Senin, 14 Desember 2009

Sinetron

Belakangan ini, istriku gemar menonton sebuah tayangan di televisi. Begitu acara yang digemarinya itu muncul, matanya akan tertuju sepenuhnya ke layar televisi. Setelah kuperhatikan, ternyata belakangan ini istriku gemar menonton sebuah sinetron bersambung berdurasi satu setengah jam.

Aku bertanya padanya, kenapa dia menonton sinetron berjudul Bianglala itu setiap malam. Menurut istriku, dia menonton setiap malam, karena takut akan ketinggalan ceritanya. Sinetron itu kejar tayang.

“Bukannya selama ini kau tidak suka nonton sinetron?”tanyaku.

“Sinetron ini beda, Bang. Ceritanya tidak bertele-tele dan tidak pula menawarkan mimpi-mimpi dan khayalan kosong, seperti cerita-cerita bertema kemewahan dalam sinetron yang lain.”jawabnya.

Mirna menonton sinetron, sambil mengawasi ke dua anak kami belajar. Di saat barisan iklan sedang unjuk gigi di TV, dia buru-buru mendekati Alif dan Nisa. Setelah iklan habis, dia buru-buru lagi ke depan TV. Memang jarak antara ruang belajar Alif dan Nisa dengan ruang menonton TV tidak jauh dan tidak bersekat pula. Otomatis ke dua anak kami sesekali juga menonton TV.

“Mir, abang jadi khawatir melihat caramu mengawasi belajar Alif dan Nisa. Lama-lama mereka bukannya belajar, malah ikut nonton.”kataku bernada protes, sebab ke dua anakku mulai mengetahui nama-nama pemain dalam sinetron itu dan mengenai kisahnya.

“Bang, sekali-sekali biarlah aku menikmati acara hiburan yang ada di TV untuk menghibur diriku. Dari pagi sampai malam, aku sibuk mengurusi rumah dan anak-anak. Apa salahnya kalau aku menonton sinetron kesayanganku? Toh ini bukan sesuatu yang jelek,”jawabnya membela diri.

“Abang tidak mengatakan hal itu jelek. Abang hanya tidak ingin anak-anak kita jadi malas belajar, sehingga akan berpengaruh buruk pada pelajarannya. Alif memang masih kelas tiga dan Nisa kelas satu. Sebagai orang tuanya, kita harus menggembleng mereka untuk lebih fokus belajar.”kataku dengan tegas.

Mirna kemudian mengubah rutinitasnya sedemikian rupa, demi hobinya itu. Sebelum maghrib dia sudah sibuk memberi makan anak-anak kami. Selepas maghrib, Alif dan Nisa disuruh membuka pelajarannya, sementara Fikri--anak bungsu kami ditidurkan lebih cepat dari biasanya. Mirna tidak bisa konsentrasi menonton, kalau si bungsu belum tidur. Dia sering mengganggu Mirna dengan memencet channel TV yang lain atau memutar film anak-anak lewat DVD..

“Kalau dia belum ngantuk, jangan kau paksa dia untuk tidur, Mir. Bagaimana kalau kau yang disuruh tidur, padahal kau belum ngantuk?”protesku, saat Mirna ingin memarahi Fikri. Aku menjauhkan Fikri dari televisi.

Perhatian Mirna tersedot ke layar TV. Terkadang dia mengangguk-angguk, seperti menyatakan setuju pada sikap seseorang dalam sinetron itu. Kadang dia ikut sedih dan meneteskan air mata bila ada adegan yang mengharukan, tapi tak jarang, dia bersungut-sungut bila ada hal yang tidak sesuai dengan pemikirannya.

“Aku benar-benar muak dan geram liat si Bebi. Kok ada ya orang sejahat dia? Seharusnya Farah tidak menolongnya dari pinggir jalan dan membawanya ke rumah, sewaktu dia masih jadi gelandangan. Bukannya berterima kasih pada Farah, sekarang Bebi malah sering kasar pada Farah. Bahkan dia sengaja menjebak suami Farah untuk merebutnya dari sisi Farah supaya rumah tangga mereka hancur!”kata Mirna.

“Mir, tidak mungkin jalan cerita sinetron itu akan sama dengan pemikiranmu, karena semuanya berjalan sesuai dengan naskah yang dibuat penulis skenario dan kemudian diarahkan oleh sutradara. Lagipula kalau kau cerita sama abang, abang juga nggak mengerti dengan apa yang kau bilang,”Mirna menatapku.

“Makanya abang ikut nonton bersamaku, seperti suami-suami tetangga kita. Mereka nyambung kalau kita-para ibu-ibu membahas soal sinetron itu,”dia malah mengajakku ikut menonton!

“Lebih mending abang memperbaiki radio rusak, daripada harus nonton sinetron, Mir.”tolakku cepat.

Acapkali di pagi hari, sambil menyiapkan sarapan kami, Mirna bertanya entah pada siapa.

“Nanti malam, apa lagi yang akan dilakukan si Bebi ya? Semoga aja kejahatannya cepat terungkap dan dia di penjara selamanya!”katanya.

Di lain waktu, selagi menonton sinetron kejar tayang itu, tiba-tiba mulut Mirna menyerocos. Seperti ingin memuntahkan kekesalan dalam hatinya.

“Malas kali aku nonton sinetron ini, kalau begini ceritanya. Masa orang jahat nggak terungkap kejahatannya? Kenapa orang baik yang justru selalu mendapatkan masalah, difitnah dan dilecehkan sementara orang yang jelas-jelas bersalah bisa tertawa-tawa diatas penderitaan orang lain?”lagi-lagi raut Mirna tak senang, karena kejahatan pemeran antagonis dalam sinetron itu belum juga terungkap.

“Makanya nggak usah nonton sinetron, Mir! Kesannya penonton seperti dibodoh-bodohi. Apa gunanya kau nonton setiap malam? Yang ada selesai sinetron para pemain mendapatkan banyak uang dan penghargaan. Sementara kau dapat apa? Waktumu bersama suami dan anak-anak jadi terbuang.”jawabku.

Aku berupaya menyadarkan Mirna, supaya dia bisa mentolerir hobinya dan kembali seperti sediakala. Belakangan ini tak pernah lagi Mirna memasak bubur kacang hijau, kolak pisang, ubi goreng atau kue basah untuk kami makan di beranda sambil mengobrol. Kalau tidak bersama anak-anakku, aku terkadang mengobrol bersama tetangga sebelah, sambil menyulut beberapa batang rokok.

“Dibilang membodoh-bodohi pentonton juga nggak kok, Bang. Apa yang digambarkan dalam sinetron itu memang terjadi di dalam kehidupan kita. Zaman sekarang, entah kenapa orang baik seringkali difitnah melakukan hal yang tidak dia lakukan, sementara pelaku kejahatan sendiri terbebas dari segala tuntutan hukum,”terpana aku mendengar dia membenarkan jalan cerita dalam sinetron itu. Padahal baru saja dia mengungkapkan kekesalannya.

“Kaulah yang tahu betul mengenai sinetron itu, Mir. Bahkan gaya bicaramu juga sudah kayak pemainnya,”

“Makanya aku suka nontonnya, Bang. Seperti dalam kehidupan sehari-hari kita temukan perebutan dalam harta warisan, di sinetron ini apalagi. Bahkan Bebi dan suaminya sampai melakukan tindakan kriminal untuk meraih tujuannya. Dalam otak mereka hanya ada harta dan harta, sementara pewaris harta itu sendiri tidak pernah mendapatkan haknya.”

“Apa nggak ada lagi acara TV yang bisa kau nikmati selain sinetronmu itu, Mir? Lagipula, apa kau sendiri yang mau nonton TV di rumah ini?”lanjutku. Mirna diam.

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakukannya. Tak jarang, aku melewati malam minggu yang didaulat sebagai malam liburan sendirian. Saat kuajak Mirna jalan-jalan sebentar di sekitar komplek untuk membeli jajanan, dia menolak. Begitupun kalau ada hajatan atau kemalangan di malam hari, seringkali dia membiarkan aku pergi sendirian atau bersama teman yang lain.

Begitupun, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Selama ini, Mirna dapat menerima kekuranganku. Aku jarang sekali membawa istri dan ketiga anakku liburan ke tempat-tempat wisata atau ke arena bermain anak-anak ataupun makan di restoran besar. Kalau Mirna menganggap dengan menonton sinetron dia terhibur, di satu sisi aku ikut senang. Meskipun di sisi lain aku kurang berkenan!

Beberapa hari ini aku harus kerja lembur, menyelesaikan pekerjaan penarikan instalasi telepon di sebuah hotel bintang lima di Medan. Sebagai teknisi di sebuah perusahaan kontraktor bidang telekomunikasi, aku harus bertanggung jawab dengan pekerjaan sekaligus profesiku. Aku merasa pekerjaanku selama ini tidak saja butuh ketelitian, tapi juga seni. Seni bagaimana membuat sebuah instalasi itu menjadi rapi dan enak dipandang, sehingga bila dihubungkan dengan perangkat hardware, akan menghasilkan suara yang jernih.

Hampir jam setengah sepuluh aku baru pulang, dengan mengendarai sepeda motorku. Kuhempaskan tubuh letihku di kursi, sambil menyulut sebatang rokok. Mirna masih setia dengan sinetronnya, tapi ditegurnya juga aku.

“Baru pulang, Bang? Udah makan? Capek?”katanya berbasa basi.

“Anak-anak udah tidur, Mir?”aku menghembuskan rokok yang baru kuhisap. Tak perduli dengan pertanyaannya.

“Hari ini mereka cepat tidur, Bang. Aku jadi lebih tenang nonton. Soalnya ini lagi seru-serunya, Bang.”

Aku beranjak ke kamar. Di tempat tidur Nisa dan Fikri tampak sedang tidur dengan pulas. Tapi Alif? Kuarahkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar anak, tapi Alif tidak ada! Kucari Alif ke kamar sebelah, ke ruang belakang. Aku malah menemukan air dalam keadaan melimpah-limpah di dalam bak kamar mandi!

“Kau bilang Alif tidur? Dia tidak ada di kamarnya, juga di rumah ini! Ke mana dia, Mir?”

Mirna tersentak dari kursinya. Seperti orang baru kehilangan sesuatu, sibuk dia mencari-cari Alif, sambil memanggil namanya. Kali ini aku benar-benar kesal padanya!

“Selama ini kau terlampau memberhalakan sinetron itu, sehingga melalaikan pengawasan terhadap anakmu sendiri, Mir. Kau juga kurang memerdulikan rumah ini! Udah berapa lama air melimpah-limpah di bak kamar mandi, kau nggak tahu!”kemarahanku merebak.

“Apa kau masih juga akan terus mementingkan sinetron itu daripada rumah tangga kita, Mir?”kesabaranku nyaris habis. Mirna mulai terisak.

Dengan cemas aku bergegas mencari Alif di rumah-rumah tetangga kami. Mirna menyusul di belakangku.

Tidak ada komentar: