Minggu, 13 Desember 2009

Tidak Ada Cinta Hari Ini

Malam, mungkin telah sempurna menorehkan mimpi-mimpi kepada penikmat lelap. Tidak demikian dengan Riri. Dia terjaga dari tidurnya, yang baru beberapa jam ia lalui. Di samping kirinya masih kosong. Hendra belum juga menggeletakkan tubuhnya untuk tidur.

Riri menggeleng-gelengkan kepalanya. Di saat orang-orang menggunakan waktu di malam hari untuk beristirahat, suaminya justru masih menonton TV. Masih untung hari ini suaminya tidak ke mana-mana. Beberapa waktu lalu, Hendra malah tidak pernah pulang ke rumah, sebelum pukul satu pagi. Riri tidak habis mengerti dengan sikap suaminya.

“Kenapa abang belum tidur? Besok, bangunnya kesiangan,”Riri duduk di salah

satu kursi.

“Abang belum ngantuk, Ri. Ada beberapa hal yang harus abang persiapkan untuk meeting besok,”sahut suaminya.

“Bang, hampir setiap hari abang begini. Rokok abang pun nggak pernah ketinggalan. Habis satu puntung, hisap lagi yang baru. Riri khawatir dengan kesehatan abang,” Hendra tertawa kecil.

“Abang sudah biasa begini, Ri. Kau nggak usah khawatir,”

“Sekarang berbeda, Bang. Abang, suami Riri. Pantas Riri mengingatkan abang,”.

“Tidurlah duluan, Ri. Besok, kau juga bekerja. Kalau abang sudah selesai, nanti abang pasti akan tidur,”

“Riri nggak mau tidur, kalau abang tidak tidur di samping Riri,”

Kali ini, Hendra menatap wajah isterinya.

Aduh, Ri. Ini bukan persoalan abang harus tidur atau nggak. Tolong kau mengerti. Abang harus memikirkan sebuah cara baru meningkatkan penjualan. Belakangan ini tim abang ditegur oleh atasan, karena kurang memenuhi target!”

“Kenapa memikirkannya tidak besok saja, setelah bangun tidur? Bukankah berfikir di pagi hari lebih segar, ketimbang di tengah malam seperti ini?”

Hendra menarik nafas. Tiba-tiba dia mulai merasa jengah.

“Ri, kau boleh mengingatkan abang, tapi bukan mengajari abang. Kalau kau memang tidak suka abang seperti ini, pelan-pelan akan abang rubah. Tolong jangan pernah mengatur abang, atas apa yang abang harus lakukan,”

“Riri bukan mau mengatur abang. Riri hanya merasa aneh dengan sikap abang.

Banyak laki-laki yang bekerja, dengan berbagai profesi, tapi mereka bisa mengatur waktunya dengan baik. Ada saatnya waktu untuk bekerja, ada pula saatnya waktu untuk beristirahat. Bagaimana abang bisa mendapatkan ide-ide baru untuk meningkatkan penjualan bagi tim abang, kalau tubuh abang tidak fit?”

Mendengar kata-kata Riri barusan, membuat Hendra mulai geram. Sudahlah dia merasa pusing dengan pikiran yang memenuhi kepalanya, kini ditambahi pula dengan sikap Riri. Di depannya, Riri tidak ubahnya seperti seorang polisi lalu lintas, yang sedang menasehati seorang pemakai jalan raya yang tidak mentaati peraturan.

“Kemaren-kemaren, abang pulang jam satu pagi, kau ngomel. Kau bilang, apa yang abang cari di luar rumah sampai jam satu pagi? Kalau untuk mengobrol, bukankah di rumah sudah ada Riri? Oke, abang nggak keluar rumah lagi, seperti yang kau mau. Tapi sekarang, abang sedang nonton TV sambil berfikir, kau juga ngomel. Sebenarnya maumu apa sih, Ri?”

“Riri cuma pengen menikmati kehidupan rumah tangga yang normal, seperti pasangan suami isteri yang lainnya. Bukan seperti ini, Bang,”

“Jadi singkatnya, kau menyesal kawin sama abang, Ri?”Mata Hendra tak berkedip menatap Riri.

“Kalau terus-terusan begini, sudah pasti ya, Bang. Riri nggak menyangka rumah tangga Riri akan seperti ini!”

Plak! Itulah jawaban Hendra atas kata-kata Riri barusan.

“Augh!”Riri memegang pipi kanannya. Riri tidak kuasa menahan air matanya. Tangan Hendra yang biasa memeluk tubuhnya, menyentuh bibirnya, membelai rambutnya, kini telah melayang ke wajahnya! Berlari, Riri meninggalkan Hendra yang sedang dirundung emosi. Sesampainya di dalam kamar, Riri menelusupkan wajahnya ke bantal.

***

Ada perasaan tak nyaman bersemayam di hati Riri. Kejadian tadi malam sungguh berbekas di hatinya. Baru setahun usia perkawinannya dengan suaminya, tapi Hendra sudah seenaknya main tangan. Justru dilatarbelakangi suatu masalah yang berasal dari dirinya sendiri! Kebiasaan Hendra yang tidak bisa mengatur waktunya, sungguh dibenci Riri!

”Lelaki memang begitu, Ri. Jangan sekali-kali kau pancing emosinya. Kalau di otak mereka sudah ada sesuatu yang dipikirkan, pasti bawaannya emosi. Kalau di saat suamimu sedang begini, jangan kau omeli lagi. Makin runyamlah suasana,”kata kak Wita, teman sekantor Riri.

“Kak, apa aku harus memahami cara hidup suamiku seperti itu? Sampai kapan dia akan seperti itu? Kalau aku tahu, dia tidak bisa memanajemeni hidupnya dengan baik, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menikah dengannya,”

“Hush! Tidak baik ngomong seperti itu, Ri. Setiap laki-laki yang menjadi suami kita, pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan. Kalau dia punya kekurangan, tutupilah kekurangannya itu dengan kelebihan yang kita punyai. Barulah namanya klop sebagai suami isteri. Kebiasan yang sudah lama dilakoni Hendra, tidak bisa dalam sekejap dia rubah. Bukan berarti dia tidak mencintaimu, Ri,”

Di kantornya, Hendra tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Beberapa kali dalam meeting pagi tadi, dia ditegur bawahannya karena melamun. Hendra menyesali tangannya yang lancang.

“Riri sayang, sudah makan siang? Tadi malam, abang khilaf. Tidak seharusnya abang menampar Riri. Abang minta maaf. Kalau perlu, Riri balaslah menampar abang seratus kali. Abang rela, asal Riri tidak marah lagi sama abang. Abang janji, tidak akan mengulangi perbuatan abang yang tidak terpuji, Ri,”kata Hendra lewat sms.

“Bang, hati Riri terluka karena sikap abang. Mungkin selama ini abang merasa Riri selalu menghalangi kebebasan abang, tapi sekarang abang bebas mau pulang jam berapa dan tidur jam berapa . Riri tidak akan mengganggu abang lagi!”

Senja telah mendaftarkan diri di langit. Ditandai dengan warna jingga, yang tersembul di cakrawala. Burung-burung beterbangan. Ada segerombolan, ada pula yang bersendiri. Hendra sedang berfikir keras, bagaimana melumerkan kebekuan hati Riri.

Besok, Sabtu. Biasanya di hari itu, mereka bersenang-senang. Bangun tidur, menyetel kaset. Membersihkan rumah, kemudian pergi berenang. Makan di luar. Mengunjungi ibu atau salah seorang teman. Bercanda dan tertawa ria, kemudian malamnya bermesraan. Apa yang terjadi besok? Hendra menggumul rambutnya dengan tangannya. Beberapa saat pikirannya hilir-mudik, mencari jalan keluar untuk dia dan Riri.

Tiba-tiba otaknya tersangkut sebuah ide! Kemudian dia menelepon Dani, temannya yang baru mempunyai bayi berusia beberapa bulan.

Dani datang beserta istri dan bayinya, sesuai waktu yang mereka sepakati. Riri yang membukakan pintu. Kehadiran seorang bayi di rumahnya, amat disenanginya. Digendongnya bayi mungil bernama Zaki itu, lalu didaratkannya ciumannya ke dahi, mata, hidung dan pipi Zaki. Diajaknya Zaki bicara, sehingga terdengar tawa Zaki berderai. Riri senang!

“Bang, lihatlah Bang, Zaki tertawa lucu sekali!”Ucap Riri. Penuh semangat, tanpa beban. Hendra menyusul di balik tubuh Riri.

“Kalian harus secepatnya buat perencanaan untuk punya bayi, jangan lama-lama lagi,”cetus Dani. Isteri Dani ikut menimpali dengan tawanya.

Iya, Ri. Kapan di rumah kita, akan direcoki suara tangis bayi? Kapan tangan kita akan menggendongnya? Kau nggak kepengen, Ri?”

Riri mencium kening Zaki, lalu katanya.

“Yang tidak kepengen punya bayi itu siapa, Bang? Abang sih, tahunya cuma begadang. Bukannya mikirin, bagaimana caranya di dalam rahimku, tumbuh seorang Hendra junior,”

Wajah Hendra memerah, mendengar kata-kata Riri. Bukan karena amarahnya muncul, tapi karena dia merasa malu di hadapan Riri, Dani dan isterinya. Di samping itu, hatinya juga merasa berbunga-bunga, karena Riri sudah mau bicara lagi padanya. Kebekuan di hati Riri, melumer. Itu berarti, ketakutannya mengenai Sabtu besok, yang akan berlalu dengan kebekuan, tidak akan terjadi. Dia dan Riri akan bersenang-senang, seperti biasanya. Hendra tersenyum penuh arti.

Riri semakin assyik bercanda dengan Zaki, sementara Hendra dan Dani saling bermain mata di belakangnya.

***

Tidak ada komentar: