Jumat, 19 Juni 2009

Langit Masih Biru

LANGIT MASIH BIRU

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Langit memantulkan paras yang anggun, ketika iring-iringan pengantin yang membawamu, sampai di pintu rumahku. Seperti dua gumpalan mega yang menyatu di langit, aku dan kau bertemu di pelaminan. Mengikat janji sebagai sepasang suami isteri.

Akad nikah kita berlangsung khidmat, dilanjutkan ritual tepung tawar. Para kerabat dekat kita bergantian menepung tawari kita. Saling menebar doa dan restu untuk sebuah babak kehidupan baru, yang akan kita lakoni.

Adat Tapanuli Selatan pun menyusul. Kau yang berasal dari Jawa, mendapat sebuah keluarga angkat di Medan. Kau diberi gelar atau marga yang sesuai dengan marga ayah angkatmu. Di belakang namamu kemudian ada embel-embel marga.

Kita berdua diminta melakukan tortor di atas panggung, dengan gerakan yang luwes dan indah. Mulanya kau kurang merespon, tapi kukatakan padamu, bahwa acara adat tak pernah bisa diabaikan. Kau pun mengerti.

Aku dan kau mengikuti semua acara di balik baju kebesaran kita. Semua orang bilang, kita cantik dan tampan sekali di atas pelaminan. Menjelma sebagai seorang raja dan ratu sehari.

Suamiku, saat cahaya bulan tampak merona di langit, kau menyentuh dan menciumku dengan sepenuh hatimu. Kau telah memberikan aku sebuah kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan dalam waktu sesingkat apapun dalam hidupku. Caramu memperlakukan aku, membuatku serasa melambung di langit ke tujuh. Aku tak pernah sebahagia saat itu.

Satu minggu kemudian, kau memboyongku ke rumah dinasmu. Satu hal yang tak pernah kubayangkan, harus pergi dari rumah ayah dan emak. Sepanjang usiaku, baru kali ini aku berpisah dari mereka. Tak dapat kucegah kesedihanku. Kau mengusap kepalaku, menghapus butir-butir air bening di pipiku.

“Sofiya sayang, sudahlah. Jangan menangis lagi. Kalau kau masih menangis, nanti orang mengira, kau tidak bahagia menikah dengan abang. Kepindahan kita ke Rantau Prapat, bukan berarti berpisah dari orang-orang yang kita cintai. Kalau ada kesempatan, kita akan berkunjung ke Medan. Bahkan kalau perlu, kita menginap beberapa hari di sana,”

Kata-katamu terasa sejuk di sanubariku. Aku pun tak lagi memperpanjang tangisku. Aku benahi rumah kita, istana kita. Kini aku bukan lagi gadis remaja, yang harus menunjukkan kemanjaan kepadamu. Aku harus menjalankan peranku sebagai seorang isteri. Sebuah peranan, yang akan ikut menentukan perjalanan perkawinan kita.

Seperti pesan orang tuaku, aku harus pandai-pandai membawa diri. Aku harus tahu kewajiban dan tugasku. Aku tidak boleh banyak menuntut kepadamu. Perkawinan adalah sebuah dunia baru buatku dan aku tak akan menyia-nyiakannya.

Beberapa bulan berlalu, aku belum berani menagih janjimu untuk berkunjung ke Medan. Di samping kesibukanmu yang padat, ada hal lain yang mengurungkan niatku. Aku hamil! Sebenarnya aku ingin mengatakannya di depan ke dua orang tuaku sambil memeluk mereka, namun aku harus bersabar dengan hanya berbicara lewat telepon saja.

Betapa senang terdengar suara mereka, setelah mendengar berita kehamilanku. Berbagai nasehat meluncur dari mulut mereka, intinya aku harus benar-benar menjaga kesehatanku dan calon bayiku.

Hari-hari selanjutnya, tak lepas dari kemesraan kita. Hanya saja kesibukanmu sebagai seorang Kepala Cabang sebuah bank pemerintah, banyak menyita waktu. Terkadang kau pulang larut malam, karena harus bertemu klien atau karena menangani satu masalah. Kadang sepulang bekerja kau main bulutangkis dan olahraga lainnya. Tidak jarang kau juga menghadiri meeting di luar kota.

. ***

Suamiku, kau memang seorang pekerja yang ulet. Tak heran kau diangkat menjadi seorang Kepala Cabang. Dari semasa di bangku sekolah kau sudah rajin bekerja. Dari loper koran, penyemir sepatu sampai pelatih renang, pernah kau jalani. Kau juga sering memberi les privat dan berjualan kue.

Tak heran, saat ini pun kau mempunyai satu usaha sampingan selain

pekerjaanmu. Kau banyak membutuhkan suntikan dana. Kau mengambilnya dari uang

tabungan kita.

Kau jadi membatasi pengeluaran kita. Sikapmu membuatku heran. Entah kenapa kau tiba-tiba jadi pelit. Saat aku minta dibelikan sesuatu, kau bilang sedang mengumpulkan uang, untuk membangun rumah ibu di kampung. Di hari yang lain, aku minta kau membelikan keperluan ayah dan emak di Medan, kau bilang kau harus mengirimkan uang untuk saudaramu yang sedang pailit.

Bagiku tak masalah, bila kau memerhatikan keluargamu di Jawa. Apalagi kau kini telah menjadi orang yang berhasil. Tentulah orang tua dan saudaramu yang berjumlah sembilan orang, juga ingin merasakan buah dari kesuksesanmu. Sebagai isteri, aku hanya minta kau berlaku adil. Itu pesan yang sering kusampaikan padamu dan kau pun menyetujuinya tanpa syarat.

***

Suamiku, betapa bahagianya aku saat melahirkan bayi kita dengan selamat. Kau menjemput ayah dan emak di stasiun kereta api Rantau Prapat. Aku memohon agar mereka tinggal lebih lama di rumah kita. Ibu dan bapakmu tidak bisa datang ke Medan, hanya mengucapkan selamat lewat telepon.

Suamiku, entah mengapa ayah dan emak tak bisa mengabulkan permohonanku. Mereka ingin cepat-cepat pulang ke Medan. Padahal baru tiga hari dua malam di rumah kita. Rasa kangenku saja belum hilang pada mereka. Aku masih ingin terus berada di dekat mereka.

“Emak, belum juga satu minggu di rumah kami, kok cepat sekali mau pulang ke Medan? Bukannya ayah dan emak mau tinggal lebih lama di sini?”protesku.

“Sofiya, emak lupa bilang pada kalian. Di Medan lagi musim kemalingan. Seminggu lalu, rumah pak Anwar dibongkar orang. Emak yakin, kau bisa mengurus Untari dengan baik. Kalau ada apa-apa, telepon Emak ya, Nak,”

Kau pun kembali mengantar ayah dan emak ke stasiun kereta api, menuju Medan.

***

Suamiku, beberapa hari kemudian, kau mengabarkan berita terburuk yang pernah kudengar seumur hidupku! Kau dipanggil ke kantor untuk satu pemeriksaan, karena adanya pembobolan mesin ATM di bank tempatmu bekerja!

Aku tak habis mengerti, kenapa kau harus ikut menjalani pemeriksaan? Bukankah tiap bank, mempunyai petugas keamanan, dengan sistem pengamanan yang super ketat? Kalaupun terjadi kebobolan uang di ATM, apakah harus pemimpinnya yang disalahkan?

Kenyataannya kau harus terseret-seret di pengadilan. Seseorang memfitnahmu mendalangi semua ini. Benarkah, suamiku? Aku tidak mempercayai semua ini! Tidak mungkin kau melakukannya! Suamiku, kau terduduk lemah di kursimu. Hakim memutuskan, kau harus menjalani hukuman di dalam penjara selama enam tahun! Kau pun harus mengganti kerugian yang nilainya tidak sedikit!

Bicaralah, suamiku. Kenapa kau hanya diam saja menerima perangkap ini? Kau pasrah menjalani hari-harimu di dalam jeruji besi. Suatu hal yang tak pernah kita bayangkan, akan terjadi dalam hidup kita! Aku tak sanggup harus berpisah darimu. Bagaimana harus kujalani hari-hari tanpamu? Bagaimana aku mengasuh anak kita, tanpa kehadiranmu di sisiku?

Aku kembali ke Medan, dengan kesedihan menaungi hatiku. Tak kuhiraukan pandangan miring orang-orang di sekitarku, yang melecehkan dirimu! Aku hanya tidak dapat menguasai perasaanku saat mendengar sebuah kebenaran lain tentangmu dari emak dan ayah! Aku serasa tidak berjejak di bumi.

“Sofiya, di dalam mobilnya, sewaktu Panji menjemput emak dan ayah di stasiun kereta api, kami tak ubahnya orang asing dibuatnya. Kalau kami tak mengajaknya bicara, dia tak bicara. Kalau kami diam, dia lebih diam lagi! Bagaimana kami bisa kerasan tinggal di rumah kalian?”

Suamiku, aku tak menyangka, air mata emak harus ke luar, untuk suatu hal yang tak terduga dari dirimu! Satu hal yang tak pernah kutahu, ada di dirimu! Baru kusadari ada sisi lain yang engkau punya di balik sikapmu selama ini.

Mengapa kau begitu sulit mengajak bicara orang tuaku, yang datang jauh-jauh dari Medan? Mengapa kau tak perlakukan mereka sama, seperti kau memperlakukan aku, anak mereka?

Kenyataan ini bagai sebuah pukulan hebat untukku! Berhari-hari aku jadi orang yang murung dan tak bersemangat. Untunglah ada ayah dan emak yang terus menghiburku. Memintaku supaya tetap tawakkal kepada Tuhan dan menganggap itu semua sebagai ujian. Akhirnya aku bisa menguasai diriku dan mengasuh anak kita, Untari.

Suamiku, aku akan selalu berdoa untukmu, semoga kau cepat ke luar dari penjara. Aku akan selalu mencintaimu, tak kan berubah meski kita berpisah ruang dan waktu. Cintaku akan tetap sama, seperti warna biru langit di atas sana!

***

Tidak ada komentar: