Minggu, 13 Desember 2009

Di Balik Awan

Lelaki yang telah mendampinginya selama empat belas tahun itu menatapnya dengan pandangan penuh penyesalan, seolah dia telah melakukan sebuah kesalahan besar dalam hidupnya. Perempuan itu tak kalah terkejutnya. Telinganya seperti mendengar suara dentuman senapan dari jarak yang sangat dekat. Keras dan amat mengejutkan. Perempuan mana yang tidak akan cemas, saat mendengar suaminya dipehaka dari perusahaan tempatnya bekerja? Tapi di depan suaminya, perempuan itu bagaikan seorang ahli terapis. Tenang, lembut dan bijaksana.

“Abang tidak boleh menyerah. Dalam hidup, acapkali ada hal-hal yang mungkin tidak pernah kita bayangkan akan terjadi, tapi harus kita terima dengan lapang dada. Yakinlah, peluang pekerjaan masih terbentang buat abang di luar sana,”

Dia palingkan wajah sejenak dari pandangan suaminya dan menatap lurus ke langit biru. Gugusan awan putih berarak di langit, membentuk lingkaran-lingkaran tak beraturan, tapi tetap tampak indah. Perempuan itu menaruh harapan besar, di hari-hari berikutnya suaminya dapat meraih pekerjaan barunya. Meneruskan hidup dalam rumah mungil, hadiah perkawinan dari ayah Safna jauh sebelum beliau menghadap Tuhan..

Kenyataannya tidak mudah mencari pekerjaan untuk lelaki berusia empat puluh dua tahun. Apalagi di tengah kecamuk persoalan krisis global yang terjadi di mana-mana. Safna sudah berusaha mencari informasi lowongan pekerjaan untuk suaminya, bahkan sudah pula melayangkan surat lamaran ke beberapa perusahaan, namun belum ada satu perusahaan pun yang menjawab dengan panggilan wawancara.

Suami Safna mencoba menjadi seorang perantara atau agen. Lagi-lagi alasan krisis global menjadi momok yang menakutkan. Tidak gampang mencari seorang pembeli untuk tanah, rumah maupun kenderaan yang dijual pemiliknya. Sebagai konsekuensinya, suami Safna lebih banyak berada di rumah. Acapkali, setiap Safna pulang bekerja, Mirza menyiapkan teh manis hangat dan sepiring biskuit untuk mereka nikmati berdua, sambil menikmati senja di beranda rumah.

“Na, kau tidak malu dengan kondisi abang tidak bekerja? Apalagi sebagai perantara abang belum berhasil menjual apa-apa. Sekarang zamannya orang sulit membeli sesuatu, bila tidak sangat butuh dan penting. Tidak seperti dulu, orang masih sering menggunakan uangnya untuk berinvestasi atau memperbanyak aset,”kata Mirza, setelah meneguk teh sedikit.

“Kenapa harus malu, Bang? Di masa sekarang ini banyak perempuan yang bekerja untuk keluarga, karena suaminya dipehaka atau mengalami sakit. Itu tidak usah abang pikirkan,”jawab Safna santun.

Mirza terdiam. Di tengah kegalauan hatinya, kata-kata Safna seperti air dingin yang menyejukkan, mengaliri hatinya. Mirza merasa bersyukur memiliki istri seperti Safna. Selama Mirza tidak bekerja, sikap Safna tetap mencerminkan kelembutan seorang istri. Tidak pernah Safna menunjukkan sesuatu yang meremehkan diri Mirza. Tapi sampai kapan Safna akan menjadi tulang punggung keluarga seperti ini dan sampai kapan Mirza akan berpangku tangan tanpa menghasilkan apa-apa? Safna mungkin masih akan tetap menerima dirinya, tapi bagaimana dengan khalayak ramai? Apa mereka tidak akan mencemooh dirinya yang hidup dari penghasilan istri?

“Abang sedang memikirkan apa? Kok diam aja?”

Mirza tergeragap. Tatapan Safna sedang tertuju ke arahnya.

“Abang teringat sama si Amir. Setelah menikah dan punya anak, jarang sekali dia berkunjung ke rumah kita,”kata Mirza berusaha menutupi perasaannya.

“Tanjung Pura-Medan kan lumayan jauh bila ditempuh dengan sepeda motor, Bang. Apalagi setelah Amir punya dua anak. Mungkin itu alasannya jarang ke Medan,”

Safna paham, bagaimana sayang Mirza kepada adik bungsunya. Hanya mereka berdua anak lelaki dalam keluarga. Dari enam saudaranya, hanya Mirza yang tinggal di Medan.

“Na, abang tidak mungkin terus begini. Ada banyak hal yang ingin abang wujudkan untuk rumah tangga kita. Abang akan menjual tanah di kampung,”ujar Mirza pelan, tapi terkejut Safna mendengarnya.

“Abang akan menyuruh Amir membuat sebuah papan bertuliskan “Dijual” di atas tanah abang beserta nomor ponsel yang bisa dihubungi,”wajah Mirza tampak cerah merona. Safna ikut tersenyum, sambil menganggukkan kepala.

***

Mirza merenovasi beberapa bagian tertentu dari rumah, untuk mengantisipasi masuknya air hujan ke dalam rumah. Beberapa waktu lalu, mereka harus menguras air dan mengangkat barang-barang dari ruang tamu dan kamar tidur untuk menghindari air yang bercampur lumpur. Mereka melakukannya hanya berdua, sebab tidak ada orang lain di rumah itu.

Seorang teman baik Mirza memberikan pinjaman berupa bahan-bahan untuk merenovasi rumah. Mirza berjanji akan melunasinya dalam tempo dua bulan. Safna paham. Tidak mungkin dia menolak sesuatu yang sudah menjadi rencana suaminya, karena itu bisa melukai perasaannya.

Kabar perihal tanahnya di Tanjung Pura selalu ditunggu Mirza, tapi belum juga ada kabar yang menggembirakan. Padahal Collector dari toko teman baik Mirza sudah datang menunjukkan tagihan. Mirza bingung campur cemas, karena untuk membayar hutang belum punya uang.

Sampai suatu hari, Amir datang untuk meminta tanda tangan Mirza sebagai salah satu ahli waris. Amir malah mengabarkan, tanah miliknya dan milik Kak Ratna--kakak sulung mereka sudah mencapai deal dengan pihak pembeli. Bagaimana dengan tanah Mirza sendiri?

“Apa tanah bagian abang tidak ditengok orang, Mir? Bukannya tanah abang justru yang berada di depan?”heran Mirza.

“Amir kurang tahu, Bang. Sepertinya dia hanya tertarik membeli tanahku dan tanah kak Ratna,”

Mirza menahan kekesalannya. Usut punya usut, ternyata harga tanah Mirza yang ditawarkan Amir pada calon pembeli lumayan tinggi, berbeda cukup jauh dari harga yang dia patokkan untuk tanahnya dan kak Ratna. Pantaslah orang berfikir dua kali untuk membeli tanah Mirza. Sepertinya Amir sengaja supaya tanahnya dan tanah kak Ratnalah yang diambil orang..

Ketika Mirza mengkonfirmasinya kembali pada Amir, adiknya itu malah tidak mengaku telah bersikap curang. Mirza malah merasa seperti ditantang adiknya.

“Abang kok lucu? Orang tanah aku dan Kak Ratna yang dibeli orang, kok abang seperti nggak suka?”

“Jelas abang nggak suka, karena kau tidak adil sama abang. Kalau tidak urgen, abang tidak harus menjualnya, Mir. Sudah beberapa bulan ini abang tidak bekerja lagi!”

“Tapi bukan berarti abang harus menyalahkan aku, bila orang lebih memilih tanahku dan tanah Kak Ratna kan? Mungkin tanah abang belum waktunya dibeli orang.”

“Sampai hati kau berkata seperti itu pada abang, Mir. Tidak abang sangka kau seperti ini. Kau anggap apa abang ini?”

***

Perempuan itu duduk di beranda rumah, saat matahari akan berlindung di balik bukit. Dalam tatapannya ada luka dan air mata. Dia menatap langit, dihiasi awan putih. Seolah di balik awan tersembunyi sebuah ruangan. Sebuah tempat yang dihuni oleh seorang laki-laki yang sangat dirindukannya, yang hanya dapat tertembus oleh sinar matanya.

Kapan lagi dia dapat menikmati senja seperti ini, bersama lelaki yang cintanya terus melekat di hatinya? Kapan lagi dia dapat bertemu dengan lelaki itu dan hidup bersamanya? Dia masih tak percaya, Mirza meninggalkannya secepat ini. Dia biarkan tetes demi tetes air matanya jatuh berderai, membentuk telaga di hatinya.

“Kak, kenapa abang tidak mengizinkan aku masuk ke ruang ICU? Apa salahku?” tanya Amir setelah proses pemakaman Mirza.

“Tanya dirimu sendiri, Mir. Bukankah kau tahu abangmu sudah pernah kena serangan jantung dua belas tahun lalu? Kenapa kau melukai perasaannya, sehingga dia harus mengalami serangan yang kedua dan pergi untuk selama-lamanya?”

“Perkawinan bang Mirza dan kak Safna tidak menghasilkan keturunan. Jadi kalau tanah bang Mirza nanti dibeli orang, kak Safna tidak mendapat bagian,”

“Ambillah. Ambil saja semua untukmu, Mir. Aku tidak peduli,”

“Bagaimana dengan peninggalan abang di rumah ini?”

“Rumah ini peninggalan orang tuaku dan semua isinya, tidak pernah bang Mirza campuri. Apalagi sejak bang Mirza tidak bekerja lagi. Inikah balasanmu atas kasih sayang yang diberikan abangmu selama ini untukmu, Mir?”Amir terdiam. Entah sedang menyesal atau merasa malu dengan sikapnya sendiri.

Perempuan itu beranjak dari beranda, lalu menangis tersedu di balik pintu.

Tidak ada komentar: