Minggu, 13 Desember 2009

Arisan

Pada Minggu ke tiga bulan ini, Pak Unan dan isterinya akan menggelar arisan di rumah mereka. Ketua arisan sudah mengumumkan, di rumah mereka giliran yang terakhir. Setelah ini akan dibuat format arisan baru lagi.

Beberapa waktu lalu, Pak Unan memang sedang memperbaharui beberapa bagian dari rumahnya. Makanya, ia menunda mengadakan arisan di rumahnya. Gilirannya itu diberikan kepada anggota yang lain.

Rumah mereka terbilang kecil. Warisan dari orang tua pak Unan.Untuk ukuran pak Unan sebagai pedagang, bisa menafkahi isteri dan ke empat anaknya sudah disyukurinya. Uang merenovasi rumah, hasil dari menjual sisa tanah milik orang tuanya.

Pak Unan dan isterinya pun saling berkompromi, menu masakan apa yang akan mereka suguhkan saat arisan nanti.

“Pak, bapak setuju, kalau ibuk masak nasi goreng saja? Ibuk akan buat yang enak lah. Tapi, apa bapak tidak malu menyuguhkan makanan yang seadanya? Coba ingat kalau arisan di rumah Kak Ana. Ada kari kambing, udang sambal, ikan panggang dan anyang. Pokoknya macam-macam lah.”

“Buk, buk. Ibuk harus tahu diri dong. Mana mungkin kita bisa buat makanan seperti itu? Kak Ana itu kan orang kaya, tidak kekurangan seperti kita. Lagian anaknya sudah setara dengan konglomerat,”Pak Unan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bu Lina terdiam. Benar kata suaminya, kak Ana, sepupunya itu, memang orang kaya. Kalau giliran arisan di rumahnya, makanannya banyak sekali dan terkesan mewah. Namun bagi Bu Lina, tetap ada yang kurang dari semua itu. Rumah dan perabotan yang mewah, makanan yang enak-enak. Tapi tuan rumahnya sendiri minus keramahan. Khususnya untuk orang-orang yang berada di level menengah ke bawah seperti mereka.

“Hei, Buk. Kok malah bengong? Jadi, makanan apa yang mau kita siapkan untuk arisan nanti?”Pak Unan menepuk tangan isterinya.

Bu Lina berpaling ke arah suaminya.

“Seperti yang ibuk bilang tadi. Kita masak nasi goreng, pakai ayam semur. Ibuk akan sediakan juga air buah dan kue-kue. Itu saja sudah cukup ya, Pak. Praktis lagi.”

Pak Unan manggut-manggut setuju.

“Semoga aja banyak yang datang ya, Buk. Ini kan giliran terakhir di rumah kita. Lagipula rumah kita baru saja direnovasi, jadi kita agak pe-de mengundang orang ke rumah kita,”kata Pak Unan, lebih mirip sebuah doa.

Selama ini ia melihat kecenderungan, anggota arisan sudah melenceng dari prinsip dibentuknya arisan. Padahal yang ia tahu, arisan itu untuk mempererat silaturrahmi di antara para anggotanya. Para anggota arisan, yang masih merupakan kerabat dekat. Namun pada prakteknya, orang-orang seperti dirinya lebih sering dipinggirkan.

Bu Lina, tampaknya memahami apa yang sedang dipikirkan suaminya. Ia juga menyadari, beberapa kali arisan di rumahnya, tidak sebanding dengan kalau yang datang arisan ke rumah kak Ana. Tampak jelas ada perbedaan yang mencolok, yang secara tidak langsung disampaikan mereka.

Acapkali pula, pakaian yang mereka kenakan sewaktu datang ke arisan, terkadang lebih mirip perlombaan model pakaian terbaru. Bukan hanya pakaian, tapi perhiasan, bahkan mobil yang dipakai!

Saat acara arisan dimulai, kadang ada yang tidak sepenuhnya mengikuti acara. Sebagian asyik mengobrol di suatu tempat. Bahkan ketika ceramah dan doa dari seorang Ustadz, ada yang berbisik-bisik dan bercanda.

Sebenarnya, yang mereka sebut arisan itu seperti apa? Tidakkah mereka bisa bersikap wajar selama arisan berlangsung? Apakah mereka tidak malu kepada para leluhurnya, yang sudah membuat acara arisan dari sejak dahulu? Mengapa arisan zaman sekarang, berubah fungsi menjadi arena pamer baju, sepatu, perhiasan, bahkan mobil? Ah, orang seperti mereka pasti tidak akan tahan dengan model arisan seperti ini. Bu Lina dan Pak Unan berjalan dengan pikirannya sendiri.

***

Pak Unan melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul tiga sore. Dari tadi ia duduk di kursi depan rumahnya. Anggota arisan belum ada yang datang. Padahal semestinya jam segini sudah mulai acara.

Tak berapa lama kemudian muncul Ketua arisan. Disusul beberapa anggota lainnya. Hati pak Unan pun senang. Ia dan isterinya mempersilahkan para tamunya masuk. Ketua arisan pun meminta, untuk segera memulai acara

Dari balik tirai pintu dapurnya, Bu Lina memperhatikan sebagian dari para tamunya. Ada kak Ani, kak Ida dan kak Lela. Ada juga kak Lia dan yang lainnya. Dia menghitung jumlah tamunya untuk mempersiapkan makanan dan minuman. Ia meringis sedih dalam hati, ketika menyadari banyak dari anggota arisan yang tidak hadir. Terutama kak Ana, yang memang ia ramalkan tidak mau datang.

“Memang kelewatan kak Ana itu ya, Yun. Mentang-mentang dia kaya, kok begitu sikapnya pada orang lain?”

Bu Lina mencari asal suara. Ternyata kak Ida dan kak Erni. Mereka sedang berbicara di halaman belakang rumahnya. Padahal di depan, acara sudah dimulai.

“Kau macam tak tahu kak Ana aja, Yun. Tapi kau jangan bilang-bilang sama si Lina ya. Aku nggak mau dia jadi tersinggung nanti,”pesan kak Ida.

“Katakan saja, Kak. Aku nggak bilang sama dia kok,”

“Masa dia bilang rumah si Lina nggak beraturan. Kamar mandi dan dapurnya jorok. Katanya, air minumnya berasal dari air sumur, agak berbau. Kalau dibuat teh manis, warnanya kayak air kencing kuda.”

“Yun, kalau kak Ana memang nggak mau datang karena alasannya itu, nggak masalah. Anehnya kenapa anggota yang lain juga tidak datang? Jangan-jangan mereka sudah termakan omongan dia, Yun!”

“Jadi maksud kak Ida, dia sama saja dengan Provokator!”

“Percuma aja dia itu haji, kelakuannya kayak gitu. Malah aku dengar dia sedang daftar tunggu, mau berangkat haji lagi tahun depan!”

“Mending kayak kita aja, kak. Dari pada sudah haji, tapi suka merendakahkan orang lain ,”keduanya menahan tawanya, tapi urung.

Bu Lina berdiri terpaku di balik pintu. Otaknya masih bisa merekam, apa yang barusan dia dengar dari sepupunya itu. Rumahnya sempit, kamar mandi dan dapurnya jorok. Air minumnya berbau. Makanan dan minumannya pun alakadarnya.

Bu Lina tersenyum meringis dalam hati. Begitukah pada umumnya orang-orang kaya seperti kak Ana memperlakukan orang seperti dirinya? Padahal ia masih tercatat kerabat dekat kak Ana. Bagaimana bila kak Ana memandang orang lain, yang lebih rendah perekonomiannya? Akankah lebih buruk lagi?

Dan Bu Lina yakin seyakin-yakinnya, tanpa ia mengatakan perihal ketidakhadiran kak Ana pada pak Unan, suaminya pasti sudah paham alasannya. Rasanya tidak perlu ia mengulang, apa yang telah ia dengar. Hanya menambah sakit hati suaminya. Ia tidak mau suaminya sampai terluka hatinya. Karena tujuan arisan, untuk mempererat tali silaturrahmi, bukannya memutuskan tali silaturrahmi!

Bagi Bu Lina, justru orang seperti kak Ana perlu dikasihani. Mungkin masih banyak orang kaya yang baik hatinya. Tidak memandang rendah orang lain. Lagipula, baginya rumahnya adalah laksana syurga buatnya dan keluarganya. Mau orang lain memandang sebaliknya, dia tak peduli!

***

Tidak ada komentar: