Minggu, 13 Desember 2009

Suatu Hari Di Tempat Praktik Pak Saddat

Lelaki tua itu bekerja dengan jari telunjuk dan jempolnya. Ke dua jarinya bergerak di atas jari-jari kakiku, seperti gerakan memilin-milin. Lembut, tidak sampai menguras tenaga, tapi bagiku sebagai si empunya kaki bukan main sakitnya. Aku kerap beraduh-aduh ria. Tak jarang tanganku ikut memegangi kakiku, membuat lelaki itu berhenti sejenak dari kegiatannya.

“Sakit ini berasal dari asam lambungmu. Kalau yang ini berhubungan dengan syaraf otak di kepalamu. Pening-pening di kepalamu itu diakibatkan peredaran darah di tubuhmu tidak lancar,”ujarnya menerangkan seperti seorang dokter kepada pasiennya.

Aku meringis. Teringat kejadian beberapa waktu lalu yang sempat membuatku tak berdaya. Saat berbaring di tempat tidurku, tiba-tiba pandanganku berputar. Aku seperti merasakan kekuatan gempa sedang berlangsung di atas tempat tidurku. Perutku tiba-tiba seperti dikocok-kocok menghasilkan mual yang sangat hebat. Aku berteriak memanggil emak. Kupegangi kepalaku dengan kedua telapak tangan sampai menutup mataku.

Sakit kepala yang biasa menyerangku, tidak pernah sampai separah itu. Dokter menyebut penyakit ini dengan istilah Vertigo. Aku diberikan beberapa macam obat untuk memulihkan kondisiku. Vertigo membuatku tidak bisa berbaring ke arah kiri. Tidak bisa menundukkan kepala saat sedang berdiri. Aku pun tidak bisa sepenuhnya bersujud dengan kening menyentuh sajadah.

Selain mengunjungi dokter, emak membawaku ke praktek Pak Saddat. Emak mengetahui informasi mengenai Pak Saddat dari teman satu pengajiannya.. Semula Bu Arfah didiagnosa dokter menderita penyakit kista, tapi setelah menjalani terapi secara berkala di tempat praktek Pak Saddat, beliau batal dioperasi dan dinyatakan sembuh!

“Husna Fitriyani, ibarat Televisi, tubuhmu yang tampak dari luar itu adalah layar televisi, tapi remotenya ada di sini,”tambahnya dengan menunjuk jari-jari di kakiku. Menerangkan hubungan jari-jari di kakiku dengan syaraf di bagian otak dan lambungku. Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar analogi yang disampaikannya.

Acapkali lelaki tua yang selalu memakai lobe putih di kepalanya memanggil nama lengkapku di sela-sela terapinya. Menurut beliau, kalau beliau dapat segera menyebut dan menghapal nama pasiennya, itu berarti sang pasien mudah untuk beliau sembuhkan. Tapi bila sebaliknya, maka sang pasien agak sulit mencapai kesembuhan. Tapi apa hubungannya? Pikirku.

Ke dua jari Pak Saddat kini berpindah ke jari-jari tangan sampai pangkal lenganku. Sejenak aku melayangkan tatap ke arahnya. Wajahnya memancarkan keramahan, meski pelipis dan tubuhnya diserbu keringat. Dia bekerja dengan penuh semangat. Dia selalu tampak ceria, sehat dan luwes. Padahal usianya sudah lebih kepala enam, tapi tak kalah dengan orang berusia tiga puluh tahun sepertiku. Sebelum giliranku, dia telah mengobati beberapa pasien lain dengan berbagai macam penyakit. Ada yang mengalami stroke. Ada yang terkena sinusitis. Ada pula pasien anak yang autisme. Pokoknya macam-macamlah. Bahkan masih ada pasien yang sedang menunggu di luar. Pak Saddat dengan setia mengurus semua pasiennya.

Mulanya aku tidak percaya kata-kata emak. Bagaimana mungkin dengan cara pengobatan yang dilakukan Pak Saddat bisa menyembuhkan penyakit? Dengan hanya menggerak-gerakkan jari telunjuk dan jempolnya di kaki dan tangan pasiennya, dia dapat mengetahui penyakit yang diderita pasiennya sekaligus mengobatinya? Bahkan aku menganggap emak terlalu berlebihan.

“Husna, kau harus rajin terapi, percuma kalau kau datang sebulan sekali ke mari. Tidak akan nampak hasilnya. Nanti, setelah kau merasa sehat, mau datang sekali atau dua kali seminggu tidak masalah,”kata Pak Saddat sambil bangkit dari duduknya. Terapi selama tiga puluh menit sudah berakhir. Pak Saddat melap wajah dan pelipisnya dengan handuk kecil yang diletakkan di pundaknya.

Aku tersenyum. “Insya Allah, setelah ini saya rutin, Pak. Terima kasih,”jawabku sambil menyelipkan uang enam puluh ribu ke tangannya. Dia mengucapkan terima kasih.

Wajahnya masih sama seperti saat pertama kali aku melihatnya. Senyum ramahnya tidak pernah sirna dari bibirnya. Tiba-tiba aku merasa sangat kecil di hadapannya karena sempat meremehkannya.

Aku jadi terdorong untuk menerapkan hidup sehat setiap harinya. Mengatur waktu dan pola makanku dengan baik. Aku lebih sering makan sayur-sayuran dan buah-buahan dan tidak tidur larut malam. Pak Saddat saja yang usianya sudah lebih kepala enam mampu mempertahankan kesehatannya, kenapa aku yang separuh dari usianya tidak mampu? Pikirku.

Dan entah kenapa, aku pun jadi menghubung-hubungkan profesi Pak Saddat dengan hobiku dalam menulis. Bukan tidak mungkin, dari awalnya sebagai hobi, menulis kujadikan sebagai profesi. Dengan catatan, pekerjaanku sebagai sekretaris di sebuah perusahaan swasta tidak boleh terganggu.

Aku merasa sepertinya ada satu kesamaan di antara kami. Seperti Pak Saddat ingin menargetkan kesembuhan bagi para pasiennya, mungkin seperti itulah aku ingin karya-karyaku tumbuh dan berkembang. Diminati setiap pembaca setiaku. Ketika tahu aku suka menulis, Pak Saddat malah antusias mendorongku.

“Husna, teruslah menulis. Jangan berhenti, meski ada rintangan menghalangimu. Sebuah profesi lahir dari ketekunan dan kerja keras yang kita lakukan. Tetap semangat dan buang rasa jemu di hatimu,”katanya.

Pada kunjunganku yang ke sekian kalinya, aku jadi tahu bahwa Pak Saddat pernah menjadi supir bus antar lintas provinsi selama bertahun-tahun. Aku seolah tak percaya, orang seperti Pak Saddat ternyata pernah menjadi supir bus yang handal?

Suatu hari, Pak Saddat pernah menolong seorang lelaki tua yang menumpang di busnya. Entah bagaimana, lelaki itu tampak kelelahan dan sakit-sakitan. Pak Saddat memberinya minuman, makanan dan pengobatan sampai lelaki tua itu tampak segar kembali. Ternyata, lelaki tua itu sering dijumpai Pak Saddat di hari-hari berikutnya. Tanpa pernah disangka, kalau lelaki tua itu mewariskan ilmunya kepada Pak Saddat!

Mula-mula Pak Saddat menerapkannya pada keluarga. Semakin hari, banyak dari tetangga yang datang ke Pak Saddat bila sedang sakit, bahkan rela menunggu kepulangan beliau dari luar kota.

“Istri saya jadi bertanya, mau menolong orang atau tetap sebagai supir bus? Maka, saya memilih berhenti jadi supir bus dan memutuskan untuk menolong orang,”katanya.

Sejak saat itu, nama Pak Saddat mulai dikenal. Keahlian beliau mengobati penyakit menjadi pembicaraan orang dari mulut ke mulut. Aku pernah bertemu seorang pasien Pak Saddat. Pasien itu sudah belasan tahun percaya pada kemampuan Pak Saddat. Dari biaya berobat masih berkisar tiga ribu rupiah sampai menjadi enam puluh ribu rupiah, pasien itu tetap kembali ke praktek Pak Saddat.

Dari hasil membuka praktek, Pak Saddat telah naik haji bersama istrinya. Pak Saddat juga telah membelikan ke lima anaknya rumah yang layak. Pak Saddat sendiri tetap sebagai sosok bersahaja. Disenangi para pasien dan warga di lingkungan tempat tinggalnya. Baik, ramah dan suka menyumbang.

***

Menyadari efek kesembuhan dalam diriku, aku tak ragu merekomendasikan Pak Saddat kepada tetangga dan teman-temanku. Aku sendiri, karena merasa tubuhku jauh lebih sehat mengurangi pertemuanku dengan Pak Saddat.

Acapkali, aku mendapatkan salam Pak Saddat dari mereka. Pak Saddat juga menanyakan, apakah asam lambung dan vertigoku sudah benar-benar sembuh dan aku sudah makin produktif menulis? Kalau sudah begitu, aku akan melepaskan tawaku dan merasa sangat dekat dengan beliau.

Dua hari ini, entah kenapa aku selalu teringat pada Pak Saddat. Terbayang pada wajahnya yang selalu dilumuri keceriaan. Wajah yang tak pernah ditutupi selaput kelelahan ataupun kebosanan melihat antrian dari pasien-pasiennya. Apa kabarmu, Pak Saddat? Besok siang di saat aku libur bekerja, aku akan mengunjungimu, bisik hatiku.

“Hus, aku dapat kabar. Pak Saddat sudah meninggal dunia tadi malam. Jasadnya sudah dikebumikan di pekuburan umum siang tadi,”seorang teman meneleponku. Jantungku serasa mau copot! Pak Saddat sudah meninggal? Padahal aku baru saja berencana untuk mengunjunginya besok! Air mataku begitu saja berhamburan keluar dari kelopak mataku.

Suatu hari, di ruangan praktek Pak Saddat, ada duka yang mendalam. Ada tangis dari orang-orang yang kehilangan. Satu hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan di benak para pasien Pak Saddat, apalagi aku. Bahwa Pak Saddat yang ramah, luwes dan ceria akan dipanggil Tuhan, tanpa pernah meninggalkan tanda-tanda kepergiannya! Dua hari tubuhnya sakit dan tidak membuka praktek, pada malam jum’at selepas maghrib Pak Saddat menghembuskan nafas terakhirnya.

“Selamat jalan, Pak Saddat. Doa kami selalu menyertaimu…”bisikku parau di depan pusaranya.

***

Tidak ada komentar: