Senin, 14 Desember 2009

Sebuah Kamar Yang Merangkap Rumah

Seperti burung-burung yang pulang ke sarangnya, Reza mengendarai sepeda motornya menuju sebuah rumah di jalan Sisingamangaraja. Kalau saja rumah yang akan dia tuju memberikan kebahagiaan terbesar untuknya, tentu perasaan Reza tidak akan segalau ini. Dia tentu akan secepat mungkin sampai di rumah, untuk bertemu istri dan ke dua anaknya.

Acapkali Reza terbentur perasaan tak menentu setiap akan pulang ke rumah. Sepertinya, pulang ke rumah menjadi sebuah rutinitas yang membelenggu dirinya. Mempersempit geraknya. Membuat pikirannya tidak mampu berkembang bebas.

Di persimpangan Jalan Juanda Baru-Halat, traffic light menunjukkan tanda berhenti. Di sepanjang jalan, mulai banyak penjual makanan menjajakan aneka makanan. Dari roti cane, martabak kubang, lontong malam, nasi uduk dan sebagainya. Di dalam hatinya yang terdalam, sebenarnya Reza ingin sekali memilih salah satu dari makanan yang berderet itu. Membawa untuk istri dan ke dua anaknya, kemudian melahapnya bersama-sama.

Sampai lampu hijau menyala, Reza hanya memerhatikan, tapi tak berniat membelinya.

“Makan tu pencarian kalian. Baru beli martabak aja udah sombong. Lain kali kalau beli makanan jangan tanggung-tanggung. Sudah tahu di rumah ini orangnya banyak,”terngiang di telinga Reza, kata-kata sindiran dari Uda Bustami, abang iparnya.

Saat Reza, Yanti dan ke dua anak mereka sedang menyantap martabak kubang di kamar, keponakan Yanti datang ke kamar dan mereka membagi sepotong kecil martabak untuknya. Sayangnya, martabak itu tidak cukup untuk keponakan Yanti yang lain. Dini menangis, karena tak kebagian. Berulangkali Yanti dan Reza membujuknya, tapi tak berhasil. Mengetahui penyebab timbulnya tangisan anak perempuannya, begitu saja sindiran itu dilontarkan Uda Bustami pada Reza.

Reza menghela nafas. Memang benar. Di rumah itu tidak hanya ada Reza dan keluarga kecilnya, tapi juga beberapa keluarga yang lain dari pihak istrinya. Ada ibu mertua, ada kakak ipar beserta suami dan ke tiga anaknya. Ada abang ipar bersama istri dan ke empat anaknya. Di rumah berlantai dua itu juga tinggal empat keponakan Yanti, yang dititipkan orang tua mereka di Medan untuk melanjutkan sekolah. Orang tua mereka ada yang di Bukit Tinggi, Palembang, bahkan Malaysia!

Sebagian orang, mungkin memandang kagum pada rumah berlantai dua peninggalan almarhum Haji Saleh Chaniago itu. Ada beberapa keluarga tinggal di dalamnya, tak pernah terdengar keributan menyeruak. Di daerah itu, nama almarhum mertua Reza memiliki karisma yang besar. Karisma yang melekat erat pada diri almarhum, karena perjuangan beliau merintis usaha dari nol sampai memiliki rumah berlantai dua dan beberapa kios di depan jalan. Kios-kios itu ada yang disewakan ke pihak lain, ada pula yang dipakai abang ipar Reza membuka gerai ponsel.

Tidak seorang pun tahu, dalam hati kecilnya, Reza acapkali merasa sendiri di tengah keriuhan yang kerap muncul di rumah itu. Dia selalu ingat pesan dari emaknya yang tinggal di Tapsel, bagaimanapun sebagai lelaki dia lebih baik mempunyai rumah sendiri dari hasil kerja kerasnya..

“Meskipun rumahmu kecil, itu jauh lebih baik daripada harus tinggal bersama keluarga lain di dalam satu atap. Emak tidak ingin kau kehilangan martabatmu sebagai suami dan ayah,”pesan emak.

Sebagai ibu, mungkin emak dapat merasakan, kalau Reza sering merasa kurang dihargai dan dipandang sebelah mata oleh ipar-iparnya di rumah itu.

Masalah mainan anak-anak, satu masalah kecil sebenarnya, namun bisa memicu hubungan yang kurang harmonis di antara para orang tua. Acapkali Alif menangis, karena mainannya rusak. Kalau sudah rusak, tidak satupun dari sepupunya yang mau menggantikan mainan Alif dengan mainan yang bagus. Di lain waktu, Alif menangis, karena ingin mencoba mainan Rizal, abang sepupunya.

“Sudah, diam. Baru mainan gitu aja, nangisnya sampai ke langit. Mainan itu belum cocok seumuran kamu, Lif. Nanti kalau kamu sudah seumur Rizal, kamu boleh maininnya,”kata Uni Erna.

Terkadang, hal seperti itu menyinggung perasaan Reza. Bukan sekali dua kali masalah anak disikapi seperti itu oleh ipar-iparnya. Seolah-olah apa yang mereka katakan sengaja ditujukan padanya. Reza bukan tidak sadar dengan kondisinya masih menumpang di rumah itu. Reza sudah seringkali membicarakan rencana untuk pindah rumah pada Yanti, tapi istrinya sama sekali tidak merespon.

***

Melihat menu makan malam itu, menyusut drastis selera makan Reza. Di piring tersedia ikan tongkol dimasak asam padeh dan tumisan kol, dibeli Yanti di warung nasi di depan rumah. Menu makan malam di rumah ini seringkali habis sebelum waktunya. Reza maklum dengan banyaknya penghuni di rumah besar ini. Reza bahkan selalu meredam keinginannya untuk meminta Yanti memasak menu khusus untuknya.

Reza makan di kamar, sambil menonton TV. Begitu selalu. Kamar empat kali empat yang mereka huni sejak malam pengantin itu, layaknya sebagai rumah. Mereka makan di kamar. Nonton TV di kamar. Menyetel DVD di kamar. Bercanda dengan anak-anak di kamar. Bicara empat mata pun di kamar. Tidak seperti layaknya rumah yang dihuni sepasang suami istri dengan dua orang anak. Sebuah rumah seperti yang selalu didambakan Reza. Ada kamar pribadi. Kamar anak. Ruang keluarga. Ruang tamu. Dapur dan beranda.

“Yan, abang ingin sekali mengajak kau dan anak-anak pindah. Mungkin, kita bisa menyewa sebuah rumah yang mungil,”cetus Reza, saat Alif dan Nisa telah terlelap.

Dulu, alasan keengganan Yanti untuk pindah, karena sebagai anak bungsu dia tidak bisa berjauhan dengan keluarganya yang lain. Tapi Reza tidak mungkin terus membenarkan sikap Yanti, karena dalam hidup mereka telah lahir dua buah cinta mereka.

Reza memberi contoh, sebuah pot yang awalnya ditanami bunga yang mulai membesar, harus dipindahkan ke pot yang lebih besar agar pertumbuhannya lebih baik. Baju Alif dua tahun yang lalu sudah tidak muat lagi di tubuh Alif di usia lima tahun seperti sekarang. Semakin lama, kamar ini pun tidak bisa menampung mereka beserta barang-barang yang ada di dalamnya!

“Kita di sini saja, Bang. Rumah ini besar. Kita tidak perlu sampai menyewa,”jawab Yanti setenang air.

“Apa kau malu pindah ke rumah kontrakan yang jauh lebih kecil? Kau lebih suka tinggal di rumah besar ini, dengan segala konsekuensinya buat kita dan anak-anak? Apa kau tidak pernah melihat sikap saudaramu terhadap abang?”Reza mengejar dengan pertanyaannya. Kepalanya bersandar di sandaran tempat tidur.

Terbayang di pelupuk mata Reza, bagaimana pandangan ipar-iparnya saat di tahun pertama perkawinannya, perusahaan di bidang elektronika tempat Reza bekeja gulung tikar. Reza sering disindir-sindir, bahkan kealfaan Reza bekerja disiarkan Uda Bustami di kedai kopi. Padahal Reza bukan lelaki minus tanggung jawab. Sealfa-alfanya Reza bekerja, dia masih bisa memberikan nafkah buat isterinya tanpa lelah! Ketika dia harus pulang agak larut malam untuk urusan mencari nafkah, tetap saja Reza mendapatkan cemoohan. Alangkah wajar bila kini Reza ingin mengajak Yanti pindah rumah. Selama empat tahun terakhir ini, Reza mendapatkan posisi yang lumayan di kantornya.

Jabatannya sebagai seorang staff humas di perusahaan supplier alat-alat kehutanan, membuat Reza sering membawa tamu-tamu perusahaan ke tempat-tempat hiburan di seantero Kota Medan. Tidak semua uang titipan dari bos dihambur-hamburkan Reza untuk para tamu yang notabene lelaki haus hiburan itu. Sebagian dia simpan di kantongnya sendiri.

Reza bersama beberapa teman, kemudian membuat usaha patungan, menyewakan tenda, kursi dan meja tamu untuk acara pernikahan, bahkan pelaminan dan acara hiburan pun Reza dapat dipercaya mengurusnya dengan baik. Perlahan, tapi pasti Reza mulai mengisi lumbung uangnya di Bank!

“Jadi, maksud abang mau memisahkan aku dari saudaraku yang lain? Atau jangan-jangan masalahnya ada pada diri abang. Mungkin sebenarnya abang yang nggak mampu menyesuaikan diri tinggal bersama saudaraku di rumah ini.”suara Yanti terdengar aneh. Reza menatap Yanti lekat, sekuat tenaga meredam emosinya yang ingin muncul.

“Yan, kalau kita pindah rumah, bukan berarti abang memisahkanmu dari keluargamu. Anak-anak kita akan semakin besar dan pintar. Seharusnya mereka sudah punya kamar sendiri, tidak lagi berada di kamar kita. Apa kau nggak malu kalau tiba-tiba mereka melihat kita sedang begituan? Nanti mereka akan cerita pada teman-temannya kalau telah melihat ayah ibunya main kuda-kudaan di kamar,”lanjut Reza lagi, nyaris berbisik.

Yanti hanya diam.

***

“Sampai kapan kita akan menetap di kamar itu, Yan? Berapa lama lagi kita harus tidur menyatu dengan barang-barang yang ada di dalam kamar kita? Untuk alasan apa kau tetap ingin bertahan tinggal bersama ibu dan dua saudara kandungmu di bawah satu atap? Tidak inginkah kau hidup tenang bersama abang dan ke dua anak kita?”

Pertanyaan demi pertanyaan itu menggema dalam hati Reza, tapi tidak sampai ke telinga Yanti. Senja itu Reza tidak benar-benar pulang ke rumah, melainkan ke rumah sakit! Sepeda motor di sebelah kanan Reza diserempet sebuah mobil angkutan kota yang sedang mengejar penumpang. Reza terjatuh dari sepeda motor. Sekujur tubuh Reza terasa sakit, karena tertimpa sepeda motornya. Beberapa luka bekas benturan aspal mengenai betis dan pergelangan tangannya!

“Masih untung ke rumah sakit, bukan ke dunia lain. Sori, becanda. Kau yang sabar ya, Za,”kata Uda Bustami.

“Abang jangan banyak bergerak dulu. Tenangkan pikiran abang. Semua akan baik-baik aja,”ujar Yanti.

“Reza, lain kali di jalan jangan melamun, perhatikan sekeliling kamu, Nak. Semoga kamu cepat sembuh ya,”ucap ibu mertuanya.

Semakin dipandang, kian terasa ada yang menyesakkan dadanya. Rentetan peristiwa demi peristiwa menari-nari di pelupuk matanya. Dinding kamar empat kali empat ini seolah menertawakan dirinya. Betapa hasratnya tak terbendung untuk beranjak dari kamar ini, namun langkahnya selalu tertahan dan tertahan.

*** Medan, 28 April 2009

Tidak ada komentar: