Selasa, 15 Desember 2009

Air

Dari jam lima pagi, mulut Amah tak berhenti berkicau seperti burung beo. Begitu matanya mulai membuka dan langkahnya menuju ke kamar mandi. Dia melihat air di dalam bak mandi tidak bertambah sedikitpun. Itu berarti, dari jam sebelas malam sampai sekarang air belum juga hidup. Amah berkali-kali menarik nafas. Mati air lagi.

“Hari ini mati air. Kalian tidak usah mandi, cuci muka saja, kecuali untuk buang air besar,”kata Amah sewaktu suami dan ke empat anak laki-lakinya bangun. Peringatan Amah disambut dengan protes pada awalnya, tapi akhirnya suami dan ke empat anak laki-laki Amah setuju demi melihat kenyataan yang ada.

“Jangan lupa, abang complain mengenai masalah air kita ke kantor PDAM. Kalau ada masalah, biar segera diatasi petugas,”pesan Amah, saat suaminya berpamitan untuk mengantar anak-anak ke sekolah sekaligus menuju ke kantornya.

“Iya, nanti abang usahakan,”jawab suaminya sebelum berlalu.

Sudah hampir pukul delapan pagi. Setengah ragu Amah menghampiri tukang ikan keliling yang biasa mangkal di daerah mereka. Hampir setiap hari tukang ikan itu datang mengendarai sepeda motor, dengan membawa sejumlah ikan di dalam bak persegi empat yang terbuat dari kayu. Biasanya, kedatangannya sudah ditunggu para ibu.

Wandi, si tukang ikan paling tahu selera Amah dan ibu-ibu lainnya. Biasanya mereka lebih memilih membeli ikannya daripada membeli di kedai sampah di daerah ini ataupun langsung ke pajak dengan resiko mengeluarkan ongkos lebih besar. Ikan-ikan yang dibawa Wandi memang selalu tampak segar dan lebih dari satu jenis. Terkadang ditambah pula dengan udang, kepiting dan kepah. Harga ikan-ikan Wandi tidak lebih mahal dari harga ikan yang ditawarkan di pajak.

“Kok telat hari ini, Kak?”tanya Wandi.

“Di rumah kami sedang mati air. Dari tadi malam sampai pagi ini. Semua jadi serba tak menentu. Anak-anak sampai nggak bisa mandi pergi ke sekolah. Pemakaian air semua dijatah,”jawab Amah dengan raut kesal.

“Kalau di daerah kami tidak pernah ada istilah mati air. Alirannya kan langsung dari gunung,”balas Wandi yang rumahnya berada di daerah menuju Brastagi.

“Peristiwa mati air ini adalah imbas dari semakin banyaknya rumah-rumah bertingkat di daerah ini yang menggunakan pompa air. Jadi, kalau mereka menggunakan pompa airnya, kesempatan kita mendapatkan air jadi lebih kecil,”

Amah kemudian membandingkan kondisi daerah Sei Mati saat ini dengan lima tahun yang lalu, di saat pembangunan rumah-rumah bertingkat belum begitu banyak. Dulu, jarang sekali terjadi kemacetan air PAM. Jalan air selalu lancar dari pagi sampai pagi lagi. Tapi sekarang, tidak pagi, siang bahkan malam seringkali jalan air macet, bahkan kini mati total! Apalagi untuk rumah Amah yang berlantai dua dan memiliki kamar mandi di atas, air tidak bisa naik sampai ke atas lagi. Setiap malam, suami atau anak laki-laki Amah selalu mengangkat air beberapa ember.

“Jadi, mana yang lebih bagus, mati air atau mati lampu, Kak?”kelakar Wandi.

“Dua-duanya nggak bagus! Kalau mati lampu, mau mengerjakan apapun sulit di malam hari. Begitu juga bagi yang punya usaha. Tapi kalau mati air, lebih gawat lagi. Air sangat kita butuhkan dalam hidup. Seperti juga tumbuhan dan binatang membutuhkan air. Air memang karunia Tuhan yang paling besar untuk kehidupan kita. Bayangkan, kalau pasokan air sampai menipis, hidup kita akan terancam kekeringan!”

Tampak si tukang ikan manggut-manggut mendengar omongan Amah. Sementara di dalam hati dia masih mengharapkan para ibu datang membeli ikan-ikannya. Dia malah khawatir, karena alasan mati air, hari ini ikan-ikannya tidak laku terjual!.

“Makanya orang-orang di zaman dahulu disarankan memilih rumah di sekitar sumber air. Apakah sungai, anak sungai, ranting sungai bahkan mata air, karena air dipandang sebagai mata air kehidupan. Keberadaan air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar mereka berperan multiguna, sebagai air minum dan MCK, mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya, relijius dan juga ekonomi.”

“Kalau air sungai sekarang sudah banyak tercemar dengan berbagai jenis kotoran dan sampah. Semakin pintar orang-orang, tetapi semakin sulit untuk diatur dan sepertinya tidak mampu mempertahankan sesuatu yang telah dilakukan nenek moyangnya dahulu,”lanjut Kak Amah. Wandi kembali manggut-manggut, tapi matanya memerhatikan seorang perempuan yang sedang menyeberang.

Hati Wandi sedikit terhibur, saat A ling muncul di depan mereka. Ibu tiga anak itu sepertinya baru selesai mandi. Tampak sebagian rambutnya masih basah.

“Bawa ikan apa aja, Ndi?”tanyanya.

“Mujair Prapat. Kakap Timun. Lele. Kapuk. Tongkol sisik. Udang,”

“Aku beli mujair prapat sekilo. Udang setengah ya,”kata A ling memesan.

Wandi segera mengambil setengah kilo udang dan menyiangi ikan, membuang sisiknya, tapi tidak memotongnya karena A ling akan memangang ikan tersebut. .

“Beli ikan apa hari ini, Kak?”tanya A ling pada Amah.

“Hhh, masih bingung, Ling. Mau masak, tapi mati air. Entah jam berapa nanti bakal hidup. Kalau nyuci ikan mana bisa tanggung-tanggung airnya, bisa-bisa amisnya nggak hilang setelah dimasak,”

Wandi menarik nafas. Biasanya, Kak Amah membeli ikan paling sedikit satu kilogram setiap harinya. Wandi kesal. Kenapa mesti mati air, sehingga kegiatan orang-orang memasak jadi terganggu?

“Timbangkan aja kakap timun sekilo, Ndi. Kalau air nggak hidup juga, kakak taruk aja dulu di kulkas. Kalau airnya sudah hidup, baru dimasak,”berkata begitu, Kak Amah langsung merogoh uang di dompetnya.

Wandi menerima uang itu. Dia segera beranjak dari tempat mangkalnya, karena dia tidak mungkin menunggu sampai air hidup kembali. Ikan-ikan di dalam bak kayunya masih banyak. Dia harus mencari pelanggannya yang lain.

***

Peristiwa matinya air PAM masih menjadi topik hangat, saat Amah singgah ke kedai sampah untuk membeli sayuran. Beberapa tetangga sebelah gang juga sedang mengungkapkan kekesalan.

“Dulu, waktu kami masih tinggal di pinggir sungai, tidak pernah ada masalah soal air. Semua kegiatan yang berhubungan dengan air kami lakukan di sungai. Tapi sejak ada penggusuran rumah-rumah di pinggir sungai untuk urusan pemugaran sungai dari pemerintah Kota Medan dan kami harus pindah, masalah air jadi sangat menjengkelkan,”

“Harusnya kau pindah dari Sei Mati, jangan menyewa rumah di sekitar Sei Mati lagi, En”tukas Bu Sembiring.

Eni, Irna dan Amah tertawa kecil mendengar ucapan pemilik kedai sampah itu.

“Entah kenapa ya, Sei Mati ini sulit untuk dilupakan. Dari cerita emakku di zaman ompungku masih hidup, keteduhannya tidak pernah sirna sampai sekarang. Masalahnya sekarang, rumah-rumah kecil kita sudah ditutupi dengan gedung-gedung bertingkat. Apalagi ada dua SPBU dibangun di sini, belum lagi bakal dibangun perumahan-perumahan yang mentereng di daerah kita ini,”lanjut Eni.

“Di satu sisi ada hikmahnya perubahan di Sei Mati ini, biar warga Medan di tempat lain tidak hanya mengenal Sei Mati karena di sini ada Pekuburan Mandaliling saja. Di sini ada SPBU terlengkap di Medan yang termasuk SPBU terbaik. Mungkin di lain waktu bakal ada Perkantoran, Mal, Bank ataupun Hotel. Tapi di sisi lain, lihatlah sudah banyak warga kita yang pindah. Kita termasuk sebagian orang yang masih bertahan. Sebagian lagi sudah dihuni pendatang baru di rumah baru mereka,”Amah menatap para tetangganya bergantian. Sesaat mereka terdiam, memikirkan apa yang dikatakan Amah.

Tersadar waktu terus berjalan, Amah kemudian memilih sayuran.

Ada baiknya masalah air ini segera kita laporkan ke petugas yang berwenang menangani, agar kemacetan air ini tidak berlarut-larut,”kata Eni.

“Tadi pagi kakak sudah mengingatkan abang untuk melaporkannya. Bukan saja perihal kemacetan air ini yang perlu ditindaklanjuti, tapi kebersihan air itu sendiri. Tak jarang air yang sudah kakak masak, ada yang tertinggal seperti pasir di bagian bawahnya,”jawab Amah.

“Masalah kemacetan, bahkan kelangkaan air bersih seharusnya ikut menjadi perhatian pemerintah. Jangan masalah kenaikan harga BBM saja yang menjadi masalah nasional yang sangat serius dan dibahas berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Sementara kelangkaan air bersih atau bahkan banjir menjadi nomor kesekian yang harus diperhatikan. Padahal air merupakan faktor sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi lo,”kata Irna.

“Iya penting, meski nggak pake lo, gitu lo,”kelakar Amah, disambut tawa oleh yang lain. Mereka ke luar berbarengan dari kedai Bu Sembiring.

***

Pulang ke rumah, Amah langsung menyiapkan masakan dari bahan yang sudah dia beli di kedai. Dia mulai menyiangi sayur dan menyucinya dengan mengambil air di dalam bak mandi. Amah berpikir, betapa tersiksanya hidup dengan kondisi mati air. Dari bangun tidur, Amah sudah menahan kejengkelannya, sampai urusan masak pun terkendala. Hari ini, Amah masak seadanya. Ikan yang sudah dia beli dia masukkan ke dalam frezer. Amah berjalan ke dispencer, sekali lagi sayuran itu dicucinya, sebelum dimasak.

Amah menarik nafas. Dia menatap tumpukan peralatan dapur yang masih kotor. Biasanya, selesai memasak Amah langsung membersihkan semuanya, sehingga pekerjaannya beres dan rapi. Amah meletakkan sayuran dan telur dadar yang sudah dimasak di atas meja makan. Mungkin setelah ini, Amah akan membeli sebuah tong air yang besar untuk persediaan air di rumahnya.

Ini baru soal memasak. Belum lagi soal yang lain. Terhitung kejadiannya baru satu hari, bagaimana kalau sampai berhari-hari? Amah jadi bergidik membayangkannya.

Pulang sekolah, ke tiga anak laki-laki Amah protes, begitu melihat menu makan siang di meja makan.

“Makan aja apa yang ada, sayang. Jangan mentiko kali lah. Mak juga bingung mau masak kalau air mati kayak begini,”kata Amah.

Terdengar suara ketukan di pintu, ditandai ucapan salam. Amah membuka pintu. Tetangga sebelah mengabarkan sebuah berita duka cita! Pak Haji Rangkuti, tetangga sebelah gang, teman alamarhum ayah Amah di waktu muda baru saja meninggal dunia.

“Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un…”ucap Amah, terbayang sosok lelaki tua itu.

Saat ingin berganti baju, Amah masih juga kesal dengan matinya air. Dia harus pergi melayat, padahal dia belum mandi sejak pagi tadi. Amah menggaruk badannya yang gatal, kemudian menaburinya dengan bedak talak. Sebuah gamis berwarna hitam ditaburi bordir bunga dipakainya. Sesaat kemudian dia membayangkan kesibukan di rumah keluarga almarhum Pak Haji Rangkuti.

***

Medan, 22 April 2009

Tidak ada komentar: