Seperti hari ini. Sebelum jam dua belas, Maya menghubungiku lewat airphone ke lantai dua. Dia minta ditemani membeli baju ke sebuah pusat perbelanjaan, yang kebetulan tidak begitu jauh dari kantor kami. Aku balik bertanya, mau makan siang di mana hari ini?
“Makan aja kok susah, Ki. Di
“May, aku
Sebelum berkeliling mencari baju Maya, kami memutuskan untuk mengisi perut.
Baru beberapa suap mengunyah nasi, kulihat Maya menghela nafasnya.
“Kenapa kamu? Kok kayak orang yang nggak berselera makan? Pantang merengut di depan nasi yang kita makan, May,”
“Mendingan kita jalan sedikit ke depan. Di seberang jalan ada
“May, dengar ya. Bagi aku, makan nasi dengan telur aja nikmat, tapi yang penting harus ada sambalnya. Zaman sekarang kita harus banyak berhemat. Tidak selamanya perusahaan kita banyak order dari pelanggan, ada kalanya omset perusahaan akan menurun dan kita akan terkena dampaknya,”
Tiba-tiba seorang lelaki separuh baya mengambil tempat di depan tempat duduk kami. Dia memandang kami dengan akrab, seolah sudah kenal lama. Dia juga menyapa beberapa orang di warung nasi ini.
“Tidak sah datang ke
“Memangnya bapak bukan orang sini?”
“Saya dari pantai labu. Setiap hari mondar mandir ke
“Urusan apa, Pak?”
“Belanja. Istri saya membuka sebuah toko pakaian. Hari ini dia tidak ikut, tapi saya sudah tahu toko langganannya,”
Maya manggut-manggut. Melihat cara makan si bapak yang terlihat sangat lahap, membuat Maya kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Berapa usia bapak? Masih kuat ya mondar-mandir labuhan batu –
“Belum terlalu tua kok. Gigi palsu saya tinggal di mobil, karena seringkali lepas waktu saya makan. Saya jadi malu diketawai sama anak-anak disini. Di labuhan batu saya punya ternak ayam,”
“O, ya? Jadi bapak punya ternak ayam? Wah, berarti bapak juragan di labuhan batu,”balas Maya.
“Ah, saya biasa-biasa aja. Makan pun hanya pakai telur sambal. Ingat waktu miskin dulu. Saat ini saya sudah punya
Sudah hampir jam satu siang. Kami belum beranjak dari warung nasi. Belum juga mencari baju Maya. Seolah tempat duduk kami ada lem yang menahan punggung kami.
“Anak bapak berapa orang? Sudah punya cucu berapa?”tanya Maya lagi.
“Cucu saya baru satu. Istri pertama saya sudah meninggal. Anak kami dua orang. Yang satu sudah menikah, yang satu lagi masih kuliah di Jerman. Bagaimana pun senangnya dengan istri ke dua, lebih senang saya dengan istri pertama. Istri kedua saya anak dari mantan bupati langkat. Usianya masih dua puluh
“Hebat juga ya, Bapak. Bisa menyekolahkan anak sampai ke Jerman. Tapi kenapa
Sempat aku melirik penampilannya dari dekat. Tubuhnya agak kurus, dibalut kemeja yang sudah tampak lusuh, karena keseringan dicuci. Celana panjangnya pun bukanlah dari bahan yang terbaik. Di kepalanya terpasang sebuah topi yang warnanya sudah tidak nampak lagi. Jam tangannya berwarna kuning, tapi sudah sangat kabur. Apa begini model orang kaya masa kini? Pikirku.
“Berarti bapak ini orangnya low profile, Ki. Tidak semua orang suka bergaya mewah. Buktinya bapak ini,”jawab Maya.
“Bentar lagi saya mau singgah ke rumah mantan mertua saya. Mau kasih uang belanja dua juta untuk mereka. Meskipun istri saya sudah meninggal, tapi saya
Sepeninggal lelaki itu, seorang anak muda yang bekerja di warung mulai membereskan meja. Dia terlihat senyum-senyum di depan kami. Seperti ada yang disembunyikannya.
“Apa kata bapak tadi? Dia pengusaha ayam di labuhan batu? Istrinya mantan anak pejabat? Apalagi katanya, Kak?”beberapa anak muda lainnya ikut tertawa mendengar anak muda itu bicara. Aku dan Maya tertegun.
“Maksud kamu apa, Dek? Apa dia bukan seperti yang dia katakan? Bukannya tadi dia bicara tentang dirinya?”
“Iya, memang dia bicara, Kak. Tapi bohong semua. Dia memang sering makan di sini. Menunya telur sambal dan jengkol. Selalu itu ke itu aja, nggak pernah diganti. Orang dia cuma supir, Kak. Bukan pengusaha, apalagi sampai menyekolahkan anak ke Jerman. Hahaha. Dasar tukang kombur,”
Aku dan Maya berpandangan. Sesaat kemudian kami sudah keluar dari tempat parkir. Di jalan, Maya menyalahkan aku, kenapa memilih makan di warung itu. Tapi aku balik menyalahkan dia, kenapa meladeni orang seperti itu. Alhasil tujuan utama Maya mencari baju gagal total. Sampai di kantor, akhirnya kami tertawa sampai terpingkal-pingkal.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar