Minggu, 13 Desember 2009

Tusuk Sate

Beberapa hari lalu, Tante Muti dan Om Danu menggelar acara syukuran di rumah baru mereka. Tidak saja dari kerabat dan sanak keluarga, para tetangga dan rekan bisnis om Danu pun ikut memberikan selamat dan pujian.

Berada di rumah Tante Muti membuatku berfikir tentang sebuah rumah idaman. Di atas tanah seluas 200 meter, berdiri sebuah bangunan kokoh yang memiliki nilai artristik dan sentuhan modern. Mulai dari kaca jendela, lantai keramik, genteng rumah, semuanya model terbaru. Begitu juga dengan ukiran gypsum yang terpahat di dinding. Keanggunan ruang tamu dapat terlihat dari sofa empuk, gordyn jendela, lukisan bunga asoka dan lampu kristal.

Beberapa ruangan, termasuk kamar tidur ditata rapi, interiornya menarik. Di samping ruang keluarga, ada musholla kecil. Ruang makan berada di depan sebuah kolam air yang sisinya ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan hijau. Di belakang ada dapur bersih dan dapur kotor. Pewarnaannya dibuat berbeda sehingga menimbulkan kesan yang apik.

Aku merasakan perbedaan yang amat mencolok, ketika berada di rumahku sendiri. Mungkin selain rumah kami kecil, merangkap pula sebagai tempat usaha yang telah berjalan dua puluh enam tahun. Selain tidak proporsional, terkadang lebih mirip gudang saja, karena ruang tamu pun ikut dijadikan tempat penyimpanan barang oleh Ibu..

Tidak ada yang khusus sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan ruang musholla. Yang ada setelah bangunan Toko--ruang tamu, seterusnya meja makan, di belakang ada dapur dan kamar mandi. Diantara ruang tamu dan meja makan disekat dengan sebuah lemari jepara yang sudah tua. Dua kamar tidur adanya di lantai dua. Di rumah tidak ada interior yang bagus atau mahal.

“Rumah tidak berseni dan minus keindahan.”desisku. Mau dipercantik juga tak mungkin, ukuran tanah sudah habis dibuat bangunan rumah. Lagipula dari mana dana untuk itu, sedangkan untuk modal usaha saja Ibu terkadang memutar otak, menghindari kekosongan barang.. Lagipula sejak ayah meninggal sepuluh tahun yang lalu kami sudah membiasakan diri dengan semua ini.

Sepulang dari rumah Tante Muti, ada satu hal yang mengganjal dalam pikiranku. Ketika sedang berdiri di depan pintu rumah tante, tampak sebuah jalan lurus, walau tidak terlalu lebar, menghadap ke rumah tante. Aku jadi teringat pada sebuah buku yang pernah kubaca. Sunny—bekas teman kantorku, pernah meminjamkannya padaku.

“Sonya, bila nanti kamu ingin membangun sebuah rumah, sebaiknya lihat dulu apakah di depan rumah ada yang menghalangi. Seperti jalan lurus, pohon besar, tiang listrik ataupun sesuatu yang kurang menarik pemandangan.”kata Sunny waktu itu.

“Memangnya kenapa, Sun?”

“Kita membangun rumah, tentu dengan maksud akan mendiaminya dalam jangka waktu yang cukup lama. Pemandangan yang indah akan membuat suasana hati terasa nyaman setiapkali kita ke luar masuk rumah. Jika manusia dapat selalu berada dalam suasana hati yang nyaman, maka upaya mencapai kesuksesan akan berjalan lancar. Setiap orang berdiam di rumahnya akan dipengaruhi oleh lingkungan dan medan magnet rumah. Lama kelamaan rumah akan seperti orangnya dan orang akan seperti rumahnya.”

“Memang ada benarnya juga ya, Sun,”

“Hindari rumah yang berhadapan dengan jalan atau disebut Tusuk Sate. Benturan jalan bagaikan sebilah anak panah, lurus menusuk jantung. Tinggal di rumah seperti ini akan didera banyak masalah dalam kehidupan. Kita bagaikan berada di sebuah perahu kecil di tengah amukan ombak besar, tak mungkin tenang.”kata Sunny menjelaskan.

Aku menghela nafas. Apa mungkin aku bicara mengenai rumah tante di saat mereka baru merayakan rumah baru mereka? Saat ini tante, om, beserta ke tiga anaknya tentu sedang menikmati keindahan rumah yang telah berhasil mereka bangun dengan hasil jerih payah mereka selama ini. Haruskah aku merusaknya dengan mengatakan rumah mereka tidak baik menurut ilmu Feng Shui? Bagaimana kalau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada keluarga Tante? Apa aku harus berdiam diri saja? Apa yang harus kulakukan?

“Sonya…!”teriakan Ibu mengejutkan aku dari lamunan. Segera ku sahuti panggilannya sambil berjalan turun ke bawah. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Di luar terdengar suara hujan disertai gemuruh petir.

“Ngapain aja di atas? Tolong ambilkan Ibu ember, atap di toko ada yang bocor.”

“Baik, Bu.”sahutku dengan segera.

***

Di suatu Minggu siang, aku dan ibu menjenguk Om Danu di rumah sakit. Menurut dokter, Om Danu sakit paru-paru. Selama berada di rumah sakit, Tante Muti terus menemani. Anak-anak tante yang empat orang, pembantulah yang mengurus. Selama lima tahun menetap di rumah mereka, Tante Muti punya anak lagi. Sekarang anak perempuannya sudah berumur dua tahun.

Sekembalinya dari rumah sakit, Om Danu aktif kembali dengan bisnis export importnya, namun tak sampai satu minggu, Om Danu merasa sakit di bagian dadanya. Setelah diperiksa ternyata paru-paru Om Danu harus disedot. Penyedotan pun berlangsung beberapa hari.

Ke luar dari rumah sakit, ada kabar yang mengejutkan! Rekan bisnis Om Danu mencurangi tender yang seharusnya telah didapatkan Om Danu. Kerugiannya mencapai ratusan juta. Kabar ini membuat kemarahan Om Danu merebak. Om Danu mengejar rekan bisnisnya ke luar negeri. Pengejaran itu tanpa hasil, malahan menyeret Om Danu kembali ke rumah sakit.

Kali ini, tante merasa perlu membawa om ke luar negeri. Hasil pemeriksaan dokter amat mengejutkan. Om Danu menderita Kanker Paru-paru stadium 3!

Tante Muti datang ke rumah menemui Ibu, wajahnya yang cantik diselimuti mendung kelabu. Ibu dan tante terlibat pembicaraan penting di ruang tamu.

“Kak Marini, aku khawatir dan tak habis mengerti. Kenapa penyakit itu bisa timbul, padahal abang tidak suka merokok? Aku curiga abang kena guna-guna. Gimana kalau kita ke tempat praktek ahli supranatural, Kak?”pinta Tante Muti pada ibu. Tante Muti memang dekat dengan ibu, karena usia ibu cukup jauh diatas tante. Padahal mereka hanya saudara sepupu. Aku mendengarkan dari belakang sambil mengaduk teh. Kudengar ibu setuju, kemudian aku meletakkan teh untuk tante di atas meja. Kupersilahkan tante minum.

Aku ikut sedih dengan raut wajah tante yang tidak biasanya. Ingatan lima tahun lalu tentang rumah Tusuk Sate membuatku bertekad dan memberanikan diri untuk bicara. Toh yang aku katakan bukan mengada-ada, bukan juga hasil karangan ataupun tahayul.

“Tante, kalau menurut Sonya, masalah bisnis dan penyakit Om Danu, bukan akibat guna-guna. Sonya mau ngomong sama Tante, tapi takut tante marah atau tersinggung,”kataku mengambil kesempatan bicara. Ibu sedang berganti pakaian di atas.

“Ya sudah, ngomong aja, Son. Nggak usah takut.”jawabnya.

“Sonya yakin, setiap orang pasti suka dengan rumah Tante. Hanya saja pintu depan rumah Tante berhadapan langsung dengan jalan. Rumah ini disebut Tusuk Sate. Bukannya bermaksud mendahului Kuasa Tuhan, tapi menghuni rumah seperti ini akan didera banyak masalah dalam hidup.”kataku mulai menguraikan apa yang selama ini mengganjal di hatiku.

“Ah…Sonya, bisa aja kamu ngomong. Belajar dari mana? Setahu tante, rumah kita adalah syurga buat kita. Selama lima tahun ini kami merasa baik-baik aja kok,”senyum Tante.

“Tan, pintu memegang peranan yang amat penting, karena bagaikan mulut manusia. Ada ungkapan mengatakan : penyakit masuk dari mulut, bencana keluar dari mulut.”sahutku lagi. Tante menyimak.

“Rumah diibaratkan sebagai badan. Bagian depan rumah ibarat panca indera. Pintu rumah ibarat mulut. Sisi kiri dan kanan rumah ibarat kaki dan tangan. Ruang tamu ibarat jantung. Kamar kecil ibarat ginjal. Dapur ibarat hati. Kamar tidur ibarat paru-paru. Ruang makan ibarat Limpa. Rumah tak ubahnya seperti sesosok manusia. Bila ada bagian tertentu dari rumah terdapat cacat, tanpa disadari akan mempengaruhi jasmani dan nasib penghuni rumah.”paparku panjang.

“Son, Tante percaya,. masalah dan penyakit om, asalnya dari Tuhan. Maksud tante bertanya kepada ahli supranatural, bagian dari upaya tante agar om sembuh.. Uang yang dilarikan teman bisnis om sudah dilaporkan kepada yang berwajib. Tante yakin semua akan baik-baik saja.”kata Tante optimis.

“Tan, sakitnya om kan telah terbukti dari adanya hasil Medical Check-Up. Kalau sakit Om tidak terdeteksi, itu baru perlu dipertanyakan secara batin. Menurut ilmu Feng Shui sendiri, lebih baik menghindar dari rumah Tusuk Sate, karena kita nggak bisa melawan arus yang deras, Tan.”aku tak kalah optimis dengan argumenku.

Tante menarik nafas. Ditatapnya aku dengan pandangan lurus ke mataku.

“Kalau Sonya berpendapat rumah tante seperti itu, tante jadi berfikir, gimana dengan kondisi rumah kalian sendiri? Mengapa Sonya masih ngejomblo di usia 35 dan sebab apa adik kamu, Handoko terlibat narkoba? Bisa tidak Sonya jelasin ke tante, itu akibat pengaruh apa dari rumah kalian?”

Plak! Aku merasakan tamparan tante. Sakit sekali! Bukan di pipiku, tapi di hatiku. Apa yang diucapkan Tante barusan amat mengejutkanku. Aku tak pernah membayangkan, itu yang akan dikatakannya! Ternyata tidak mudah mengungkapkan sesuatu yang kita anggap baik kepada orang lain. Aku menunduk, menghindari tatapan tajam tante. Kutahan air mataku yang hampir jatuh. Berbeda dengan maksudku ingin peduli pada tante, ucapan tante sendiri mirip sebuah hinaan.

Untunglah ibu telah selesai berganti pakaian, kemudian mengajak tante pergi. Akhirnya bisa memecahkan kebekuan yang tercipta antara aku dan tante. Kalau setelah hari itu tante menjauhiku, aku tak masalah. Ternyata yang membuatku tak enak hati, tante malah ikut menjauhi ibu. Ibu tidak lagi jadi teman curhatnya atau teman untuk pergi mencari pengobatan alternatif untuk Om Danu.

Aku berterus terang pada ibu tentang percakapanku dengan Tante Muti waktu itu. Buntut-buntutnya malah akulah yang disalahkan. Aku dianggap ibu sok kepintaran, seperti orang yang sudah banyak ilmu dan pengalaman hidup. Mau bilang apalagi. Aku tak melawan kata-kata ibu. Aku memang belum menikah, sedangkan Handoko sedang menjalani perobatan di sebuah pusat rehabilitasi narkoba.

Om Danu menjalani kemoterapi. Pihak kepolisian belum berhasil membekuk rekan bisnisnya, terpaksa Om Danu menjual salah satu assetnya untuk biaya perobatan. Tanda-tanda kesembuhan tak juga tampak, kanker Om Danu telah mencapai stadium lanjut! Vonis dokter tak sekeras kenyataan yang kemudian terjadi : Om Danu meninggal dunia di usia yang masih sangat produktif : empat puluh dua tahun.

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar Tante Muti telah menutup bisnis export import Om Danu, karena merasa bukan bidangnya. Sebaliknya tante banting stir ke bisnis butik yang akan dibuka di rumah. Aku tak berani memprediksikan apa yang akan terjadi nanti, bila tante tetap tidak beranjak dari rumah itu. Aku tak pernah lagi mengomentari tentang rumah tante. Tidak kepada tante, tidak juga kepada siapa pun. Aku mengunci mulutku dari hal itu. Tidak mau dianggap sok kepintaran lagi. Lagipula aku takut salah bicara.

Tidak ada komentar: