Selasa, 22 Desember 2009

Rumah Nomor Delapan

Kalau sedang tidak ada kerjaan mengantar barang, aku sering mengamati susunan rumah-rumah yang berjejer di komplek perumahan ini. Sering aku membayangkan rumah-rumah itu seperti kue-kue yang sengaja dicetak dengan sebuah adonan, sehingga dari ukuran dan modelnya semuanya sama.

Bukan suatu hal yang mengherankan untuk zaman sekarang ini membangun rumah seperti itu. Dalam hitungan bulan, area tanah yang semula kosong dengan cepat telah berubah menjadi struktur bangunan yang dirancang sesuai dengan keinginan perancangnya, yang kemudian menjadi deretan rumah-rumah yang siap untuk dihuni. Baik untuk rumah tinggal, rumah toko ataupun rumah kantor.

Paling-paling yang membedakan rumah yang satu dengan rumah yang lain adalah segi pemilihan warna cat pintu. Mungkin setelah beberapa tahun, pemiliknya merasa perlu memperindah warna pintunya, namun tetap tidak melenceng dari warna aslinya, yakni warna dinding rumah bagian depan. Mungkin agar rumah-rumah yang ada di komplek ini tetap terjaga keindahannya, juga keseragamannya.

Ada juga pemilik rumah yang menambah bangunan rumahnya di bagian paling atas. Membuat sebuah pagar di sekeliling bangunannya dan menutupnya dengan sebuah canopy. Biasanya penambahan itu berupa tempat menjemur pakaian, kamar mandi, tempat beraneka bunga ataupun berupa kamar-kamar buat anak kost.

Aku sudah cukup lama bekerja di komplek ini. Di sebuah perusahaan yang menjual komputer dan laptop. Sedikit banyak aku mengetahui perkembangan yang terjadi di dalam komplek ini. Kebanyakan rumah di sini dijadikan sebagai toko ataupun kantor oleh pemiliknya, meskipun tidak sedikit yang mendiaminya sebagai rumah pribadi. Ada yang membuka usaha travel. Ada yang membuka counter handphone dan accessories. Ada yang membuka game station dan internet. Kursus bahasa Inggris dan Mandarin. Restoran. Travel. Salon. Multi marketing. Dokter Spesialis kandungan. Dokter gigi. Supermarket. Ah, macam-macamlah. Tidak mungkin rasanya aku menyebutkan satu per satu.

Dalam beberapa tahun ini, aku melihat kecenderungan penurunan ekonomi sampai juga ke komplek ini. Tidak satu atau dua usaha yang bangkrut, lalu memilih cabut. Dari restoran, toko pakaian, toko penjualan alat-alat listrik sampai perusahaan multi marketing, tutup. Alasan terbesarnya, tidak sanggup lagi membayar hutang atau kalah bersaing!

Seandainya disuruh memilih, aku lebih suka tinggal di rumah yang bukan ruko. Aku ingin di dalam rumahku ada beberapa ruangan yang kuatur sedemikian rupa. Ada beranda, ruang tamu dan ruang keluarga. Musholla, ruang makan, dapur dan halaman belakang untuk menanam ataupun memelihara burung atau ayam. Tapi membayangkan kedua hewan itu tiba-tiba membuatku bergidik, teringat virus yang sempat membuat para dokter dan rumah sakit sangat repot dan panik dengan para pasien yang terinfeksi virus tersebut! Kalau begitu, aku akan membuat sebuah kolam air saja untuk beberapa jenis ikan, supaya mata dan pikiranku dan orang-orang di dalam rumah kami segar memandang ke dalam kolam.

Ada apa di rumah nomor delapan?” pikirku, saat melihat beberapa orang ke luar masuk rumah itu dan seperti sedang membicarakan sesuatu. Sudah cukup lama rumah itu kosong, setelah pemiliknya menutup usaha penjualan pakaian balita miliknya.

“Kami pemilik baru rumah nomor delapan. Anda bekerja di nomor sembilan dan sepuluh?” tanya lelaki berkaca mata padaku.

“Oh, iya Pak. Kantor kita di nomor sepuluh, nomor sembilan adalah gudang,” jawabku tak kalah ramah.

Pemilik rumah itu sepasang suami istri yang baru menikah. Kabarnya mereka akan membuka usaha game station dan internet disitu. Mereka berkeyakinan usaha mereka akan maju, karena zaman sekarang banyak orang menggunakan internet sebagai bahan untuk mencari berbagai informasi, ilmu pengetahuan, berita, hiburan dan sebagainya. Padahal di sekitar komplek, sudah ada empat atau lima jenis usaha yang sama. Mereka beranggapan setiap orang mempunyai rezeki masing-masing.

“Mungkin kalau yang dibuka butik pakaian balita seperti yang dilakukan pemilik rumah sebelumnya, hanya sedikit peminatnya. Sebab kebanyakan orang lebih senang melihat-lihat pakaian balita di pajak yang tentu lebih bisa memilih model dan warnanya. Apalagi kebanyakan perempuan di komplek ini jarang keluar rumah di siang hari. Mereka lebih sering beraktifitas di dalam rumah,” kataku sok memberi pandangan.

“Terima kasih ya. Mungkin kami butuh waktu satu atau dua minggu untuk melakukan persiapan pembukaan warnet. Jangan lupa berkunjung ke warnet kami kalau anda butuh jasa internet,” lanjut si lelaki berkaca mata lagi. Aku mengangguk sebelum berlalu dari hadapan mereka.

***

Rumah bernomor delapan. Beberapa waktu lalu telah resmi membuka usaha warnetnya. Ruangan di dalamnya ditata dengan design yang modern, dilengkapi pendingin udara. Letak komputer dan tempat duduk dibuat memanjang dan saling berhadapan. Komputer dilengkapi dengan monitor berlayar datar dengan program yang canggih. Hampir setiap hari warnet itu diramaikan pelanggan yang ingin browsing internet ataupun bermain game online. Kebetulan yang menjaga seorang gadis, yang menurutku cantik dan baik. Pernah beberapa kali aku melongok ke dalam ruangan. Gadis itu duduk di depan monitor komputer, mengawasi billing bagi pelanggan yang mau masuk atau keluar. Meski pelanggannya didominasi lelaki, tapi tak kudengar suara-suara bising dari mereka. Apalagi disertai kata umpatan atau makian. Aku tahu dari temanku kalau di warnet lain hal itu sering terjadi.

“Hebat juga gadis itu, bisa membuat suasana di warnet itu demikian tenang,” pikirku. Ada keinginan untuk menyapa dan mengobrol dengannya, tapi belum pernah kesampaian.

“Nama gadis itu Amanda. Dia tinggal di Jalan Kepodang. Anak ke tiga dari lima bersaudara. Setiap hari dia pergi dan pulang kerja naik sebuah angkot,” papar salah seorang teman office boyku.

***

“Apa yang terjadi di rumah nomor delapan?” tanyaku setelah enam bulan kemudian, perempuan bernama Amanda itu dipecat dari warnet.

“Istri pemilik rumah mencurigai Amanda terlibat perselingkuhan dengan suaminya. Istrinya kan bekerja di luar rumah, kalau tidak salah di sebuah bank,” jawab Edi, salah seorang temanku yang tahu persis penyebab kepergian Amanda.

Aku terdiam. Rasanya tak percaya seorang Amanda yang lembut dan baik tega melakukan perselingkuhan. Apakah tudingan istri lelaki berkaca mata itu memang punya bukti yang kuat? Apa jangan-jangan sebaliknya, istrinya itulah yang terlibat perselingkuhan dengan rekan sekerjanya? Sesalku dalam hati.

Setelah keluarnya Amanda, pemilik warnet memilih seorang laki-laki untuk menjaga warnet. Aku pernah bertemu dengannya di pagi hari. Belakangan ini aku begitu sibuk mengantar barang pesanan. Omset penjualan di perusahaan kami lumayan berkembang. Penjualan komputer dan laptop semakin meningkat. Baru-baru ini, saat perusahaan kami berulang tahun yang ke 12, aku diberi hadiah sebuah cincin emas 5 gram, karena sudah bekerja di atas lima tahun di perusahaan ini.

Suatu sore, setelah pulang mengantar barang, aku ingin istirahat sebentar dengan bermain game di warnet sebelah. Aku agak terkejut, karena melihat pengunjung warnet yang sepi. Hanya ada aku dan enam orang lainnya. Padahal biasanya warnet lebih ramai di sore hari, saat anak-anak sekolah sudah pulang dari sekolah. Ketika kutanyakan hal itu pada lelaki yang menjaga warnet, aku lebih kaget lagi mendengar jawabannya.

“Iya, bang. Warnet ini sudah tidak bisa menutupi biaya-biaya lagi. Dari hari ke hari pengunjung semakin sepi. Mungkin satu atau dua bulan lagi, warnet ini bakal ditutup,” katanya dengan wajah sedih.

Tak sampai dua bulan kemudian, warnet benar-benar ditutup.

“Biasanya, angka delapan merupakan angka keberuntungan menurut fengshui. Tapi kenapa ini sebaliknya? Belum lama membuka usaha, sudah harus tutup pula,” temanku Rio, ikut mempertanyakan tutupnya warnet.

“Banyak orang menganggap, angka sangat berhubungan dengan peruntungan seseorang. Nomor rumah, plat mobil, hingga nomor telepon yang baik akan membawa dampak ‘feng shui’ baik bagi jalan karir dan kesuksesan
seseorang. Angka paling laku dan banyak dicari adalah 168. Mengapa? Angka 1 diartikan satu-satunya, angka 6 diartikan jalan dan 8 diartikan kemakmuran. Jadi, 168 diartikan sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran.” lanjut temanku itu, membuatku takjub. Mungkin dia mengetahui hal ini dari internet, karena diantara kami semua, Rio lah yang paling sering mengunjungi warnet.

“Lalu apa masalahnya? Apa mungkin suami istri itu, tidak bisa memanage keuangan mereka atau mungkin mereka tidak cocok menjalankan usaha warnet, lalu mereka mau mencari usaha yang lain? Kurasa masalahnya, karena mereka tidak mampu bersaing dengan beberapa warnet lain di komplek ini,” kataku.

***

Kalau sedang tidak ada kerjaan mengantar barang, aku sering memandang ke rumah nomor delapan. Kadang terfikirkan juga olehku, mengapa sudah beberapa kali berganti pemilik rumah tetap saja usaha yang dirintis gagal di tengah jalan? Apa ini ada kaitannya dengan hal-hal seputar supranatural dan sejenisnya? Aku juga teringat seorang gadis cantik bernama Amanda. Cukup menyesal juga aku, kenapa saat itu tidak mengajaknya mengobrol atau bahkan menjemputnya pulang bekerja?

“Dek, kau terheran-heran dengan peruntungan rumah nomor delapan? Sudah beberapa kali buka usaha gagal?” tanya pemilik Toko Obat China di rumah nomor tujuh, seperti tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku mengangguk pelan.

“Coba kau hitung berapa jumlah rumah di deretan itu. Ada lima belas rumah, bukan? Kebetulan nomor delapan berada di tengah-tengah. Dia terjepit di antara rumah-rumah yang lain. Itulah salah satu yang mengurangi nilai keberuntungannya. Makanya beberapa kali yang membuka usaha di sini kurang lancar semua. Sayang ya.” Aku masih terpaku, setelah lelaki itu selesai bicara. Rasa-rasanya aku dapat menerima alasannya itu dengan akal sehatku.

Biarlah rumah nomor delapan dengan masalahnya sendiri, aku tidak mungkin terus memikirkannya. Masalahku saat ini, di mana aku dapat menemukan Amanda? Sebab bayangan Amanda tak bisa kubuang dari pikiranku.

Tidak ada komentar: