Selasa, 15 Desember 2009

Kombur

Ada satu kebiasaan Maya yang kurang kusukai. Setiap jam istirahat kantor, acapkali Maya sibuk membayangkan menu-menu makanan yang sesuai dengan seleranya. Kadang dia mengajakku makan di texas fried chicken. Warung Baso. Food Court. Sate Padang. Nelayan dan sebagainya. Beberapa kali aku mengikuti ajakannya untuk makan di luar, tapi tiapkali selesai makan siang dan kembali ke kantor, tak lama kemudian perutku berontak lagi minta diisi.

Seperti hari ini. Sebelum jam dua belas, Maya menghubungiku lewat airphone ke lantai dua. Dia minta ditemani membeli baju ke sebuah pusat perbelanjaan, yang kebetulan tidak begitu jauh dari kantor kami. Aku balik bertanya, mau makan siang di mana hari ini?

“Makan aja kok susah, Ki. Di sana pasti banyak orang jualan lah,”balasnya.

“May, aku kan sudah bilang sama kamu. Aku nggak bisa makan siang dengan menu sembarangan. Aku kan ada asam lambung. Bagi aku, tidak ada yang lebih penting selain makan nasi dengan lauk ikan dan sayur, plus sambal gorengnya. Menu-menu junkfood yang kau sukai itu, nggak bertahan lama di perutku. Sebentar aku sudah lapar lagi. Mana harganya cukup mahal lagi,”

Sebelum berkeliling mencari baju Maya, kami memutuskan untuk mengisi perut. Ada beberapa warung nasi di dalam kompleks pusat perbelanjaan ini. Ada juga warung nasi soto. Baso Urat. Sate padang dan nasi goreng. Kami memilih salah satu warung terbuka yang berada di tempat yang strategis. Dekat dengan tempat parkir.

Baru beberapa suap mengunyah nasi, kulihat Maya menghela nafasnya.

“Kenapa kamu? Kok kayak orang yang nggak berselera makan? Pantang merengut di depan nasi yang kita makan, May,”

“Mendingan kita jalan sedikit ke depan. Di seberang jalan ada kentucky fried chicken, Ki,”

“May, dengar ya. Bagi aku, makan nasi dengan telur aja nikmat, tapi yang penting harus ada sambalnya. Zaman sekarang kita harus banyak berhemat. Tidak selamanya perusahaan kita banyak order dari pelanggan, ada kalanya omset perusahaan akan menurun dan kita akan terkena dampaknya,”

Tiba-tiba seorang lelaki separuh baya mengambil tempat di depan tempat duduk kami. Dia memandang kami dengan akrab, seolah sudah kenal lama. Dia juga menyapa beberapa orang di warung nasi ini.

“Tidak sah datang ke Medan, kalau tidak singgah ke warung nasi ini,”kata lelaki itu pada kami. Di depannya sudah terhidang sepiring nasi dengan menu telur sambal.

“Memangnya bapak bukan orang sini?”

“Saya dari pantai labu. Setiap hari mondar mandir ke Medan, banyak urusan,”

“Urusan apa, Pak?”

“Belanja. Istri saya membuka sebuah toko pakaian. Hari ini dia tidak ikut, tapi saya sudah tahu toko langganannya,”

Maya manggut-manggut. Melihat cara makan si bapak yang terlihat sangat lahap, membuat Maya kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.

“Berapa usia bapak? Masih kuat ya mondar-mandir labuhan batu – medan tiap hari?”

“Belum terlalu tua kok. Gigi palsu saya tinggal di mobil, karena seringkali lepas waktu saya makan. Saya jadi malu diketawai sama anak-anak disini. Di labuhan batu saya punya ternak ayam,”

“O, ya? Jadi bapak punya ternak ayam? Wah, berarti bapak juragan di labuhan batu,”balas Maya.

“Ah, saya biasa-biasa aja. Makan pun hanya pakai telur sambal. Ingat waktu miskin dulu. Saat ini saya sudah punya lima barak ayam. Satu barak diperkirakan memuat sepuluh ribu ekor ayam. Dalam waktu dekat, saya pun akan membuka pakan di tebing. Tanahnya sudah saya beli lima hektar. Lima hektar itu sekitar dua puluh lima rante. Harga per rantenya sepuluh juta. Jadi diperkirakan harga tanahnya sekitar dua ratus lima puluh juta rupiah,”katanya sambil melap wajahnya. Dia sudah selesai makan.

Sudah hampir jam satu siang. Kami belum beranjak dari warung nasi. Belum juga mencari baju Maya. Seolah tempat duduk kami ada lem yang menahan punggung kami.

“Anak bapak berapa orang? Sudah punya cucu berapa?”tanya Maya lagi.

“Cucu saya baru satu. Istri pertama saya sudah meninggal. Anak kami dua orang. Yang satu sudah menikah, yang satu lagi masih kuliah di Jerman. Bagaimana pun senangnya dengan istri ke dua, lebih senang saya dengan istri pertama. Istri kedua saya anak dari mantan bupati langkat. Usianya masih dua puluh lima tahun. Tapi saya seringkali menasehati dia, bahwa kita jangan kilau oleh harta. Masih banyak orang yang susah di sekitar kita. Saya juga ingin dia mengerti kalau saya masih sering memberikan bantuan kepada orang tua mantan istri saya. Saya jangan diatur-aturnya. Saya kan kepala keluarga,”

“Hebat juga ya, Bapak. Bisa menyekolahkan anak sampai ke Jerman. Tapi kenapa gaya bapak biasa-biasa saja? Bapak kan bisa membeli pakaian yang mahal dan bagus. Seperti kata orang melayu kebanyakan, biar rumah runtuh asal gulai lomak kan, Pak?” lelaki paruh baya ikut tertawa mendengar kata-kataku.

Sempat aku melirik penampilannya dari dekat. Tubuhnya agak kurus, dibalut kemeja yang sudah tampak lusuh, karena keseringan dicuci. Celana panjangnya pun bukanlah dari bahan yang terbaik. Di kepalanya terpasang sebuah topi yang warnanya sudah tidak nampak lagi. Jam tangannya berwarna kuning, tapi sudah sangat kabur. Apa begini model orang kaya masa kini? Pikirku.

“Berarti bapak ini orangnya low profile, Ki. Tidak semua orang suka bergaya mewah. Buktinya bapak ini,”jawab Maya.

“Bentar lagi saya mau singgah ke rumah mantan mertua saya. Mau kasih uang belanja dua juta untuk mereka. Meskipun istri saya sudah meninggal, tapi saya kan punya anak dari dia. Hubungan orang tua dan anak itu kan tidak akan pernah ada putusnya,”tiba-tiba dia keluar dari warung dengan tergesa. Begitu saja dia berlalu dari hadapan kami.

Sepeninggal lelaki itu, seorang anak muda yang bekerja di warung mulai membereskan meja. Dia terlihat senyum-senyum di depan kami. Seperti ada yang disembunyikannya.

“Apa kata bapak tadi? Dia pengusaha ayam di labuhan batu? Istrinya mantan anak pejabat? Apalagi katanya, Kak?”beberapa anak muda lainnya ikut tertawa mendengar anak muda itu bicara. Aku dan Maya tertegun.

“Maksud kamu apa, Dek? Apa dia bukan seperti yang dia katakan? Bukannya tadi dia bicara tentang dirinya?”

“Iya, memang dia bicara, Kak. Tapi bohong semua. Dia memang sering makan di sini. Menunya telur sambal dan jengkol. Selalu itu ke itu aja, nggak pernah diganti. Orang dia cuma supir, Kak. Bukan pengusaha, apalagi sampai menyekolahkan anak ke Jerman. Hahaha. Dasar tukang kombur,”

Aku dan Maya berpandangan. Sesaat kemudian kami sudah keluar dari tempat parkir. Di jalan, Maya menyalahkan aku, kenapa memilih makan di warung itu. Tapi aku balik menyalahkan dia, kenapa meladeni orang seperti itu. Alhasil tujuan utama Maya mencari baju gagal total. Sampai di kantor, akhirnya kami tertawa sampai terpingkal-pingkal.

***

Tidak ada komentar: