di situ pulalah ia ingin bemesraan dengannya. Seolah-olah untuk menghilangkan rasa kesalnya. Membuatnya merasa nyaman. Tidak lagi memikirkan tentang masalah yang mereka hadapi. Selama ini memang Fairuz menganggapnya sebagai hal yang wajar, namun hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

“Menyelesaikan masalah dengan berhubungan intim, bukan jalan keluar yang baik. Itu suatu kesalahan besar!”bisiknya pada dirinya sendiri. Dan akan ia tegaskan pula pada suaminya.

Di dapur, saat membuatkan kopi. Fairuz bertekad. Bila nanti Faisal mulai menyentuhnya, ia akan tepiskan tangannya. Saat tubuh Faisal mendekat ke arahnya, ia akan menjauh darinya. Fairuz pun masuk ke dalam kamar.

“Makasih ya, Sayang. Sini, dekat abang,”raut wajah Faisal cerah seperti bulan purnama. Sebaliknya, hati Fairuz berdebar menjalankan rencananya.

“Lho, kok malah menjauh dari abang?”tangan Fairuz diraih. Cepat Fairuz menepisnya.

“Bang, kenapa sih setiap Fai kesal, abang selalu berusaha menghilangkan kesal Fai dengan cara ini. Lama kelamaan Fai tidak suka, Bang. Seolah-olah abang menggampangkan saja perasaan Fai. Tidak memedulikan apa yang Fai inginkan,”

Faisal terpana. Sekonyong-konyong Fairuz berubah menjadi seorang hakim di sebuah pengadilan, yang sedang membacakan tuntutannya kepada seorang terdakwa.

Matanya menyorot tajam, dadanya turun naik seperti orang yang sedang menunjukkan kemarahan. Padahal biasanya, bila ia menyentuh isterinya, maka ia pun akan menunjukkan kemanjaannya sebagai seorang isteri kepada suaminya. Lalu mereka akan larut dalam kemesraan yang dalam. Kini Faisal benar-benar tak dapat mempercayai kenyataan, yang baru saja berlangsung di hadapannya!

Faisal terdiam. Tidak bicara sepatah kata pun. Wajahnya tampak sedih dan kecewa. Ia ke luar dari kamar, membawa kopi yang baru diminum sedikit. Sementara Fairuz tak bisa memejamkan mata di tempat tidurnya.

Besoknya, Faisal tidak menggendongnya saat ia bangun tidur. Tidak ada percakapan hangat dan gurauan, yang disertai pelukan di meja makan. Fairuz memperhatikan dengan ekor matanya, suaminya hanya makan sedikit. Seperti orang tidak berselera. Wajahnya tampak kuyu.

Ketika melepas suaminya di depan pintu, Fairuz merasakan ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Tiba-tiba ia merasakan hal yang aneh. Ia merasa asing. Sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia lebih baik tidak merasakan hal ini.

Seharusnya ia biarkan semuanya berlangsung seperti apa adanya. Tidak perlu suaminya tahu apa yang menjadi kekesalan hatinya. Kenapa tidak ia biarkan suaminya menyentuh dan menciumnya? Apa ia punya hak untuk menolak?

Ia hanya seorang perempuan, datang dari kampung. Semua keluarganya tinggal di kampung. Faisal telah membawanya ke kota. Tentu saja ia tidak sama dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga yang menjadi tetangganya. Baik dari segi pemikiran, maupun latar belakang kehidupan. Sikapnya pada Faisal tidak mencerminkan kesabaran seorang wanita. Ia tidak biasa memberontak. Ibunya selalu mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan.

Malam harinya ia tidak sanggup melihat wajah suaminya. Hatinya didera rasa malu. Sedari tadi ia hanya di kamar, seolah disibukkan sesuatu. Tak terasa sebutir air mata menuruni pipinya yang mulus. Ia menangis. Menahankan perasaan rindu pada suaminya. Dia yang memulai semua ini, dia merasa harus dia pula lah yang mengakhirinya.

Pada saat Fairuz akan ke luar dari kamar, saat yang sama Faisal menuju ke dalam kamar. Tabrakan dua tubuh itu tak dapat dielakkan. Mereka terjatuh. Tangan Faisal terhimpit di bawah tubuh Fairuz. Jarak mereka sangat dekat. Fairuz memejamkan matanya. Sesaat merasakan desah nafas suaminya di wajahnya. Ia merindukan segalanya dari suaminya.

Kemudian mereka pun berdialog. Berupaya memecahkan perseteruan yang telah mendera mereka. Dan, menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri.

***

Selasa, 15 Desember 2009

Kombur

Ada satu kebiasaan Maya yang kurang kusukai. Setiap jam istirahat kantor, acapkali Maya sibuk membayangkan menu-menu makanan yang sesuai dengan seleranya. Kadang dia mengajakku makan di texas fried chicken. Warung Baso. Food Court. Sate Padang. Nelayan dan sebagainya. Beberapa kali aku mengikuti ajakannya untuk makan di luar, tapi tiapkali selesai makan siang dan kembali ke kantor, tak lama kemudian perutku berontak lagi minta diisi.

Seperti hari ini. Sebelum jam dua belas, Maya menghubungiku lewat airphone ke lantai dua. Dia minta ditemani membeli baju ke sebuah pusat perbelanjaan, yang kebetulan tidak begitu jauh dari kantor kami. Aku balik bertanya, mau makan siang di mana hari ini?

“Makan aja kok susah, Ki. Di sana pasti banyak orang jualan lah,”balasnya.

“May, aku kan sudah bilang sama kamu. Aku nggak bisa makan siang dengan menu sembarangan. Aku kan ada asam lambung. Bagi aku, tidak ada yang lebih penting selain makan nasi dengan lauk ikan dan sayur, plus sambal gorengnya. Menu-menu junkfood yang kau sukai itu, nggak bertahan lama di perutku. Sebentar aku sudah lapar lagi. Mana harganya cukup mahal lagi,”

Sebelum berkeliling mencari baju Maya, kami memutuskan untuk mengisi perut. Ada beberapa warung nasi di dalam kompleks pusat perbelanjaan ini. Ada juga warung nasi soto. Baso Urat. Sate padang dan nasi goreng. Kami memilih salah satu warung terbuka yang berada di tempat yang strategis. Dekat dengan tempat parkir.

Baru beberapa suap mengunyah nasi, kulihat Maya menghela nafasnya.

“Kenapa kamu? Kok kayak orang yang nggak berselera makan? Pantang merengut di depan nasi yang kita makan, May,”

“Mendingan kita jalan sedikit ke depan. Di seberang jalan ada kentucky fried chicken, Ki,”

“May, dengar ya. Bagi aku, makan nasi dengan telur aja nikmat, tapi yang penting harus ada sambalnya. Zaman sekarang kita harus banyak berhemat. Tidak selamanya perusahaan kita banyak order dari pelanggan, ada kalanya omset perusahaan akan menurun dan kita akan terkena dampaknya,”

Tiba-tiba seorang lelaki separuh baya mengambil tempat di depan tempat duduk kami. Dia memandang kami dengan akrab, seolah sudah kenal lama. Dia juga menyapa beberapa orang di warung nasi ini.

“Tidak sah datang ke Medan, kalau tidak singgah ke warung nasi ini,”kata lelaki itu pada kami. Di depannya sudah terhidang sepiring nasi dengan menu telur sambal.

“Memangnya bapak bukan orang sini?”

“Saya dari pantai labu. Setiap hari mondar mandir ke Medan, banyak urusan,”

“Urusan apa, Pak?”

“Belanja. Istri saya membuka sebuah toko pakaian. Hari ini dia tidak ikut, tapi saya sudah tahu toko langganannya,”

Maya manggut-manggut. Melihat cara makan si bapak yang terlihat sangat lahap, membuat Maya kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.

“Berapa usia bapak? Masih kuat ya mondar-mandir labuhan batu – medan tiap hari?”

“Belum terlalu tua kok. Gigi palsu saya tinggal di mobil, karena seringkali lepas waktu saya makan. Saya jadi malu diketawai sama anak-anak disini. Di labuhan batu saya punya ternak ayam,”

“O, ya? Jadi bapak punya ternak ayam? Wah, berarti bapak juragan di labuhan batu,”balas Maya.

“Ah, saya biasa-biasa aja. Makan pun hanya pakai telur sambal. Ingat waktu miskin dulu. Saat ini saya sudah punya lima barak ayam. Satu barak diperkirakan memuat sepuluh ribu ekor ayam. Dalam waktu dekat, saya pun akan membuka pakan di tebing. Tanahnya sudah saya beli lima hektar. Lima hektar itu sekitar dua puluh lima rante. Harga per rantenya sepuluh juta. Jadi diperkirakan harga tanahnya sekitar dua ratus lima puluh juta rupiah,”katanya sambil melap wajahnya. Dia sudah selesai makan.

Sudah hampir jam satu siang. Kami belum beranjak dari warung nasi. Belum juga mencari baju Maya. Seolah tempat duduk kami ada lem yang menahan punggung kami.

“Anak bapak berapa orang? Sudah punya cucu berapa?”tanya Maya lagi.

“Cucu saya baru satu. Istri pertama saya sudah meninggal. Anak kami dua orang. Yang satu sudah menikah, yang satu lagi masih kuliah di Jerman. Bagaimana pun senangnya dengan istri ke dua, lebih senang saya dengan istri pertama. Istri kedua saya anak dari mantan bupati langkat. Usianya masih dua puluh lima tahun. Tapi saya seringkali menasehati dia, bahwa kita jangan kilau oleh harta. Masih banyak orang yang susah di sekitar kita. Saya juga ingin dia mengerti kalau saya masih sering memberikan bantuan kepada orang tua mantan istri saya. Saya jangan diatur-aturnya. Saya kan kepala keluarga,”

“Hebat juga ya, Bapak. Bisa menyekolahkan anak sampai ke Jerman. Tapi kenapa gaya bapak biasa-biasa saja? Bapak kan bisa membeli pakaian yang mahal dan bagus. Seperti kata orang melayu kebanyakan, biar rumah runtuh asal gulai lomak kan, Pak?” lelaki paruh baya ikut tertawa mendengar kata-kataku.

Sempat aku melirik penampilannya dari dekat. Tubuhnya agak kurus, dibalut kemeja yang sudah tampak lusuh, karena keseringan dicuci. Celana panjangnya pun bukanlah dari bahan yang terbaik. Di kepalanya terpasang sebuah topi yang warnanya sudah tidak nampak lagi. Jam tangannya berwarna kuning, tapi sudah sangat kabur. Apa begini model orang kaya masa kini? Pikirku.

“Berarti bapak ini orangnya low profile, Ki. Tidak semua orang suka bergaya mewah. Buktinya bapak ini,”jawab Maya.

“Bentar lagi saya mau singgah ke rumah mantan mertua saya. Mau kasih uang belanja dua juta untuk mereka. Meskipun istri saya sudah meninggal, tapi saya kan punya anak dari dia. Hubungan orang tua dan anak itu kan tidak akan pernah ada putusnya,”tiba-tiba dia keluar dari warung dengan tergesa. Begitu saja dia berlalu dari hadapan kami.

Sepeninggal lelaki itu, seorang anak muda yang bekerja di warung mulai membereskan meja. Dia terlihat senyum-senyum di depan kami. Seperti ada yang disembunyikannya.

“Apa kata bapak tadi? Dia pengusaha ayam di labuhan batu? Istrinya mantan anak pejabat? Apalagi katanya, Kak?”beberapa anak muda lainnya ikut tertawa mendengar anak muda itu bicara. Aku dan Maya tertegun.

“Maksud kamu apa, Dek? Apa dia bukan seperti yang dia katakan? Bukannya tadi dia bicara tentang dirinya?”

“Iya, memang dia bicara, Kak. Tapi bohong semua. Dia memang sering makan di sini. Menunya telur sambal dan jengkol. Selalu itu ke itu aja, nggak pernah diganti. Orang dia cuma supir, Kak. Bukan pengusaha, apalagi sampai menyekolahkan anak ke Jerman. Hahaha. Dasar tukang kombur,”

Aku dan Maya berpandangan. Sesaat kemudian kami sudah keluar dari tempat parkir. Di jalan, Maya menyalahkan aku, kenapa memilih makan di warung itu. Tapi aku balik menyalahkan dia, kenapa meladeni orang seperti itu. Alhasil tujuan utama Maya mencari baju gagal total. Sampai di kantor, akhirnya kami tertawa sampai terpingkal-pingkal.

***

Air

Dari jam lima pagi, mulut Amah tak berhenti berkicau seperti burung beo. Begitu matanya mulai membuka dan langkahnya menuju ke kamar mandi. Dia melihat air di dalam bak mandi tidak bertambah sedikitpun. Itu berarti, dari jam sebelas malam sampai sekarang air belum juga hidup. Amah berkali-kali menarik nafas. Mati air lagi.

“Hari ini mati air. Kalian tidak usah mandi, cuci muka saja, kecuali untuk buang air besar,”kata Amah sewaktu suami dan ke empat anak laki-lakinya bangun. Peringatan Amah disambut dengan protes pada awalnya, tapi akhirnya suami dan ke empat anak laki-laki Amah setuju demi melihat kenyataan yang ada.

“Jangan lupa, abang complain mengenai masalah air kita ke kantor PDAM. Kalau ada masalah, biar segera diatasi petugas,”pesan Amah, saat suaminya berpamitan untuk mengantar anak-anak ke sekolah sekaligus menuju ke kantornya.

“Iya, nanti abang usahakan,”jawab suaminya sebelum berlalu.

Sudah hampir pukul delapan pagi. Setengah ragu Amah menghampiri tukang ikan keliling yang biasa mangkal di daerah mereka. Hampir setiap hari tukang ikan itu datang mengendarai sepeda motor, dengan membawa sejumlah ikan di dalam bak persegi empat yang terbuat dari kayu. Biasanya, kedatangannya sudah ditunggu para ibu.

Wandi, si tukang ikan paling tahu selera Amah dan ibu-ibu lainnya. Biasanya mereka lebih memilih membeli ikannya daripada membeli di kedai sampah di daerah ini ataupun langsung ke pajak dengan resiko mengeluarkan ongkos lebih besar. Ikan-ikan yang dibawa Wandi memang selalu tampak segar dan lebih dari satu jenis. Terkadang ditambah pula dengan udang, kepiting dan kepah. Harga ikan-ikan Wandi tidak lebih mahal dari harga ikan yang ditawarkan di pajak.

“Kok telat hari ini, Kak?”tanya Wandi.

“Di rumah kami sedang mati air. Dari tadi malam sampai pagi ini. Semua jadi serba tak menentu. Anak-anak sampai nggak bisa mandi pergi ke sekolah. Pemakaian air semua dijatah,”jawab Amah dengan raut kesal.

“Kalau di daerah kami tidak pernah ada istilah mati air. Alirannya kan langsung dari gunung,”balas Wandi yang rumahnya berada di daerah menuju Brastagi.

“Peristiwa mati air ini adalah imbas dari semakin banyaknya rumah-rumah bertingkat di daerah ini yang menggunakan pompa air. Jadi, kalau mereka menggunakan pompa airnya, kesempatan kita mendapatkan air jadi lebih kecil,”

Amah kemudian membandingkan kondisi daerah Sei Mati saat ini dengan lima tahun yang lalu, di saat pembangunan rumah-rumah bertingkat belum begitu banyak. Dulu, jarang sekali terjadi kemacetan air PAM. Jalan air selalu lancar dari pagi sampai pagi lagi. Tapi sekarang, tidak pagi, siang bahkan malam seringkali jalan air macet, bahkan kini mati total! Apalagi untuk rumah Amah yang berlantai dua dan memiliki kamar mandi di atas, air tidak bisa naik sampai ke atas lagi. Setiap malam, suami atau anak laki-laki Amah selalu mengangkat air beberapa ember.

“Jadi, mana yang lebih bagus, mati air atau mati lampu, Kak?”kelakar Wandi.

“Dua-duanya nggak bagus! Kalau mati lampu, mau mengerjakan apapun sulit di malam hari. Begitu juga bagi yang punya usaha. Tapi kalau mati air, lebih gawat lagi. Air sangat kita butuhkan dalam hidup. Seperti juga tumbuhan dan binatang membutuhkan air. Air memang karunia Tuhan yang paling besar untuk kehidupan kita. Bayangkan, kalau pasokan air sampai menipis, hidup kita akan terancam kekeringan!”

Tampak si tukang ikan manggut-manggut mendengar omongan Amah. Sementara di dalam hati dia masih mengharapkan para ibu datang membeli ikan-ikannya. Dia malah khawatir, karena alasan mati air, hari ini ikan-ikannya tidak laku terjual!.

“Makanya orang-orang di zaman dahulu disarankan memilih rumah di sekitar sumber air. Apakah sungai, anak sungai, ranting sungai bahkan mata air, karena air dipandang sebagai mata air kehidupan. Keberadaan air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar mereka berperan multiguna, sebagai air minum dan MCK, mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya, relijius dan juga ekonomi.”

“Kalau air sungai sekarang sudah banyak tercemar dengan berbagai jenis kotoran dan sampah. Semakin pintar orang-orang, tetapi semakin sulit untuk diatur dan sepertinya tidak mampu mempertahankan sesuatu yang telah dilakukan nenek moyangnya dahulu,”lanjut Kak Amah. Wandi kembali manggut-manggut, tapi matanya memerhatikan seorang perempuan yang sedang menyeberang.

Hati Wandi sedikit terhibur, saat A ling muncul di depan mereka. Ibu tiga anak itu sepertinya baru selesai mandi. Tampak sebagian rambutnya masih basah.

“Bawa ikan apa aja, Ndi?”tanyanya.

“Mujair Prapat. Kakap Timun. Lele. Kapuk. Tongkol sisik. Udang,”

“Aku beli mujair prapat sekilo. Udang setengah ya,”kata A ling memesan.

Wandi segera mengambil setengah kilo udang dan menyiangi ikan, membuang sisiknya, tapi tidak memotongnya karena A ling akan memangang ikan tersebut. .

“Beli ikan apa hari ini, Kak?”tanya A ling pada Amah.

“Hhh, masih bingung, Ling. Mau masak, tapi mati air. Entah jam berapa nanti bakal hidup. Kalau nyuci ikan mana bisa tanggung-tanggung airnya, bisa-bisa amisnya nggak hilang setelah dimasak,”

Wandi menarik nafas. Biasanya, Kak Amah membeli ikan paling sedikit satu kilogram setiap harinya. Wandi kesal. Kenapa mesti mati air, sehingga kegiatan orang-orang memasak jadi terganggu?

“Timbangkan aja kakap timun sekilo, Ndi. Kalau air nggak hidup juga, kakak taruk aja dulu di kulkas. Kalau airnya sudah hidup, baru dimasak,”berkata begitu, Kak Amah langsung merogoh uang di dompetnya.

Wandi menerima uang itu. Dia segera beranjak dari tempat mangkalnya, karena dia tidak mungkin menunggu sampai air hidup kembali. Ikan-ikan di dalam bak kayunya masih banyak. Dia harus mencari pelanggannya yang lain.

***

Peristiwa matinya air PAM masih menjadi topik hangat, saat Amah singgah ke kedai sampah untuk membeli sayuran. Beberapa tetangga sebelah gang juga sedang mengungkapkan kekesalan.

“Dulu, waktu kami masih tinggal di pinggir sungai, tidak pernah ada masalah soal air. Semua kegiatan yang berhubungan dengan air kami lakukan di sungai. Tapi sejak ada penggusuran rumah-rumah di pinggir sungai untuk urusan pemugaran sungai dari pemerintah Kota Medan dan kami harus pindah, masalah air jadi sangat menjengkelkan,”

“Harusnya kau pindah dari Sei Mati, jangan menyewa rumah di sekitar Sei Mati lagi, En”tukas Bu Sembiring.

Eni, Irna dan Amah tertawa kecil mendengar ucapan pemilik kedai sampah itu.

“Entah kenapa ya, Sei Mati ini sulit untuk dilupakan. Dari cerita emakku di zaman ompungku masih hidup, keteduhannya tidak pernah sirna sampai sekarang. Masalahnya sekarang, rumah-rumah kecil kita sudah ditutupi dengan gedung-gedung bertingkat. Apalagi ada dua SPBU dibangun di sini, belum lagi bakal dibangun perumahan-perumahan yang mentereng di daerah kita ini,”lanjut Eni.

“Di satu sisi ada hikmahnya perubahan di Sei Mati ini, biar warga Medan di tempat lain tidak hanya mengenal Sei Mati karena di sini ada Pekuburan Mandaliling saja. Di sini ada SPBU terlengkap di Medan yang termasuk SPBU terbaik. Mungkin di lain waktu bakal ada Perkantoran, Mal, Bank ataupun Hotel. Tapi di sisi lain, lihatlah sudah banyak warga kita yang pindah. Kita termasuk sebagian orang yang masih bertahan. Sebagian lagi sudah dihuni pendatang baru di rumah baru mereka,”Amah menatap para tetangganya bergantian. Sesaat mereka terdiam, memikirkan apa yang dikatakan Amah.

Tersadar waktu terus berjalan, Amah kemudian memilih sayuran.

Ada baiknya masalah air ini segera kita laporkan ke petugas yang berwenang menangani, agar kemacetan air ini tidak berlarut-larut,”kata Eni.

“Tadi pagi kakak sudah mengingatkan abang untuk melaporkannya. Bukan saja perihal kemacetan air ini yang perlu ditindaklanjuti, tapi kebersihan air itu sendiri. Tak jarang air yang sudah kakak masak, ada yang tertinggal seperti pasir di bagian bawahnya,”jawab Amah.

“Masalah kemacetan, bahkan kelangkaan air bersih seharusnya ikut menjadi perhatian pemerintah. Jangan masalah kenaikan harga BBM saja yang menjadi masalah nasional yang sangat serius dan dibahas berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Sementara kelangkaan air bersih atau bahkan banjir menjadi nomor kesekian yang harus diperhatikan. Padahal air merupakan faktor sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi lo,”kata Irna.

“Iya penting, meski nggak pake lo, gitu lo,”kelakar Amah, disambut tawa oleh yang lain. Mereka ke luar berbarengan dari kedai Bu Sembiring.

***

Pulang ke rumah, Amah langsung menyiapkan masakan dari bahan yang sudah dia beli di kedai. Dia mulai menyiangi sayur dan menyucinya dengan mengambil air di dalam bak mandi. Amah berpikir, betapa tersiksanya hidup dengan kondisi mati air. Dari bangun tidur, Amah sudah menahan kejengkelannya, sampai urusan masak pun terkendala. Hari ini, Amah masak seadanya. Ikan yang sudah dia beli dia masukkan ke dalam frezer. Amah berjalan ke dispencer, sekali lagi sayuran itu dicucinya, sebelum dimasak.

Amah menarik nafas. Dia menatap tumpukan peralatan dapur yang masih kotor. Biasanya, selesai memasak Amah langsung membersihkan semuanya, sehingga pekerjaannya beres dan rapi. Amah meletakkan sayuran dan telur dadar yang sudah dimasak di atas meja makan. Mungkin setelah ini, Amah akan membeli sebuah tong air yang besar untuk persediaan air di rumahnya.

Ini baru soal memasak. Belum lagi soal yang lain. Terhitung kejadiannya baru satu hari, bagaimana kalau sampai berhari-hari? Amah jadi bergidik membayangkannya.

Pulang sekolah, ke tiga anak laki-laki Amah protes, begitu melihat menu makan siang di meja makan.

“Makan aja apa yang ada, sayang. Jangan mentiko kali lah. Mak juga bingung mau masak kalau air mati kayak begini,”kata Amah.

Terdengar suara ketukan di pintu, ditandai ucapan salam. Amah membuka pintu. Tetangga sebelah mengabarkan sebuah berita duka cita! Pak Haji Rangkuti, tetangga sebelah gang, teman alamarhum ayah Amah di waktu muda baru saja meninggal dunia.

“Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un…”ucap Amah, terbayang sosok lelaki tua itu.

Saat ingin berganti baju, Amah masih juga kesal dengan matinya air. Dia harus pergi melayat, padahal dia belum mandi sejak pagi tadi. Amah menggaruk badannya yang gatal, kemudian menaburinya dengan bedak talak. Sebuah gamis berwarna hitam ditaburi bordir bunga dipakainya. Sesaat kemudian dia membayangkan kesibukan di rumah keluarga almarhum Pak Haji Rangkuti.

***

Medan, 22 April 2009

Senin, 14 Desember 2009

Sinetron

Belakangan ini, istriku gemar menonton sebuah tayangan di televisi. Begitu acara yang digemarinya itu muncul, matanya akan tertuju sepenuhnya ke layar televisi. Setelah kuperhatikan, ternyata belakangan ini istriku gemar menonton sebuah sinetron bersambung berdurasi satu setengah jam.

Aku bertanya padanya, kenapa dia menonton sinetron berjudul Bianglala itu setiap malam. Menurut istriku, dia menonton setiap malam, karena takut akan ketinggalan ceritanya. Sinetron itu kejar tayang.

“Bukannya selama ini kau tidak suka nonton sinetron?”tanyaku.

“Sinetron ini beda, Bang. Ceritanya tidak bertele-tele dan tidak pula menawarkan mimpi-mimpi dan khayalan kosong, seperti cerita-cerita bertema kemewahan dalam sinetron yang lain.”jawabnya.

Mirna menonton sinetron, sambil mengawasi ke dua anak kami belajar. Di saat barisan iklan sedang unjuk gigi di TV, dia buru-buru mendekati Alif dan Nisa. Setelah iklan habis, dia buru-buru lagi ke depan TV. Memang jarak antara ruang belajar Alif dan Nisa dengan ruang menonton TV tidak jauh dan tidak bersekat pula. Otomatis ke dua anak kami sesekali juga menonton TV.

“Mir, abang jadi khawatir melihat caramu mengawasi belajar Alif dan Nisa. Lama-lama mereka bukannya belajar, malah ikut nonton.”kataku bernada protes, sebab ke dua anakku mulai mengetahui nama-nama pemain dalam sinetron itu dan mengenai kisahnya.

“Bang, sekali-sekali biarlah aku menikmati acara hiburan yang ada di TV untuk menghibur diriku. Dari pagi sampai malam, aku sibuk mengurusi rumah dan anak-anak. Apa salahnya kalau aku menonton sinetron kesayanganku? Toh ini bukan sesuatu yang jelek,”jawabnya membela diri.

“Abang tidak mengatakan hal itu jelek. Abang hanya tidak ingin anak-anak kita jadi malas belajar, sehingga akan berpengaruh buruk pada pelajarannya. Alif memang masih kelas tiga dan Nisa kelas satu. Sebagai orang tuanya, kita harus menggembleng mereka untuk lebih fokus belajar.”kataku dengan tegas.

Mirna kemudian mengubah rutinitasnya sedemikian rupa, demi hobinya itu. Sebelum maghrib dia sudah sibuk memberi makan anak-anak kami. Selepas maghrib, Alif dan Nisa disuruh membuka pelajarannya, sementara Fikri--anak bungsu kami ditidurkan lebih cepat dari biasanya. Mirna tidak bisa konsentrasi menonton, kalau si bungsu belum tidur. Dia sering mengganggu Mirna dengan memencet channel TV yang lain atau memutar film anak-anak lewat DVD..

“Kalau dia belum ngantuk, jangan kau paksa dia untuk tidur, Mir. Bagaimana kalau kau yang disuruh tidur, padahal kau belum ngantuk?”protesku, saat Mirna ingin memarahi Fikri. Aku menjauhkan Fikri dari televisi.

Perhatian Mirna tersedot ke layar TV. Terkadang dia mengangguk-angguk, seperti menyatakan setuju pada sikap seseorang dalam sinetron itu. Kadang dia ikut sedih dan meneteskan air mata bila ada adegan yang mengharukan, tapi tak jarang, dia bersungut-sungut bila ada hal yang tidak sesuai dengan pemikirannya.

“Aku benar-benar muak dan geram liat si Bebi. Kok ada ya orang sejahat dia? Seharusnya Farah tidak menolongnya dari pinggir jalan dan membawanya ke rumah, sewaktu dia masih jadi gelandangan. Bukannya berterima kasih pada Farah, sekarang Bebi malah sering kasar pada Farah. Bahkan dia sengaja menjebak suami Farah untuk merebutnya dari sisi Farah supaya rumah tangga mereka hancur!”kata Mirna.

“Mir, tidak mungkin jalan cerita sinetron itu akan sama dengan pemikiranmu, karena semuanya berjalan sesuai dengan naskah yang dibuat penulis skenario dan kemudian diarahkan oleh sutradara. Lagipula kalau kau cerita sama abang, abang juga nggak mengerti dengan apa yang kau bilang,”Mirna menatapku.

“Makanya abang ikut nonton bersamaku, seperti suami-suami tetangga kita. Mereka nyambung kalau kita-para ibu-ibu membahas soal sinetron itu,”dia malah mengajakku ikut menonton!

“Lebih mending abang memperbaiki radio rusak, daripada harus nonton sinetron, Mir.”tolakku cepat.

Acapkali di pagi hari, sambil menyiapkan sarapan kami, Mirna bertanya entah pada siapa.

“Nanti malam, apa lagi yang akan dilakukan si Bebi ya? Semoga aja kejahatannya cepat terungkap dan dia di penjara selamanya!”katanya.

Di lain waktu, selagi menonton sinetron kejar tayang itu, tiba-tiba mulut Mirna menyerocos. Seperti ingin memuntahkan kekesalan dalam hatinya.

“Malas kali aku nonton sinetron ini, kalau begini ceritanya. Masa orang jahat nggak terungkap kejahatannya? Kenapa orang baik yang justru selalu mendapatkan masalah, difitnah dan dilecehkan sementara orang yang jelas-jelas bersalah bisa tertawa-tawa diatas penderitaan orang lain?”lagi-lagi raut Mirna tak senang, karena kejahatan pemeran antagonis dalam sinetron itu belum juga terungkap.

“Makanya nggak usah nonton sinetron, Mir! Kesannya penonton seperti dibodoh-bodohi. Apa gunanya kau nonton setiap malam? Yang ada selesai sinetron para pemain mendapatkan banyak uang dan penghargaan. Sementara kau dapat apa? Waktumu bersama suami dan anak-anak jadi terbuang.”jawabku.

Aku berupaya menyadarkan Mirna, supaya dia bisa mentolerir hobinya dan kembali seperti sediakala. Belakangan ini tak pernah lagi Mirna memasak bubur kacang hijau, kolak pisang, ubi goreng atau kue basah untuk kami makan di beranda sambil mengobrol. Kalau tidak bersama anak-anakku, aku terkadang mengobrol bersama tetangga sebelah, sambil menyulut beberapa batang rokok.

“Dibilang membodoh-bodohi pentonton juga nggak kok, Bang. Apa yang digambarkan dalam sinetron itu memang terjadi di dalam kehidupan kita. Zaman sekarang, entah kenapa orang baik seringkali difitnah melakukan hal yang tidak dia lakukan, sementara pelaku kejahatan sendiri terbebas dari segala tuntutan hukum,”terpana aku mendengar dia membenarkan jalan cerita dalam sinetron itu. Padahal baru saja dia mengungkapkan kekesalannya.

“Kaulah yang tahu betul mengenai sinetron itu, Mir. Bahkan gaya bicaramu juga sudah kayak pemainnya,”

“Makanya aku suka nontonnya, Bang. Seperti dalam kehidupan sehari-hari kita temukan perebutan dalam harta warisan, di sinetron ini apalagi. Bahkan Bebi dan suaminya sampai melakukan tindakan kriminal untuk meraih tujuannya. Dalam otak mereka hanya ada harta dan harta, sementara pewaris harta itu sendiri tidak pernah mendapatkan haknya.”

“Apa nggak ada lagi acara TV yang bisa kau nikmati selain sinetronmu itu, Mir? Lagipula, apa kau sendiri yang mau nonton TV di rumah ini?”lanjutku. Mirna diam.

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakukannya. Tak jarang, aku melewati malam minggu yang didaulat sebagai malam liburan sendirian. Saat kuajak Mirna jalan-jalan sebentar di sekitar komplek untuk membeli jajanan, dia menolak. Begitupun kalau ada hajatan atau kemalangan di malam hari, seringkali dia membiarkan aku pergi sendirian atau bersama teman yang lain.

Begitupun, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Selama ini, Mirna dapat menerima kekuranganku. Aku jarang sekali membawa istri dan ketiga anakku liburan ke tempat-tempat wisata atau ke arena bermain anak-anak ataupun makan di restoran besar. Kalau Mirna menganggap dengan menonton sinetron dia terhibur, di satu sisi aku ikut senang. Meskipun di sisi lain aku kurang berkenan!

Beberapa hari ini aku harus kerja lembur, menyelesaikan pekerjaan penarikan instalasi telepon di sebuah hotel bintang lima di Medan. Sebagai teknisi di sebuah perusahaan kontraktor bidang telekomunikasi, aku harus bertanggung jawab dengan pekerjaan sekaligus profesiku. Aku merasa pekerjaanku selama ini tidak saja butuh ketelitian, tapi juga seni. Seni bagaimana membuat sebuah instalasi itu menjadi rapi dan enak dipandang, sehingga bila dihubungkan dengan perangkat hardware, akan menghasilkan suara yang jernih.

Hampir jam setengah sepuluh aku baru pulang, dengan mengendarai sepeda motorku. Kuhempaskan tubuh letihku di kursi, sambil menyulut sebatang rokok. Mirna masih setia dengan sinetronnya, tapi ditegurnya juga aku.

“Baru pulang, Bang? Udah makan? Capek?”katanya berbasa basi.

“Anak-anak udah tidur, Mir?”aku menghembuskan rokok yang baru kuhisap. Tak perduli dengan pertanyaannya.

“Hari ini mereka cepat tidur, Bang. Aku jadi lebih tenang nonton. Soalnya ini lagi seru-serunya, Bang.”

Aku beranjak ke kamar. Di tempat tidur Nisa dan Fikri tampak sedang tidur dengan pulas. Tapi Alif? Kuarahkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar anak, tapi Alif tidak ada! Kucari Alif ke kamar sebelah, ke ruang belakang. Aku malah menemukan air dalam keadaan melimpah-limpah di dalam bak kamar mandi!

“Kau bilang Alif tidur? Dia tidak ada di kamarnya, juga di rumah ini! Ke mana dia, Mir?”

Mirna tersentak dari kursinya. Seperti orang baru kehilangan sesuatu, sibuk dia mencari-cari Alif, sambil memanggil namanya. Kali ini aku benar-benar kesal padanya!

“Selama ini kau terlampau memberhalakan sinetron itu, sehingga melalaikan pengawasan terhadap anakmu sendiri, Mir. Kau juga kurang memerdulikan rumah ini! Udah berapa lama air melimpah-limpah di bak kamar mandi, kau nggak tahu!”kemarahanku merebak.

“Apa kau masih juga akan terus mementingkan sinetron itu daripada rumah tangga kita, Mir?”kesabaranku nyaris habis. Mirna mulai terisak.

Dengan cemas aku bergegas mencari Alif di rumah-rumah tetangga kami. Mirna menyusul di belakangku.