Selasa, 08 Maret 2011

Ajarkan Aku Menulis Tentang Cinta

Dari balik buku bacaannya, Reihan mencuri pandang ke arah cewek yang sedang berdiri di depan kelas. Tubuhnya mungil, hidungnya bangir. Matanya bulat dan rambutnya yang hitam dibiarkan tergerai sampai ke bahunya. Astrina, nama gadis itu. Biasa dipanggil Ririn. Semua warga kelas sudah tak perlu mengerutkan kening lagi, jika ada makhluk luar angkasa, eh kelas lain di SMA Favorit ini bertanya tentang si manis itu.

Bagaimana dia tidak dikenal? Mulai dari sie kesenian Osis, bendahara kelas dan pengurus mading sekolah dia pegang. Dia tidak pernah ketinggalan kereta untuk hal-hal berbau kegiatan sekolah. Dia juga pandai mengatur strategi dan posisi teman-teman bila ada rencana ingin mengadakan suatu kegiatan.

“Teman-teman, dalam beberapa bulan mendatang di sekolah kita akan kedatangan dua orang penulis terkenal yang ada di Kota Medan. Sebagai tuan rumah yang baik, sudah sewajarnya kita menampilkan yang terbaik dari sekolah kita, khususnya kelas kita,”beritahu Ririn pada seisi kelas.

“Memang acaranya seperti apa, Rin? Siapa aja penulis yang akan mengisi acara?”Siska balik bertanya.

“Acaranya kita buat seperti temu ramah. Jadi, bagi siapa yang ingin bertanya dan belajar mengenai dunia tulis menulis, inilah saatnya dan disinilah tempatnya. Kita akan menghadirkan Januar Sianturi, penulis yang sudah menghasilkan ratusan cerpen dan puisi dan beberapa novel. Ada juga Liana Batubara yang kreatif menulis cerpen dan puisi di koran lokal Medan dan media nasional,”

Beberapa cewek bertepuk tangan. Mereka menyambut baik acara yang akan digelar di sekolah mereka, apalagi akan menghadirkan penulis yang sudah sering mereka baca karyanya di koran dan majalah.

“Terus apa yang akan kita persiapkan untuk itu, Rin?”tanya Wina antusias.

“Nah, disinilah perlunya kita berembuk untuk bisa menghadirkan acara yang mengandung unsur seni, tapi tetap mencerminkan jati diri kita sebagai pelajar. Menurut kalian apa saja ‘pertunjukan’ yang bisa kita tampilkan nanti?”

Reihan masih duduk di bangkunya di kursi paling belakang. Teman-temannya sedang sibuk memberikan ide-ide mereka. Ada yang mengusulkan baca puisi. Ada yang menawarkan diri menjadi panitia. Ada juga yang ingin menari. Main drama dan sebagainya. Ririn tetap antusias mendengarkan semua aspirasi dari teman-temannya.

“Bagaimana kalau kau membaca puisi, Rei? Kau bisa kan? Sedari tadi kau hanya diam saja di bangkumu?”bagai seekor kucing yang tersiram air dingin, pertanyaan Ririn membuat Reihan terkejut. Sekuat tenaga dia berusaha menetralkan sikapnya.

“Ehm, puisi ya, Rin? Aduh, seumur-umur aku belum pernah baca puisi. Aku takut nanti malah malu-maluin. Bagaimana kalau yang lain aja, Rin?”jawaban Reihan yang jujur malah ditanggapi teman-temannya dengan nada protes.

“Tidak ada salahnya mencoba, Rei. Pada dasarnya kita mampu melakukan sesuatu, kalau kita mau mencobanya dan tidak mengenal kata menyerah,”

Mulut Reihan masih separuh terbuka, saat Ibnu menyusul ke bangkunya. Di depan kelas, Ririn mulai sibuk mencatat agenda kegiatan mereka dan nama-nama calon pengisi acara beserta nama panitia.

“Kok Ririn bisa nyuruh aku yang baca puisi ya, Ib? Macam mana aku tampil di panggung membaca puisi nanti. Aduh, tolong aku, Ib,”kata Reihan sedikit memelas.

“Belajarlah kau sama si Ririn. Kapan lagi kau bisa dekat dengan cewek yang kau taksir kalau tidak sekarang?”jawab Ibnu. Reihan semakin melongo. Bagaimana Ibnu tahu kalau dia menaruh hati pada Ririn?

“Alah, nggak usah pura-puralah. Aku bisa menangkapnya dari sinar matamu. Dari raut wajahmu. Aku mengerti perasaanmu,”

“Tapi kau bisa jaga rahasia kan? Jangan bilang siapa-siapa ya,”

Ibnu terkekeh sambil berlalu dari kelas II-A. Untung Ririn dan teman-teman tidak mendengar, karena sudah beranjak ke kantin. Reihan masih tidak percaya kalau Ririn memberinya tugas berat ini. Padahal Ririn pasti tahu, kalau Reihan berbeda dengan dirinya. Tidak seperti Ririn, dia cenderung jarang mengikuti kegiatan di sekolah. Reihan juga tidak ada posisi di kepengurusan Osis.

Besoknya, Ririn mulai menyerahkan sebuah puisi ke tangannya. Ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri. Meski dengan perasaan gusar, diterimanya juga. Di rumah, dia mulai berlatih. Di depan cermin besar di dalam kamarnya dia berdiri memegang puisinya.

Reihan mencoba berdeklamasi, layaknya seorang pembaca puisi handal. Reihan berhenti. Jangankan orang lain mendengar, dia sendiri saja tidak tertarik dengan gaya deklamasi yang dia tampilkan. Reihan malah terpantul sosok tubuhnya sendiri. Bagaimana dia akan menutupi penampilannya di atas panggung, dengan pipi ditumbuhi beberapa jerawat batu seperti ini? Apakah para penonton akan mendengarkan pembacaan puisi darinya atau akan memperhatikan jerawat di pipinya? Reihan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Lelah memikirkan kekurangan dirinya, Reihan pun jatuh tertidur.

***

“Jadi cowok mesti beranilah, Rei. Justru dengan kekurangan yang ada pada dirimu, kau tutupi dengan kelebihanmu. Kalau kau terus-menerus memikirkan kekuranganmu, kapan kau akan terlepas dari rasa takutmu?”

Reihan tercenung. Ternyata bisa juga Ibnu mengucapkan kata-kata bijak. Tiba-tiba dia merasa mendapat semangat baru. Dia merasa tertantang untuk tampil dengan lebih baik. Setiap hari dia berlatih di depan cermin besarnya. Semua rasa takut ditelannya. Dia tidak saja ingin tampil prima saat baca puisi. Dia juga ingin punya satu tiket menuju hati Ririn!

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Sebuah panggung dan atribut acara telah dipersiapkan oleh panitia. Pergelaran pertama ditandai dengan sebuah tarian serampang dua belas dari teman-teman cewek, gabungan dari beberapa kelas. Disusul dengan pembukaan oleh moderator, yang dipegang Ririn. Kata sambutan mengalir dari wakil kepala sekolah. Setelah itu nama Reihan dipanggil untuk membacakan puisinya.

Apapun yang terjadi, inilah saatnya dia menampilkan apa yang ada pada dirinya. Semua mata tertuju padanya, khususnya Ririn! Reihan berdiri tegak. Tangan kanannya memegang mic. Tangan kirinya bergerak mengikuti puisinya.

MALAM

Oleh : Sutardji Calzoum Bachri

Angin menepuk bukit bukit yang terbaring

Tidur tidurlah

Dan pepohonan berbuai kantuk

Tangkai-tangkai merunduk

Tiarap dalam kelam

Dan beberapa kelepak elang berputar

Mencari rimbun kantuk yang paling lelap

Kemudian langit diamlah

Jadi kelabu dipukau kelam

Dan kau menengadah

Mencari bulan atau bintang atau celah di langit

Tempat lewat keabadian

Dan kau hanya menengadah setengah

Dan terpaksa senang pada lelampuan jalan yang memusingkan

Matamu dengan gerogotan binatang malam

Dan tiba-tiba kau terpikir

…. Mengapa tak kuambil saja batu

dan melempar segala lampu-lampu yang memusingkan

siapa tahu dalam pekat gelap

cahaya yang paling sekarat di langit

akan dapat disimak

menunjukkan arah keabadian

Intonasi suara diaturnya sedemikian rupa. Begitu juga mimik wajahnya. Reihan seakan sudah menyatu dengan puisi yang dibacanya. Alhasil, tepuk tangan meriah terdengar di penghujung penampilannya.

Kini, mata teman-temannya tertuju pada Januar Sianturi. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menceritakan riwayat kepenulisannya, sehingga bisa seperti sekarang.

“Adik-adik, percayalah. Dengan menulis kalian bisa menguasai dunia. Mulanya saya menulis hanya menyalurkan hobi. Tidak lebih, tapi semakin lama saya merasa dengan menulis hidup saya lebih berarti. Saya bingung kalau tidak menulis. Mungkin saya juga sakit bila tidak menulis. Maka, menulis menjadi jalan hidup saya. Profesi saya. Saya ingin berkeliling dunia dengan menulis. Ayo, mulai sekarang galilah potensi yang ada pada diri kalian. Jangan takut mencoba. Jalan terbentang di depan kalian,”tepuk tangan riuh terdengar. Beberapa siswa ingin melayangkan pertanyaan kepada nara sumber.

“Katanya menulis itu gampang. Saya seringkali tidak bisa mewujudkan apa yang ingin saya tulis, saat berada di depan komputer. Pikiran saya seperti buntu. Tidak tahu apa yang mau saya tulis,”kata Siska melepas uneg-unegnya.

“Kalau begitu, jangan hanya duduk diam. Ke luarlah. Cari ide-ide yang bisa adik temukan di mana saja. Makanya adik perlu memiliki sebuah buku catatan. Setiap ada hal penting atau kejadian tertentu, adik bisa mencatatnya dahulu di buku itu. Lama kelamaan buku itu akan penuh dengan catatan. Barulah adik kembangkan di dalam komputer,”kali ini giliran Liana Batubara menanggapi. Siska manggut-manggut tanda mengerti.

Tanya jawab terus mengalir di antara para siswa dengan nara sumber. Tampaknya acara temu ramah kali ini mendapat sambutan yang luar biasa dari semua siswa. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan bertemu penulis top Kota Medan. Gelar kreatifitas SMA Favorit kembali hadir dengan pementasan sebuah drama berdurasi pendek. Mengetengahkan cerita tentang kekerasan di sekolah yang diibaratkan seperti monster. Semua hadirin bertepuk tangan memberikan applaus kepada para pemain.

***

“Penampilanmu kemarin bagus, Rei. Aku belum pernah melihat kau seperti itu sebelumnya,”puji Ririn sebelum bel masuk kelas berbunyi.

“Makasih, Rin. Itu juga berkat dukungan kau dan teman-teman. Rasa percaya diriku jadi lebih tinggi sekarang,”jawab Reihan. Ririn tersenyum.

“Rin, koleksi tulisanmu pasti sudah banyak. Aku juga ingin menulis sepertimu. Ajarkan aku menulis, Rin,”ucapan Reihan mengalir bagai air. Ririn tersipu.

“Aku memang menulis dari SMP, tapi baru berani mempublikasikannya di SMA. Jadi tulisanku masih sedikit. Tulis aja apa yang mau kau tulis, Rei. Gerakkan hatimu,”

Bel pelajaran pertama berbunyi. Itulah percakapan yang mengawali keakraban mereka. Ririn menunjukkan kliping tulisannya ke Reihan. Ada puisi, cerpen dan artikel remaja. Ririn juga meminjamkan buku panduan menulis untuk Reihan.

“Rei, kalau ingin menulis dengan baik, syaratnya harus banyak membaca. Aku yakin, kalau kau mau belajar dan berlatih, kau juga bisa seperti aku. Bahkan bisa seperti Januar Sianturi dan Liana Batubara!”kata Ririn.

Maka, Reihan pun ingin menulis apa yang bergolak dalam hatinya. Diambilnya kertas dan pulpen. Terbayang wajah Ririn. Senyumnya. Rambutnya. Reihan ingin mengungkapkan bahwa apa yang ada di dalam diri Ririn dia suka dan dia mulai merasa aneh bila sehari saja tidak bertemu Ririn.

“Rin, ajarkan aku menulis tentang hati, perasaan dan cinta, karena aku masih sulit mengungkapkannya dengan kata-kata,”entah kenapa kata-kata itu keluar dari mulut Reihan.

Ririn tersipu. Angin menyibak rambutnya. Daun-daun randu di pekarangan sekolah ikut bergoyang.

“Kapan kau mulai mengajarkan aku, Rin?”

Reihan masih menunggu, tapi Ririn masih saja diam tak mau bicara. Dia malah sibuk mengatur denyut jantungnya yang tiba-tiba saja tidak beraturan.

***

Tidak ada komentar: