Minggu, 13 Desember 2009

Tambatan Hati

Baru kemarin mainan itu dibelinya untuk Rere—anak laki-lakinya. Tapi baru dua hari umurnya, mainan itu sudah tak berbentuk. Melihat kenakalan Rere, merebaklah amarah Dina. Tangan kanannya mencubit paha Rere, tangan kirinya menjewer telinga Rere. Menerima hadiah cubitan dari Ibunya, membuat anak tiga tahun itu menangis. Air matanya bercucuran jatuh ke pipinya..

“Re, sudah berapa kali Mama bilang. Jaga mainan kamu baik-baik. Jangan kamu banting dan campakkan. Apa kamu kira ini tidak Mama beli? Mama capek cari duit buat kamu, Re,”Dina berkata dengan kesal. Tiba-tiba Rere menyelusupkan wajahnya ke samping tubuh Mamanya. Dina menghela nafasnya. Menyudahi amarahnya.

“Ya, sudah. Lain kali jangan gitu lagi ya, Sayang. Sekarang Rere makan, ya.”Dina bergegas menyiapkan makanan buat Rere. Setelah itu ia kembali ke dapur melanjutkan pekerjaannya. Namun tujuh menit kemudian kembali suaranya menggelegar.

“Rere, kenapa nasinya nggak dimakan? Aduh, ini anak. Kan sayang nasinya jadi terbuang ke lantai. Apa Rere nggak bisa tolongin Mama sedikit saja?”kembali Dina kesal dengan tingkah Rere memainkan nasi dengan sendok, sehingga beberapa butir nasi tercampak dari piring, mengotori lantai. Sekali lagi cubitan Dina bersarang ke tubuh Rere. Kembali tangis Rere terdengar..

Ada apa ini, kok dari tadi Rere menangis?”Ibu keluar dari kamarnya. Rere langsung berlari memeluknya. Dina memperhatikan dengan pandangan kurang senang. Setiap ada persoalan dengannya, Rere selalu mencari perlindungan pada Neneknya. Soalnya beliau sering membela Rere. Hal ini yang membuat Rere jadi makin tidak karuan tingkahnya di depan Dina. Apalagi tak jarang Nenek memarahi Dina di depan Rere.

“Din, bukan dengan cara kekerasan kau mendidik anakmu, nanti dia akan meniru apa yang kau lakukan!. Kamu seharusnya bisa membujuknya. Dia kan masih anak-anak. Belum mengerti apa yang kau katakan,”kata Nenek Rere. Hampir saja makian Dina berloncatan keluar dari mulutnya, kalau tidak mengingat orang yang barusan bicara adalah Ibu kandungnya sendiri! Sebenarnya ia tidak terima Ibu berkata seperti itu di depan Rere. Itu hanya akan menciptakan sebuah jurang yang dalam antara ia dan Rere. Membuat Rere merasa apa yang ia lakukan benar dan apa yang dilakukan Dina padanya salah! Lihatlah, tatapan Rere padanya seolah-olah ingin mengejeknya! Dina tidak berkata apa-apa. Dia beranjak menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke kantornya.

Akhir-akhir ini, supermarket tempat Dina bekerja sangat berkurang omset penjualannya. Pembayaran tagihan ke supplier pun terhambat. Untuk urusan ini, Dinalah yang disuruh Pimpinan menerima komplain dari para supplier itu. Konsekuensinya, membuat kepala Dina pusing tujuh keliling!

Dina menghela nafasnya. Di rumah ia bermasalah dengan Ibu dan Rere, di kantor bermasalah dengan konsumen.

Ia teringat pada tambatan hatinya. Sebenarnya setelah memarahi Rere, hati kecilnya sangat menyesal. Tapi kalau Rere sudah kumat nakalnya, amarah Dina sering muncul. Rasanya Rere bukanlah Rere, tapi Leo—Papanya.

Saat melahirkan Rere, Leo tidak ada di sisinya. Berhari-hari tidak pulang. Ternyata, Leo tertangkap aparat kepolisian karena membawa satu kilogram ganja! Sungguh, hati Dina hancur berkeping-keping. Dina tidak pernah menyangka di samping pekerjaan tetapnya sebagai Salesman, Leo sering bertransaksi Narkoba dan sejenisnya. Dina tidak pernah memimpikan mempunyai suami yang mendekam di dalam kurungan penjara selama tujuh tahun! Jalan perceraian pun ditempuh Dina.

Untung ada Rere yang lucu, menghibur hatinya. Yang ia teteki dengan air susunya. Menumbuhkan benih-benih cinta dari hati seorang Ibu untuk anak yang dikasihinya. Dina juga bersyukur ada Ibu yang mau turun tangan mengurusi Dina selama melahirkan. Kasih Ibu tak pernah luntur padanya meski ia telah mempunyai anak. Meski ia telah menjadi seorang janda.

Dina keluar dari kantornya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam, senja mulai membayangi sekeliling bumi. Udara terasa gerah. Kening dan pelipis Dina berkeringat. Ia membayangkan segelas jus jeruk dengan batu es yang bergelantungan di atasnya. Dia singgah ke sebuah cafe.

“Dina…”ada yang menegurnya. Dina berpaling. Seketika ia gembira melihat seseorang di kursi dekat jendela. Syalman, teman satu SMAnya! Mereka bersalaman. Dina duduk di sebelah kursi Syalman. Mereka berbagi cerita satu sama lain.

Syalman menetap di Jakarta. Beberapa hari ini ada urusan ke Medan. Ia bekerja di sebuah perusahaan export import. Sedangkan Istrinya membuka salon. Mereka dikaruniai dua orang anak. Dina mendengarkan.

Ketika Syalman menanyakan dirinya, Dina tak bisa mengelak untuk menceritakan semua kisah hidupnya. Syalman menghela nafasnya, tidak menyangka kehidupan Dina seperti dalam Sinetron!

“Dina, pernah tidak kamu berfikir, siapa yang akan menyayangimu di usia empat puluh tahun?”Syalman menatap Dina lekat.

“Mungkin tidak seorang pun, Man.”Dina menggeleng sedih. Hatinya ikut pedih.

“Kau salah. Dia sekarang sedang kau pupuk kasih sayangnya. Rere. Dia yang akan menyayangimu. Kau tunjukkan kasih sayangmu sepenuhnya saat ini untuknya. Dia akan tahu siapa yang menyayanginya. Dan di saat usiamu empat puluh tahun nanti, dia akan membalas kasih sayangmu! Meskipun benih Leo ada dalam dirinya, tapi kau yang mengasuhnya! Dia ada di tanganmu sekarang. Kau yang akan memberikan corak untuk kehidupannya, Din.”Syalman berkata pasti.

“Tapi, entah kenapa Rere tidak mau nurut sama aku, Man. Makanya sering aku emosi dibuatnya,”

“Hentikan menghukumnya secara fisik, Din. Perbanyak sabar. Saat ini hidupmu memang tidak seimbang. Kau masih muda. Jalanmu masih panjang. Apa kau tidak ingin membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis?”Syalman menggenggam jemari Dina. Seakan memberinya kekuatan.

“Ya, kuakui memang tidak mudah mengurus Rere. Aku tidak mau Rere tahu bagaimana ayahnya, Man. Aku tidak ingin Rere seperti ayahnya! Tapi aku belum menemukan pria yang tepat untuk menikah lagi!”mata Dina berair. Pandangan matanya nanar menatap ke arah luar jendela.

“Ini contoh egonya manusia. Di satu sisi kau ingin Rere patuh padamu. Tapi di lain sisi, kau tak pernah mau tahu kebutuhannya. Kenapa kita mau diperintah di kantor? Karena ada yang diharap, yaitu uang. Gimana Rere bisa nurut kalau ia tidak sama seperti temannya yang punya papa? Kalau dia punya papa, pasti ia jadi anak baik dan penurut.”

Dina terperangah. Selama ini ia tak pernah berfikir tentang kealfaan sosok ayah buat Rere. Ya…figur ayah memang tak pernah Rere dapatkan sejak ia lahir ke bumi. Harusnya Dina lebih peka terhadap perasaan Rere. Bukannya bertindak sesuka hatinya. Mengingat itu hati Dina sangat terpukul. Tiba-tiba ia bangkit dari kursinya, mengatakan pada Syalman ia harus segera pulang!

Syalman mengikuti Dina setelah membayar bill mereka. Kemudian dia menawarkan jasa untuk mengantar Dina

Menyipit mata Ibu melihat Dina membawa teman lelaki ke rumah. Namun hanya sebentar. Sejurus kemudian matanya membulat, ketika menyadari siapa yang berdiri di depannya. Syalman, teman akrab Dina. Keduanya bersalaman dan saling menanyakan kabar. Syalman, satu dari lima teman akrab Dina di SMA. Susi, Wina, Dewi dan Taufik—keempatnya juga teman akrab Dina.

Dina masuk ke dalam rumah. Tujuan utamanya, bertemu Rere. Itu Dia! Matanya yang bulat sedang assyik mengamati acara di TV.

Hal yang tak pernah Dina lakukan, ia lakukan. Berlutut kakinya di depan tubuh mungil anaknya. Ia ambil jemari yang lembut itu dan digenggamnya dengan erat. Diciumnya, kemudian diletakkan di kedua pipinya bergantian. Dina tak peduli betapa keheranan Rere. Ia peluk tubuh itu. Ia amati raut wajah yang sebagian besar mirip dirinya itu dengan penuh kasih. Seolah sudah lama sekali tak berjumpa dengannya!

“Rere, maafkan Mama selama ini kasar sama Rere. Mama suka cubit Rere, jewer telinga Rere, Mama juga pernah menampar pipi Rere. Mama salah. Mama nggak seharusnya begitu. Maafkan Mama ya, sayang,”ujarnya dengan air mata berderaian di kedua pipinya. Rere menatap Mamanya. Melihat kesedihan Mamanya, ia seakan mengerti arti kesedihan itu. Rere pun menangis. Mereka berpelukan.

“Kita akan mulai hidup yang baru, Re. Kita buat rumah ini jadi damai dan bahagia. Mama akan berbuat apa saja untuk kebahagiaan kita. Maafkan Mama selama ini tidak memedulikan perasaanmu, Nak!”berbinar mata Dina setelah semua ia ungkapkan. Ibu dan Syalman memandang mereka dengan haru. Kebahagiaan menyelimuti mereka malam ini.

***

1 komentar:

Budhi Setyawan mengatakan...

ehm... cerita yang sederhana dalam rumah tangga, namun mengharukan. penuh dengan pesan yang mencerahkan. selamat berkarya ya Rina.... eksplore lebih luas dan dalam lagi....

salam kreatif.