Selasa, 22 Desember 2009

Isi Hati Seorang Lelaki

“Kau saja yang masuk ke dalam, biar aku menunggu di sini,” kata Meli menahan langkahnya.

“Mel, jangan begitu. Bos menyuruh kita berdua untuk menemui Pak Lamhot,”

“Bukan apa-apa, Nita. Aku agak takut berhadapan dengan dia,”

“Kenapa harus takut? Ayo, kita masuk sama-sama,” ajakku sambil menghela tangannya.

Ini kali ke dua aku dan Meli mengunjungi kantor sekaligus rumah lelaki itu. Seorang lelaki yang mempunyai sorot mata setajam elang. Suara yang sewaktu-waktu berubah seperti menggelegar. Sikapnya kaku dan sedikit arogan, kukira. Setelah melalui proses di ruang depan yang mirip ruang receptionist, aku dan Meli dipersilahkan masuk ke ruang kerja lelaki itu. Di dalam ruangan, kami disambut senyum dingin lelaki itu.

Sejenak aku mengitari pandangan. Di ruangan ini, ada sebuah rak yang berisi banyak sekali buku-buku dan kitab. Ada juga sebuah filing cabinet yang mungkin berisi file penting perusahaan. Sebuah laptop empat belas inchi terbuka di hadapan lelaki itu. Di atas mejanya tampak beberapa map yang mungkin sebagai berkas dan bahan kajian lelaki itu sebagai konsultan perusahaan.

“Coba kalian bayangkan. Lima juta rupiah untuk jasa konsultan pada saat sekarang ini apa ada? Di luar sana para konsultan meminta jasa yang jauh lebih besar. Bagi saya, yang terpenting adalah saya bisa membantu kesulitan perusahaan kalian dalam melaksanakan tender,” ujarnya sambil meletakkan tangan di atas meja.

“Saya berterima kasih dengan bantuan bapak. Saat ini, perusahaan kami memang butuh jasa konsultan, sebab main contractor kami di Jakarta butuh tiga perusahaan untuk menjadi pendamping tender,”

Kemudian aku menyerahkan beberapa data yang diperlukan lelaki itu sehubungan dengan keperluan tender dan untuk beberapa saat aku dan dia terlibat sebuah pembicaraan yang serius. Seorang karyawan yang bekerja di kantor ini mengangsurkan dua botol aqua untuk aku dan Meli.

“Mau ke mana kita hari Sabtu ini, Ndi? Mau jalan-jalan ke Carrefour kau?” aku terperanjat mendengar suara berat lelaki itu memasuki gendang telingaku. Rupanya dia barusan menyapa seorang anak lelaki berusia enam tahun yang sedang melintas di depan ruangan ini. Apakah anak lelaki itu anaknya? Dan siapa perempuan berjilbab itu? Pikirku.

“Nggak usahlah ke mana-mana kita, Pak. Di rumah saja,” jawab perempuan berjilbab putih. Lelaki di depanku mengangguk.

“Yang tadi itu anak bapak?” tanyaku setengah takut, karena sudah bertanya hal di luar pekerjaan. Meskipun itu memang benar-benar anaknya.

Lelaki itu menggeleng keras. Tiba-tiba aku melihat pandangan tajam lelaki itu berubah menjadi sebuah tatapan sendu. Seperti ada sesuatu yang tersimpan dalam tatapannya. Aku bahkan tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan.

“Sudah tujuh belas tahun usia pernikahanku, tapi tak seorang pun anak terlahir dari rahim istriku. Dari benihku. Andi itu anak inangbao ku, adik istriku, yang aku biayai hidupnya seperti anakku sendiri sejak enam tahun lalu,”

Sungguh, ini suatu hal yang tak pernah kuduga! Kupikir, lelaki ini telah memiliki anak-anak yang sudah remaja, bahkan sudah pula menikah!

“Waktu Andi masih bayi merah, dia sering sakit-sakitan. Tubuhnya lemah tak berdaya. Tangisannya terdengar menyahat hati. Siang malam ibunya merawat dengan penuh kasih sayang, sedangkan ayahnya sibuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan menjual buah keliling. Dia hampir tak tertolong lagi. Maka, aku datang padanya.”

“Kurengkuh dia dalam dekapanku. Dengan lembut kukecup keningnya. Lalu kukatakan padanya, ‘Mulai hari ini, engkau paramanku. Aku, bapakmu,”

Aku mengerjapkan mataku, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Ternyata dia seorang lelaki yang berhati mulia! Aku keliru kalau menilai sikapnya kaku. Dia malah bisa menceritakan hal besar ini padaku dan Meli!

“Tak seorang pun menyangka, aku mau mengakui anak yang hampir mati itu sebagai anakku sendiri. Ayah ibu kandungnya sangat berterima kasih padaku, karena akhirnya jiwa raga anak itu dapat tertolong. Dia tumbuh menjadi anak laki-laki seperti teman-teman sebayanya. Istriku pun terharu, karena di tahun ke sebelas perkawinan kami, hidup kami tidak lagi berisi mimpi-mimpi memiliki keturunan, meskipun Andi tidak terlahir dari rahimnya. ” Aku mengangguk-anggukkan kepala.

“Awalnya memang orang-orang mencemoohkanku, karena jarang orang batak mengangkat anak dari inangbao, karena terbentur masalah marga. Lebih sering mengangkat anak dari abang atau adiknya sendiri, karena marganya sama. Aku malah pernah menyuruh inangbaoku tinggal di rumah ini bersama kami. Aku tidak peduli, meski sebenarnya itu tidak baik. Apalagi pada dasarnya kami berbeda keyakinan. Tapi akhirnya tak ada lagi protes, karena aku telah memberikan hatiku pada Andi.” Lanjut lelaki itu. Aku menatapnya, entah kenapa hatiku ikut tersentuh dengan pembicaraan ini.

Seseorang yang duduk di ruang mirip receptionist memberitahukan kalau ada tiga orang tamu yang ingin bertemu lelaki itu. Aku dan Meli pun segera berpamitan.

***

Satu setengah bulan kemudian, aku dan Meli kembali mengunjungi kantor sekaligus rumah lelaki berusia menjelang separuh abad itu. Pelaksanaan pekerjaan telah selesai, kini saatnya mengurus tagihan main contractor kami di Jakarta yang notabene memiliki proyek di Medan.

“Sebentar lagi saya akan pindah dari sini, karena saya sedang membangun kantor sekaligus rumah yang baru di satu tempat,” ungkapnya.

“Wah, semoga di kantor baru nanti, bapak akan semakin sukses menangani berbagai masalah perusahaan ya, Pak,” jawabku dengan sebuah senyum.

Tapi sekelebat duka kulihat di matanya. Kenapa wajahnya tidak seperti orang yang bahagia, karena tak lama lagi akan pindah ke rumah yang baru? Pikirku.

“Kalian pernah melihat gadis yang duduk di depan ruanganku ini? Yang menerima data-data yang kalian berikan waktu itu?” tanyanya. Aku mengangguk.

Lelaki itu bicara lagi, tentang perasaannya. Sesuatu yang begitu kuat menyentuh hatinya. Dia bilang, selama ini sebenarnya istrinya sering mengumumkan permintaan ingin memungut anak perempuan. Tapi dia menolaknya, karena dia tidak suka hal-hal yang bersifat direncanakan, setengah dipaksakan. Dia ingin sesuatu itu mengalir seperti apa adanya. Seperti saat mengangkat Andi sebagai paramannya.

Sampai kemudian gadis itu datang. Tak pernah terencana. Sudah tiga bulan menghuni kantornya, tercatat sebagai karyawati di perusahannya. Sering dia memanggil gadis itu ‘boru’ atau ‘inang’, padahal dia tentu tahu kalau namanya Sandra. Kian hari, dia memperlakukan Sandra layaknya anak perempuannya, bukan lagi karyawatinya.

Tapi istrinya bertanya, kenapa harus Sandra? Dia seorang gadis, sebentar lagi mungkin akan menikah dan kita akan ditinggalkannya. Kenapa tidak anak perempuan yang masih SD atau SMP? Lelaki itu geming, dia hanya menyayangi Sandra.

“Lantas kenapa bapak sedih? Apa yang terjadi?”

“Di saat aku ingin membangun rumah yang baru, pada saat acara peletakan batu pertama, si boru tiba-tiba berpamitan ingin pulang ke Porsea untuk selamanya. Dia bilang, kalau dirinya tidak pantas menjadi boruku! Bagaimana aku tidak sedih? Air mataku sampai bercucuran mengingat si boru telah pergi meninggalkan aku.”

Untuk sesaat aku tak mampu berkata apa-apa di depan lelaki itu. Aku merasa terharu dengan sikapnya. Selama tujuh belas tahun, perkawinannya hanya memberikan ruang hampa sebagai seorang ayah baginya, tapi ternyata tidak dengan hatinya sendiri. Ternyata hatinya penuh kasih dan cinta sebagai seorang ayah yang selalu ingin dia tebarkan kepada anak-anaknya. Kepada anak-anak yang tidak pernah sekalipun dia rencanakan untuk dikasihi dan dicintai. Mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang kurasakan selama dua belas tahun, tanpa kehadiran seorang ayah di sisiku, pikirku.

“Terima kasih atas bantuan bapak terhadap perusahaan kami. Apakah aku boleh berkunjung ke kantor bapak di lain waktu?” kataku sambil menjabat tangannya. Tanpa lebih dulu bertanya pada Meli, setuju atau tidak dengan kata-kataku.

“Dengan senang hati. Datanglah kau…” balasnya dengan ramah.

***

Tidak ada komentar: