Kamis, 25 Juni 2009

Ibu, aku jatuh cinta lagi ...

IBU, AKU JATUH CINTA LAGI…

Oleh : Rina Mahfuzah Nst

Tidak ada tempat yang lebih aman, dari hati seorang ibu. Tidak ada kelembutan, selain perhatian ibu. Bagai seorang prajurit yang mengalami kekalahan dalam arena peperangan, aku kembali ke rumah ibu. Aku telah gagal membina mahligai rumah tangga. Aku merasa, bila suasana hati sudah tidak dapat berkompromi lagi, untuk apa mesti bertahan? Kenapa harus takut menempuh jalan perceraian? Ini resiko besar yang harus kuterima dengan lapang dada.

Aku tahu ini semua tidak mudah. Bukan seperti membalikkan telapak tangan dan mengucap bim sala bim. Semua permasalahan selesai. Sebaliknya, dampak perceraianku mempengaruhi perasaanku. Tak bisa kupungkiri kesedihan dan kekecewaanku. Acapkali aku menangis seorang diri di dalam kamar. Entah apa yang kutangisi, aku sendiri tak mengerti.

Di depan ibu dan orang-orang di sekitarku, kuperlihatkan wajah yang selalu dilumuri senyum dan keceriaan. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku sering merasa sebaliknya. Aku merasa ada yang hilang dari diriku, dari hidupku. Bahkan di tengah keramaian, kesunyian sering menyergapku. Membuat ingatanku terlempar ke masa lalu. Masa indah yang pernah aku kecap bersama Ilham, tapi berakhir dengan cepat.

Aku jadi tak menyukai hadir di acara-acara pernikahan. Aku merasa berat sekali mau melangkah ke sana. Padahal dulunya aku tak begitu. Syukurlah ibu tak memaksaku, ia membiarkan aku memilih hanya berdiam di rumah.

Aku juga bertekad tak ingin jatuh cinta lagi. Aku akan menutup rapat-rapat hatiku. Perhatian dan kasih sayangku kuberikan hanya buat Faiz. Dia satu-satunya yang dapat mencairkan kebekuan hatiku. Merubah suasana perasaanku jadi tenang dan damai.

Dua tahun telah kujalani kehidupan sebagai Single Parent. Menjadi ibu sekaligus ayah bukan pekerjaan mudah. Banyak hal yang mesti kubenahi dalam hidupku. Bagaimana mengatur keuangan. Mengurus dan mendidik anak. Aku belajar menjadi sebuah pribadi yang dapat mengatasi semuanya dengan tegar.

Aku bekerja di sebuah perusahaan. Di saat bekerja, kucurahkan segala perhatian untuk pekerjaanku. Ia sangat berarti buatku, membuatku tidak terlalu memikirkan kepahitan yang melanda hidupku. Namun bagaimana pun letihnya menjadi seorang single parent, tak pernah terasa di saat menjalankannya, kecuali saat sudah terbaring di tempat tidur.

Untuk kesekian kali, ibu menyinggung tentang kesendirianku. Ibu ingin aku mencari seorang pendamping lagi.

“Nisa, sudah dua tahun kau hidup sendiri. Tak sepantasnya beban hidup kau tanggung sendiri. Bukalah hatimu untuk laki-laki lain, untuk menggantikan posisi Ilham yang telah hilang dalam hidupmu,”

“Rasanya Nisa trauma mau menikah lagi, Bu. Takut akan gagal lagi,”jawabku.

“Waktu mau menikah dengan Ilham, kau terburu-buru. Padahal sudah ibu ingatkan. Dia kurang tepat untukmu. Selanjutnya berhati-hatilah. Jangan sampai kehilangan tongkat sampai dua kali. Perluas pergaulanmu, ikutilah berbagai acara. Jangan hanya diam menunggu. Ingat, anakmu makin besar. Ibu khawatir, nanti dia tidak suka kau menikah lagi, karena sudah terbiasa denganmu,”kata Ibu panjang lebar.

Kupandangi anakku yang sedang tertidur pulas di sampingku. Di malam seperti ini, wanita lain mungkin sedang bercengkrama dengan suaminya. Sementara aku melewati malam dengan kesunyian. Entah kapan semua ini akan berakhir. Aku tak tahu apakah aku bisa jatuh cinta lagi, setelah apa yang kualami bersama Ilham?

. ***

puluh tujuh tahun. Perawakannya tinggi, dengan warna kulit agak gelap. Ia sudah menduda lima tahun, tanpa kehadiran seorang anak. Di sekeliling kepalanya telah ditumbuhi rambut putih. Tapi penampilannya masih parlente. Gaya bicaranya seperti layaknya lelaki muda. Mungkin karena dia orang yang sering bergaul, makanya dia mudah berkomunikasi dengan orang lain.

Ia barusan pamitan. Berlalu dari hadapanku. Tanpa kesan yang dalam di hatiku. Tadinya kami mengobrol seputar pekerjaan, anak, sampai kegagalan kami membina rumah tangga. Bang Arman, begitu aku memanggilnya, berjanji akan datang kembali ke rumah, dalam waktu dekat.

Kedatangan bang Arman memang berlanjut. Seringkali kehadirannya memancing rasa ingin tahuku, tentang siapa dan bagaimana dia sebenarnya. Sebagai wanita yang pernah dikecewakan lelaki dalam membina rumah tangga, sulit buatku untuk cepat percaya lelaki lagi. Entah kenapa bayangan buruk selalu menghantuiku.

“Nisa, ibu lihat sikap Arman baik. Tapi perlahan-lahan kamu bisa selidiki siapa dia sebenarnya,”kata ibu mengingatkanku.

“Ya..Bu. Nisa akan selalu ingat pesan ibu,”jawabku mantap.

Aku minta bantuan Kurnia, pemuda yang telah menjembatani perkenalanku dengan bang Arman. Kurnia teman Aldy, adik lelakiku yang telah menikah dan tinggal di kota lain. Dia mengenal Arman karena perusahaan mereka masih terlibat kerjasama. Tak lama aku sudah mendapatkan info lengkap perihal bang Arman.

Bang Arman bukanlah lelaki yang jujur, terutama perihal masa lalunya. Ternyata dia sudah menikah tiga kali! Masalah yang dihadapi dalam tiga perkawinannya nyaris sama. Bang Arman, pria kasar dan tidak bertanggung jawab. Satu hal yang sangat tidak mengesankan wanita, bang Arman tidak bisa melakukan hubungan intim seperti layaknya seorang suami kepada isterinya! Tuduhan perselingkuhan sudah biasa ia tujukan pada isterinya, untuk menutupi kesalahannya sendiri. Padahal isterinya meninggalkannya bukan karena berselingkuh, tapi karena sudah tak tahan hidup bersamanya.

Aku berterima kasih pada Kurnia, untuk informasi yang telah ia dapatkan. Aku tidak perlu merasa kecewa karena hal itu. Karena dari awal pun aku tak menyukai Arman. Kuanggap perkenalan itu sebagai hal yang wajar saja.

Sabtu sore aku mengajak Faiz ke mal. Sewaktu asyik melihat-lihat baju untuk se-umurannya, aku kehilangan jejaknya. Kucari dia di antara baju-baju yang bergelantungan, sambil memanggil namanya. Tak ada sahutan, apalagi ditandai kemunculannya. Kemana dia? Jantungku berdegup kencang. Keringat menetesi keningku. Hampir saja aku menangis, menyesali diri begitu saja melepaskan pengawasan terhadapnya.

“Mama…!”tiba-tiba muncul anakku bersama… Kurnia. Tentu saja Faiz sudah sangat mengenal Kurnia, karena pemuda itu sudah sering berkunjung ke rumah.

“Kurnia… Kamu ada di sini juga? Sama siapa? Pacarmu mana?”kagetku.

“Faiz, lain kali jangan jauh-jauh dari mama, sayang. Mama sampai bingung mencari kamu,”alihku pada Faiz. Kurangkul dan kuusap kepalanya.

“Aku sendirian, Mbak. Capek kerja, pengen jalan-jalan,”jawab Kurnia.

Mal di waktu sore, hari sabtu pula. Bisa dipastikan sedang ramai. Sepanjang jalan, Faiz tak lepas dari gendongan Kurnia. Kami berhenti di sebuah café. Memilih tempat duduk di sudut, menghadap ke luar jendela.

Ini kali pertama aku berada satu meja dengannya. Duduk berhadapan. Tak kupungkiri hatiku jadi sedikit berbeda. Selama ini kami tidak pernah canggung ketika harus mengobrol di rumah, tapi kali ini seperti ada yang berbeda.

Pesanan datang, kami pun makan sambil meneruskan obrolan. Kurnia bercerita, hubungannya dengan pacarnya telah berakhir. Aku terkesiap. Berarti selama ini, di saat perasaannya sedang kecewa, dia malah sibuk mencari informasi tentang bang Arman.

“Bagi saya tidak ada masalah kok, Mbak. Saya malah senang bisa membantu mbak. Lagipula yang mengenalkan bang Arman pada mbak, kan saya juga,”katanya disertai tawa kecil.

“Heran ya, Kur. Ngakunya diselingkuhi isteri, tak tahunya dianya yang tidak benar. Tidak mudah memang mencari lelaki yang benar-benar bertanggung jawab, jujur dan beriman, Kur.”

Kurnia menatapku. Baru kusadari sorot matanya begitu lembut menghujaniku. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Sorot mata itu, bagai langit sore yang dinaungi awan putih di luar mal. Entah kenapa, aku jadi sibuk mengatur denyut jantungku yang tiba-tiba berdenyut lebih kencang.

“Mbak, mbak harus yakin dan percaya. Masih banyak lelaki yang baik di muka

bumi ini, yang akan menyayangi dan membahagiakan mbak. Lupakanlah masa lalu, mbak. Buka mata dan hati mbak lebar-lebar,”ucapnya serius.

Itulah pertemuan kami yang pertama di café mal, suatu sore. Ketika senja semakin merambat, kami harus meninggalkan café. Kali ini, entah kenapa aku merasa ada harapan menggelitiki hatiku. Semoga akan ada pertemuan lagi di tempat ini, di waktu yang lain. Bersama Kurnia.

***

Tidak ada komentar: