Jumat, 19 Juni 2009

Kedai Ibu

KEDAI IBU

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Berkunjung ke rumah ibu, berarti berkunjung ke kedai ibu. Kedai, yang menyatu dengan bangunan rumah. Dulu, posisi kedai ibu lebih berada di depan jalan, tapi sejak jalan diperlebar, kedai ibu harus mundur beberapa meter ke belakang. Dan itu berarti luas bangunan rumah menjadi lebih pendek.

Kedai ibu sekarang sangat jauh berbeda dengan kedai ibu yang dulu, sebelum ayah meninggal dunia. Dulu, bisa dibilang kedai ibu menjadi primadona di daerah kami. Banyak warga yang membeli kebutuhan hidup sehari-hari di kedai ibu. Dari mulai gula pasir, beras, minyak goreng sampai sabun detergen tersedia. Belum lagi alat-alat rumah tangga, seperti sapu, ember, termos dan baskom plastik juga ada. Begitu juga dengan segala jenis rokok dan minuman ringan, para pembeli tinggal memilih sesukanya.

Tapi itu dulu, jauh sebelum ayah jatuh sakit dan disusul dengan kematiannya yang sangat membuat kami terpukul. Ayahku seorang pria yang memiliki pergaulan luas. Banyak dari teman-temannya yang sering mengunjunginya. Salah satunya Pak Arbain dan istrinya. Mereka memiliki sebuah toko grosir keperluan sehari-hari yang lebih besar dari milik ayah.

Kalau mereka berkunjung ke rumah kami, aku dan ke dua kakakku ikut senang. Pak Arbain dan istrinya tidak pernah lupa membawa buah tangan untuk kami. Ada-ada saja yang mereka bawa. Kadang mereka membawa makanan seperti martabak mesir, es campur, sate padang dan buah-buahan. Mereka juga pernah memberikan hadiah berupa sebuah pesawat televisi bermerk Sony untuk kami. Padahal menurut Pak Arbain, televisi itu adalah hadiah dari sebuah perusahaan baterei, karena toko Pak Arbain terpilih sebagai toko penjual baterei terbanyak.

Pernah di suatu kesempatan, istri Pak Arbain datang sendirian ke rumah. Wajahnya tidak seperti biasanya. Tak lama kemudian dia bercerita kepada ayah dan ibu mengenai masalah yang sedang dia hadapi yang membuatnya sedih. Ternyata, diam-diam Pak Arbain mempunyai seorang wanita idaman lain! Ayah dan ibu sangat terkejut, tapi tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa, karena permasalahan yang dihadapi Pak Arbain dan istrinya tidak dapat dicampuri oleh pihak lain. Meskipun ayah dan Pak Arbain teman akrab.

Tapi ayah dan ibu tidak tega setiapkali istri Pak Arbain mengadukan masalahnya. Mau tak mau ayah tampil juga di antara Pak Arbain dan istrinya. Ayah berusaha mendamaikan perseteruan mereka dan menyadarkan Pak Arbain untuk melepaskan wanita yang telah merusak kerukunan rumah tangganya. Ayah juga menasehati Pak Arbain supaya lebih mencintai istri dan anak-anaknya. Alhamdulillah, upaya keras ayah membuahkan hasil. Pak Arbain dan istrinya akhirnya saling berdamai.

Ayah adalah orang yang sangat mempercayai temannya. Ayah menganggap temannya tidak ubahnya seperti dirinya. Jadi, bila ayah adalah orang yang jujur dan tulus, maka teman ayahpun akan sama dengan dirinya. Ternyata ayah keliru. Sangat sangat keliru. Di suatu hari yang tidak pernah akan kulupakan, ayah memberitahu kami kalau dia telah dihianati oleh Pak Arbain dan istrinya.

Ada satu kebiasaan dalam bisnis ayah untuk saling barter barang dengan selembar giro. Hari itu, saat ayah akan menyetorkan giro Pak Arbain, ternyata gironya kosong. Saat ayah akan mengkonfirmasi kepada Pak Arbain dan istrinya, mereka telah menghilang dari kota Medan! Padahal mereka telah mengambil barang dagangan ayah dalam jumlah lumayan besar! Maka tak ayal lagi, ayahlah yang harus menanggung semuanya!

Ayah berusaha bangkit kembali. Ayah mengambil fasilitas kredit dari sebuah bank pemerintah. Mulanya ibu kurang setuju, karena untuk mendapatkan sejumlah pinjaman, ayah harus memberikan sebuah agunan kepada bank. Ibu takut, suatu saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ibu tidak ingin pihak Bank mengambil alih hak kepemilikan atas sepetak tanah milik ibu, warisan dari almarhum kakek. Tapi ayah berusaha meyakinkan ibu, kalau hal itu tidak akan terjadi.

Sepandai-pandainya ayah menyembunyikan perasaan terluka, ibu dapat menangkapnya. Tidak jarang ibu mendapati ayah termenung sendiri, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ibu sering menghibur ayah untuk mengikhlaskan perbuatan temannya dan berdoa untuk kelanggengan usaha kami.

Namun kian hari, kesehatan ayah seperti tersedot dengan kondisi keuangan yang mulai menurun dan cenderung tidak menentu. Hampir setiap bulan ayah harus ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Tapi tidak juga dapat menyembuhkan ayah dari sakitnya. Beberapa bulan kemudian, ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya setelah koma beberapa hari di ruang ICU.

***

Berkunjung ke rumah ibu, berarti berkunjung ke kedai ibu. Sekarang, di kedai ibu tidak terlihat lagi berkarung-karung beras dan gula pasir. Tidak juga tampak bersusun botol minyak goreng kemasan. Ember, baskom dan beberapa perlengkapan rumah tangga yang lain juga tidak ada. Di dalam rak pajangan rokok, tidak lagi ibu menyusun rokok sampai ber pak, melainkan hanya per bungkus. Lambat laun barang dagangan ibu menyusut. Di kedai, ibu hanya menjual barang eceran. Seperti sabun mandi, gosok gigi dan odol. Ibu juga mempunyai stock sejumlah rokok, beberapa jenis makanan dan minuman ringan dan beberapa barang dagangan lainnya.

Tetapi, struktur bangunan kedai ibu sudah tua. Usianya sudah dua puluh tujuh tahun. Maklumlah kalau kini banyak ditemukan kebocoran di beberapa bagian atapnya. Tak jarang, bila sedang turun hujan, air hujan menerobos masuk melalui seng yang bocor. Kasihan ibu, harus membenahinya seorang diri.

“Sudahlah, Bu. Ibu tutup saja kedai ini. Ibu tinggal di rumah Sarah. Ibu tidak perlu capek-capek harus mengurus kedai dan rumah lagi,”ujar kakak tertuaku di suatu kesempatan.

“Bagaimanapun kondisi kedai ini, ibu tetap menyayangkan kalau harus ditutup. Almarhum ayahmu pasti menginginkan kedai ini terus dibuka. Sayang, tidak satu pun dari kalian yang hobi membuka kedai seperti ibu dan ayah,”

“Bagi ibu, kedai ini seperti sebuah keajaiban, Fahmi. Meskipun pembeli yang datang membeli rokok, minuman, makanan dan barang lain dalam kapasitas kecil, tapi saat ibu menghitung omset penjualan pada malam harinya ibu seperti tak percaya dengan jumlahnya. Allah itu maha besar, Nak. Sama halnya saat ibu membesarkan kalian dengan tetes keringat dan air mata,”ungkap ibu sambil menatapku. Aku jadi terharu.

Memang, acapkali ibu menyayangkan kenapa kami tidak meneruskan kedai peninggalan ayah atau membuka kedai seperti halnya ayah dan ibu. Tapi di satu sisi ibu juga bersyukur dengan karir dan pekerjaan yang telah kami raih. Kak Sarah diterima bekerja di kantor walikota. Kak Fira diterima bekerja di sebuah perusahaan Farmasi dan aku bekerja di sebuah perusahaan swasta.

***

Berkunjung ke rumah ibu, berarti berkunjung ke kedai ibu. Hari ini, kami semua berkumpul di ruang tamu, ruang berukuran 3 x 4 setelah bangunan kedai. Hari ini ibu berulang tahun yang ke lima puluh enam. Suasana bahagia bercampur haru mewarnai ulang tahun ibu. Bayangkan, rumah mungil ibu dipenuhi anak, menantu dan cucu-cucunya!

“Beli rokok Jie sam soe sebatang,”kata seorang pembeli. Aku mengangsurkan sebatang jie sam soe padanya.

Kemudian datang pembeli lain, membeli sebungkus keripik pisang. Disertai pembeli lain yang hendak membeli sebotol coca cola dingin. Tak jelang lama, datang pula pembeli yang ingin membeli sabun mandi dan shampo. Aku meladeni mereka dengan senang.

Begitulah, semangat ibu untuk membuka kedainya tetap menyala. Dan semangat ibu untuk terus mengudang para pembeli datang ke kedainya sungguh sangat kami hargai! Sebagai kado ulang tahun buat ibu, kami memutuskan untuk merenovasi kedai ibu dan melengkapi isi kedai ibu dengan berbagai macam barang dagangan.

***

Tidak ada komentar: