Rabu, 24 Juni 2009

Cerpen - Ompung

OMPUNG

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Hal pertama yang muncul di benaknya, saat melihat kesibukan sahabatnya dengan tiga cucunya adalah sebuah tindakan kebodohan. Pemborosan tenaga. Bagaimana mungkin di usianya yang sudah tidak muda lagi, Mak Idah masih berkutat dengan urusan anak-anak balita? Sudah dua bulan lebih ke tiga cucunya dititipkan di rumah Mak Idah. Setiap pagi diantar oleh ayah emaknya, sore sepulang bekerja baru dijemput.

Biasaya, Mak Idah selalu rutin mengikuti pengajian setiap Senin. Sejak kehadiran cucu-cucunya di rumah, Mak Idah kehilangan minat untuk pergi. Rumah Mak Idah yang biasanya rapi, tiba-tiba berantakan. Pakaian dan aneka mainan anak berserakan di kursi, meja, dan di lantai. Membuat mata tak nyaman memandang.

“Kau saja yang pergi, Mak Yati. Biar aku menjaga cucuku saja. Salam buat teman-teman yang hadir nanti,”ucap Mak Idah.

“Mak Idah, gara-gara menjaga cucumu, kau jadi nggak ikut pengajian? Bukannya kau sendiri yang bilang, di usia kita yang sudah lebih kepala lima, kita harus banyak mengikuti pengajian? Supaya hati kita selalu tenang dan keimanan kita terjaga,”sahut Mak Yati.

Mak Idah menghela nafas.

“Tak apalah, Mak Yati. Lain kali aku pasti datang. Aku kasihan sama anakku. Sudah beberapa orang pembantunya, tapi tak becus menjaga cucu-cucuku. Setiap ditinggal bekerja oleh anakku, pembantunya lebih sering menonton TV dan tidur. Anak-anak dibiarkan bermain sendiri. Pembantu terakhirnya malah tidak tahu kalau ke dua cucuku saling menggunting rambut mereka masing-masing sampai seperti itu hasilnya. Konyol bukan?”kata Mak Idah sambil menunjuk rambut ke dua cucunya.

“Memang konyol, tapi anak Mak Idah kan bisa mencari pembantu yang lain? Dulu Mak Idah sudah capek mengurus emak ke tiga balita ini sampai dia berumah tangga, setelah dia punya anak ngapain juga masih repot mengurus anak-anaknya?”kata Mak Yati seperti tak menerima apa yang dilakukan Mak Idah, tapi sahabatnya itu hanya tersenyum menanggapi. Mak Yati pergi dengan perasaan resah. Dalam hati dia bertekad akan menolak untuk diperdaya oleh anaknya sendiri, seperti yang dilakukan anak sulung Mak Idah.

Selama ini Mak Idah sudah tenang hidupnya, meski sudah menjanda selama delapan belas tahun. Ke tiga anaknya sudah menikah dan tidak tinggal serumah dengannya lagi. Setelah ada ke tiga cucunya, Mak Idah jarang ke luar rumah. Baik sekedar mengobrol bersama tetangga yang lain ataupun melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan. Seperti mengunjungi teman yang sakit. Mengikuti zikir akbar atau sholat tasbih sebulan sekali. Mengelilingi Pasar Melati dan Monza untuk mencari barang-barang bekas yang bagus dengan harga miring. Bahkan untuk melayat tetangga yang meninggal dunia pun Mak Idah tidak bisa ikut.

“Mak Idah, memangnya anakmu si Ida memberi gaji yang besar untukmu?”selidik Mak Yati di suatu kesempatan.

“Aku nggak pernah meminta gaji dari anakku. Kalau mereka memberiku uang atau makanan, kuterima. Kalaupun tidak, aku tidak apa-apa. Kalau aku yang mengurus cucu-cucuku, otomatis biaya untuk menggaji pembantu kan bisa digunakan anakku untuk keperluan lain. Biaya hidup untuk tiga anak kan lumayan besar,”jawab Mak Idah.

“Kalau aku, dibayar satu juta sebulan pun tak mau kalau harus menjaga cucu seperti kau, Mak Idah. Repot,”

Terdengar derai tawa Mak Idah.

“Bukannya menantumu yang dokter itu akan melahirkan tak lama lagi, Mak Yati? Kau lihat bedanya nanti. Kehadiran seorang cucu akan membuat hidupmu bahagia. Kau akan lebih menghormati usiamu dan kau mempunyai sebuah peran yang baru dalam hidupmu, menjadi seorang ompung,”

“Jauh-jauh hari sudah kusuruh anak dan menantuku mencari pembantu, pokoknya aku tidak mau dibebani mengurus anak bayi di rumah,”

***

Sudah sebulan lebih Mak Idah tidak berjumpa dengan Mak Yati. Sejak cucunya lahir, anak dan menantunya tinggal di rumah Mak Yati. Dari ke tiga anak Mak Yati, baru Rusdi yang mempunyai anak. Rusdi dan Merina sama-sama menyandang gelar dokter dan sebenarnya sudah mempunyai rumah dinas di perumahan angkatan laut Barakuda, tapi Merina lebih memilih pulang ke rumah mertuanya.

Setelah kelahiran cucunya, tentulah Mak Yati tidak ingin direpotkan. Dia masih bisa mengikuti pengajian. Melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia. Apalagi Mak Yati akan pensiun tak lama lagi dari mengajar di SD Inpres. Banyak waktu yang bisa dia gunakan untuk bersenang-senang di usia tuanya.

Apa yang dilihat Mak Idah kemudian, membuatnya seolah tak percaya. Di rumahnya, Mak Yati sedang menggendong cucunya, sambil menyanyikan lagu nina bobok. Bayi mungil itu tampaknya baru habis menangis, Mak Idah masih melihat sisa air matanya. Mak Idah menyapu ruangan dalam rumah. Sepertinya rumah sedang sepi. Hanya ada Mak Yati dan cucunya. Merina, emaknya bayi mungil itu tidak kelihatan. Mak Idah lebih heran, karena tidak melihat pembantu di rumah Mak Yati.

“Ke mana pembantu kalian? Katanya kau tak mau mengurus anak bayi lagi? Takut repot?”tanya Mak Idah.

“Itulah yang membuat aku kesal, Mak Idah. Beberapa hari setelah persalinan Merina, yang mana sedang sibuk-sibuknya pasca kelahiran cucu pertamaku, pembantu yang telah dipersiapkan Rusdi dan Merina dari rumah dinas mereka malah minta berhenti. Alasannya, orang tuanya sakit keras dan dia harus pulang ke kampungnya,”

“Aku sudah tidak terkejut lagi mendengar hal seperti itu, Mak Yati. Apa aku bilang? Tidak mudah menemukan seorang pembantu rumah tangga yang handal mengurus rumah sekaligus memiliki tanggung jawab pada profesinya,”

Mak Yati menarik nafas. Dia kemudian bercerita bagaimana sibuknya dia setelah ketiadaan pembantu di rumah. Dia mengurus rumah, berbelanja, menyediakan makanan untuk keluarga sampai mencuci pakaian bayi! Sampai pembantu ke dua tiba di rumah, Mak Yati berfikir dia akan lebih tenang. Tapi lagi-lagi Mak Yati dibuat kesal.

Entah bagaimana cara pembantu itu mencuci pakaian, baru saja masuk kamar mandi, tahu-tahu hanya hitungan menit sudah selesai. Entah teknik macam apa yang dibuatnya dalam mencuci. Setelah mencuci, kerjaannya memegang handphone. Tak tahu dia apa yang harus dikerjakannya, kalau tidak disuruh Mak Yati.

Ternyata kekesalan Mak Yati tidak hanya pada pembantu, tapi juga pada Merina. Menantunya dinilai sebagai perempuan manja dan cengeng.

“Percuma saja dia telah digembleng menjadi seorang dokter, kalau untuk mengobati dirinya sendiri pun dia tidak bisa. Kau tahu, Mak Idah. Di ruang bersalin, aku ikut menyaksikan bagaimana gampangnya dia memutuskan untuk menjalani caesar. Padahal kalau dia mau sedikit usaha lagi untuk mengedan, bayinya pasti akan lahir,”

“Pasca operasi, kumasakkan dia menu ikan gabus, supaya bekas operasinya lekas sembuh. Tapi jangankan dimakannya, disentuh pun tidak. Katanya dia mau muntah, nggak tahan nyium baunya. Waktu dia terserang demam tinggi beberapa hari, kerjaannya menangis. Untuk minum obat saja, mesti dicekokin sama si Rusdi. Bukannya dia tahu mengurus dirinya, apalagi bayinya!”

Mak Idah menyimak uneg-uneg yang disampaikan sahabatnya dengan baik. Bayi mungil di gendongan Mak Yati sudah tertidur pulas, setelah menghabiskan susu formulanya. Mak Yati memindahkannya ke box bayi.

“Jadi, bagaimana perasaanmu setelah mempunyai cucu?”senyum Mak Idah.

“Aku seperti punya anak lagi. Mulanya karena aku tidak tega mendengar tangisan cucuku, saat emaknya sedang terserang demam tinggi dan dia tidak bisa mendapatkan asi seperti biasa. Kupeluk tubuhnya, kutenangkan dia. Kuberikan dia susu formula. Kujaga dia sampai tertidur pulas. Setelah itu barulah aku mengerjakan pekerjaan rumah. Kau lihat rumahku sekarang jadi berantakan kan, Mak Idah?”

“Carilah pembantu lagi, nanti kau capek,”tangan Mak Idah menepuk bahu Mak Yati.

“Aku dan bapak anak-anak bergantian mengurus rumah sekarang. Mungkin lebih baik begitu, dari pada si Rusdi mencari pembantu yang semodel dengan dua pembantunya yang lalu,”jawabnya.

Mak Idah melihat jam di dinding, kemudian dia berjalan pelan menuju pintu.

“Aku pulang, Mak Yati. Cucu-cucuku sedang tidur. Oh, ya. Menjadi seorang Ompung itu, terasa capek tapi nikmat kan? Kau minta gaji berapa pada pak dan buk dokter sebulan, Ompung Parlin?”katanya dengan senyum. Ucapan Mak Idah disambut Mak Yati dengan tawanya, disertai gelengan kepalanya.

Sepulang Mak Idah, perempuan lebih separuh abad itu baru teringat kalau hari ini jadwal anggota pengajian untuk mengikuti sholat tasbih di Mesjid Agung. Mak Yati bergeming. Merina sedang tidur, suami Mak Yati sedang ada urusan ke luar rumah. Dini, anak bungsunya sedang kuliah. Kalau dia pergi, siapa yang akan menjaga Parlin?

Sebenarnya ada sesuatu yang luput diceritakan Mak Yati pada sahabatnya. Dia memang tidak bilang, kalau sekarang Parlin lebih dekat dengan dirinya, daripada emaknya sendiri. Bahkan kalau dia terbangun tengah malam dan menangis, yang dicarinya dekapan Ompungnya. Mak Yati akan membawanya ke kamarnya sendiri. Menidurkannya kembali. Rusdi dan Merina bagai sepasang pengantin baru lagi.

Mak Yati tersenyum di depan box bayi. Suatu malam dia pernah bermimpi, bulan terjatuh di pangkuannya. Sejak itu dia lebih sayang pada cucunya. Dia menganggap mimpi itu sebuah pertanda baik di kemudian hari. Semoga cucunya akan menjadi seorang laki-laki terhormat, orang berpangkat dan mempunyai masa depan yang cerah yang akan membuat Mak Yati merasa bangga sebagai Ompungnya. Ya…di suatu hari nanti.

***

Medan, 06 Maret 2009

Tidak ada komentar: