Selasa, 08 Maret 2011

TAMU

Ada seekor kupu-kupu masuk ke dalam ruang tamu rumah kami, kemudian hinggap di atas gordyn jendela. Kupu-kupu itu berwarna coklat, tubuhnya mungil. Tiba-tiba dia bergerak, terbang mengelilingi ruang tamu, hinggap di atas lampu. Mungkin dia tidak merasa nyaman disitu, lalu dia beraksi lagi memperlihatkan kelihaiannya terbang. Kini dia berputar-putar tepat di atas kepala kami.

“Ita, mungkin akan datang seorang laki-laki ke rumah ini, untuk melamarmu. Soalnya sedari tadi dia overacting terus di depan kita,” kata Kak Dina, matanya masih lekat ke arah kupu-kupu itu. Kini hinggap di atas lemari.

“Kakak kayak peramal aja. Kupu-kupu kok diibaratkan laki-laki yang akan melamarku? Biarkan saja kupu-kupu itu, Kak. Lagian aku juga belum punya pacar,”

“Siapa tahu firasat kakak benar, Ta. Mungkin masalahmu hanya kurang membuka diri. Ingat, umurmu tidak lagi muda, Ta. Kau tidak ingin begini terus kan?”

Aku tidak menjawab, tapi menatap sekilas pada kupu-kupu itu. Tiga puluh enam, usiaku sekarang. Memang bukan usia yang muda lagi. Kalau aku sudah menikah, mungkin saat ini aku sudah punya anak-anak yang lucu dan pintar. Mungkin ada yang sudah sekolah, tapi ada juga yang masih kecil.

“Ya..mudah-mudahan firasat kakak tidak meleset, aku juga nggak ingin begini terus, Kak,” jawabku mantap. Kak Dina menganggukkan kepalanya.

***

“Siapa perempuan itu? Rasanya aku pernah melihat wajahnya sebelumnya, tapi kapan dan di mana ya?” pikirku. Perempuan paruh baya itu duduk di salah satu kursi di ruang tamu dan Kak Dina sepertinya sangat senang menyambut kehadirannya.

“Ta, kau ingat kupu-kupu yang datang tadi malam? Ternyata kita kedatangan tamu jauh ya sore ini,” ujar Kak Dina riang.

“Hallo, Ita. Apa kabar? Baru pulang kerja? Anakmu sudah berapa?” tanya sang tamu memberondongku.

Aku tidak menjawab, tapi langsung mendekatinya dan menjabat tangannya. Masih juga aku belum mengingat siapa dia sebenarnya. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya tentang anak? Kenyataannya menikahpun aku belum!

“Memangnya kau tidak mengenal dia?” tanya Kak Dina, kusambut dengan gelengan kepala. Aku memang tidak ingat siapa dia.

“Kau sudah sering melihat foto-foto kami, saat kakak berkunjung ke rumahnya di Jakarta,” lanjut Kak Dina. Foto-foto Kak Dina di Jakarta? Tapi aku belum pernah melihat perempuan paruh baya ini di dalam foto.

“Dia, Mariani. Istri almarhum Letkol Mustafa. Teman akrab kakak waktu di SMA 5 Medan,” kata Kak Dina menerangkan. Seketika aku terpana. Tidak percaya kalau perempuan di depanku ternyata Kak Mariani yang pernah satu SMA dengan Kak Dina.

“O, ya? Benarkah dia, Kak Mariani?” kagetku dalam hati. Sebab Kak Mariani yang pernah kulihat dalam foto sangat jauh berbeda dengan perempuan ini.

Yang kulihat saat ini adalah perempuan bertubuh ringkih. Beberapa bintik hitam menghiasi wajahnya. Rambutnya tidak tersisir dengan rapi, sebagian besar tampak acak-acakan. Dia memakai baju atasan warna ungu yang agak pudar dan rok warna kuning kecoklatan. Sungguh, warna yang tidak nyambung.

Berbeda sekali dengan wajah yang pernah kulihat di foto. Dalam foto di Taman Mini Indonesia Indah itu wajahnya cantik. Pipinya putih berisi, dengan sapuan make up tipis. Pakaiannya rapi dengan warna yang cerah. Kala itu, ada sebuah selendang tipis yang menutupi rambutnya.

“Oh, iya. Aku ingat. Kakak yang memberikan sebuah guci cantik dan beberapa asbak unik untuk Kak Dina kan? Guci dan asbak itu benar-benar dijaga oleh Kak Dina. Tapi setelah Kak Dina punya cucu, asbaknya pecah tiga dan tinggal dua buah,” kataku. Perempuan itu tertawa. Nampaklah deretan giginya yang sepertinya sudah jarang disikat.

“Din, dulu kita kan punya teman yang pernah hanyut waktu mandi di sungai. Siapa ya namanya? Oh, Norma. Untung dia masih bisa diselamatkan si Butet. Di mana ya dia sekarang tinggal?” Dia dan Kak Dina tertawa mengenang peristiwa itu.

Sepertinya dalam beberapa menit bersamanya, aku membuat kesimpulan kalau berbicara dengannya tidak nyambung. Kita bicara tentang “A”, tapi dia bicara tentang “U”. Kulihat dia juga sering menerawang. Entah melamun atau sedang berfikir.

Pada saat makan malam, kami mengajaknya makan. Dia makan sampai nambah dua kali. Dia bilang, masakan Kak Dina enak sekali. Di rumah, dia dan ke dua anaknya tak pernah makan seenak ini. Mereka lebih sering makan mie instan dan telur. Mereka sudah lama tidak makan ikan kakap sambal dan gulai daun ubi tumbuk seperti yang dimasak Kak Dina hari ini. Aku ikut prihatin mendengarnya.

“Setelah kepergian almarhum suamiku, nyaris aku tidak bisa melakukan apa-apa, Din. Aku mengalami depresi selama beberapa tahun. Pelan tapi pasti semua aset terjual dan kami pindah ke Medan. Aku hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suamiku sekarang. Selain itu aku tak bisa apa-apa. Aku seperti layaknya anak-anak yang tidak bisa diajak berfikir tentang sesuatu.”

“Kau tidak boleh berputus asa, Mar. Hadapilah semua ini dengan tegar. Kau harus bersyukur, kau masih diberi dua anak laki-laki yang menyayangimu. Seharusnya merekalah alasanmu untuk terus bertahan,” jawab Kak Dina.

Perempuan itu tak menyahut. Lagi-lagi dia menerawang dalam diam.

Kehidupan memang penuh dengan rahasia. Siapa sangka Kak Mariani yang seorang istri Letkol berubah menjadi perempuan yang tak punya semangat hidup. Dulu hidupnya senang. Makan enak, tidur nyenyak, mau pergi ke mana-mana pakai mobil. Mau shopping barang-barang yang disukai tinggal pilih. Di rumah dia tinggal perintah pada pembantunya. Tapi sejak ditinggal suaminya, hidupnya bagaikan tak berjejak di bumi.

“Barangkali dia tidak menyisakan sebuah ruang di hatinya untuk satu keyakinan, bahwa hidup tidak selamanya menyenangkan. Adakalanya cobaan datang tanpa pernah memberikan sebuah tanda.” Bisik hatiku sambil melirik padanya.

“Kapan ya aku bisa kembali ke Jakarta lagi? Menjalani kehidupan yang menyenangkan seperti dulu lagi? Ke Jakarta aku kan kembali..” tiba-tiba terdengar senandungnya. Aku terpana melihat ke arahnya.

Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke Jakarta? Sedangkan hidupnya sekarang hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suaminya. Apalagi ke dua anak laki-lakinya tidak jelas pekerjaannya.

“Ke Jakarta aku kan kembali…”

***

Seminggu kemudian, dia datang lagi ke rumah. Kini, membawa sebuah bungkusan. Tapi bukan buah tangan untuk Kak Dina. Entah apa.

“Apa aku mengganggumu?”

“Tidak,”

“Tapi baru seminggu yang lalu aku ke rumahmu,”

“Tidak ada masalah bagiku. Lagipula, aku kan yang menyuruhmu sering-sering ke rumahku? Masuklah kau,”

Dia duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di sebelahnya. Hari sudah menjelang senja. Itu berarti dia akan pulang malam lagi seperti seminggu lalu, tapi dia tidak merasa khawatir sedikitpun. Dia merapikan rambutnya yang agak susah diatur.

“Kau lagi ngapain, Din? Biar kubantu. Menyapu atau mencuci piring kotor,” katanya menawarkan diri. Hanya sebatas omongan, tapi tidak benar-benar ada tindakan.

“Nggak usah. Kau kan tamuku,” jawab Kak Dina.

Ketika aku meletakkan secangkir teh dan sepiring biskuit di meja, perempuan itu memandangku dengan pandangan yang ramah. Lalu dia berkata :

“Makasih ya, Ta. Kakak sudah merepotkan,” alamak, ucapannya barusan mengeluarkan aroma yang kurang sedap dari mulutnya. Cepat-cepat aku beranjak, sambil mengatakan kalau aku dan Kak Dina sama sekali tidak repot dengan kedatangannya.

“Ini kain songket, telekung, rok dan accessories. Aku tak pernah memakainya lagi, tapi masih bagus. Aku ingin menjualnya, terserah kau mau bayar berapa, Din,” katanya dengan wajah memelas. Dia juga menatapku penuh harap.

Seperti Kak Dina, aku juga menolak dengan halus. Aku hampir-hampir tidak pernah memakai kain songket dan rok. Aku lebih sering memakai celana panjang dan kemeja. Sementara telekung dan accessories milikku sudah banyak, aku belum membutuhkannya lagi.

“Tolonglah, Din. Persediaan beras dan mie instan di rumahku sudah habis. Dari pagi aku ke luar dari rumah, numpang makan di rumah kerabatku, tapi tidak ada yang mau meminjamkan uangnya padaku. Padahal kalau aku sudah ambil pensiun nanti, akan kubayar hutangku,” katanya.

Mungkin karena tak sampai hati, Kak Dina memberikan sejumlah uangnya pada sahabatnya itu. Kak Mariani menerimanya dengan wajah gembira, sambil mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum pulang, dia meminta sesuatu lagi dari Kak Dina.

“Din, kalau boleh aku minta beberapa mangkuk berasmu dan laukmu hari ini untuk makan malam anakku. Kau tidak keberatan kan?”

Kak Dina terdiam sebentar, lalu menggeleng. Di rumah ini kami memang hanya tinggal berdua. Ke tiga anak Kak Dina yang sudah menikah tinggal di rumah yang berbeda dengan kami. Tentu tidak menjadi masalah bagi Kak Dina memberikan beras maupun sisa lauknya kepada Kak Mariani. Dia bukan hanya sekedar tamu, tapi sahabat lama yang sudah lama tak bertemu.

“Ita, tolong hubungi no handphone ini. Kakak mau minta dijemput sama Iwan, anak sulung kakak,” katanya sambil mengangsurkan secarik kertas padaku. Aku menerimanya dan setelah hubungan tersambung, kuangsurkan handphoneku padanya.

Iwan datang untuk menjemput ibunya, saat jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sebenarnya aku ingin segera tidur, karena besok akan mengikuti meeting pagi di kantorku. Tapi Kak Mariani menahanku, dengan alasan ingin mengenalkan aku pada putranya itu. Aku tak bisa mengelak. Perkenalan itupun berlangsung seadanya. Wajar, tapi tidak dengan Kak Mariani.

“Ita, kalian kan sama-sama belum menikah. Siapa tahu kalian bisa cocok. Kakak udah pengen sekali punya cucu seperti kakakmu,” hampir copot jantungku mendengar ucapannya, tak menyangka dia punya ide seperti itu terhadapku!

“Ada-ada saja kakak. Usiaku kan sudah tiga puluh enam,” jawabku cepat.

“Zaman sekarang banyak orang menikah tidak mempermasalahkan soal umur, Ta. Asal sama-sama suka ya sudah,” balasnya dengan mantap.

“Jadi si Ita tutur apa sama kau nanti, Mar? Ibu atau namboru?” gelak Kak Dina. Aku langsung pamit ke belakang, tak ingin lagi memperpanjang pembicaraan itu.

Aku benar-benar heran dengan jalan pikiran Kak Mariani. Sepertinya perilakunya aneh. Apakah penurunan tingkat ekonomi dalam hidupnya telah merubah semuanya?

***

Tiga hari kemudian Kak Mariani muncul lagi. Penampilannya makin tak karuan. Wajahnya nampak semakin gelap, pakaiannya minus kerapian. Dia datang di saat langit memantulkan warna senja yang indah. Tapi kabar yang disampaikannya sebaliknya!

“Pihak PLN mengeksekusi meteran listrik kami. Rumah kami gelap gulita. Aku tidak punya uang sepeserpun untuk membayarnya. Sudah enam bulan pensiun suamiku dipotong untuk membayar hutang di Bank. Waktu itu kami mengagunkan surat pensiunnya, untuk modal usaha anakku. Tapi karena anakku tidak mempunyai pengalaman, usaha itu hancur. “

Apa? Listrik di rumah Kak Mariani dieksekusi pihak PLN? Dan surat pensiun suaminya diagunkan ke Bank?

“Maaf, Mar. Kali ini aku tidak bisa membantumu. Pada dasarnya kita sama-sama hidup dari pensiunan suami. Suamimu Letkol dan suamiku seorang guru sekolah dasar. Kita sama-sama telah kehilangan orang yang sangat kita kasihi. Tapi aku dapat menyikapinya dengan tegar dan penuh percaya diri. Tidak seperti kau. Hanya terpaku pada masa lalu yang pernah kau rasakan. Hidup terus berjalan, meski tanpa seorang suami. Anak-anakku tumbuh dengan kedewasaan berfikir, sedangkan anak-anakmu biasa dimanja, sehingga sampai sekarang tidak bisa lepas darimu. Padahal mereka anak laki-laki, tidak sepantasnya kau yang memberi makan mereka. Maafkan aku tak bisa membantumu.” buru-buru Kak Dina beranjak ke kamar. Aku yakin, Kak Dina terpaksa melakukannya pada sahabatnya ini!

Perempuan itu menangis berurai air mata. Aku tak tega melihat keadaannya. Kuangsurkan sejumlah uang untuknya. Dia menggenggam tanganku. Air matanya jatuh menimpa jariku. Lalu dengan tersendat dia bilang :

“Ita, suatu saat kakak akan hidup senang lagi. Kakak akan membalas kebaikanmu dan Dina. Dulu, almarhum suami kakak pernah mengungkapkan kalau dia menyimpan harta karun di suatu tempat rahasia. Dia belum sempat mengangkatnya dari dasar laut, karena keburu dipanggil Tuhan. Doakan ya suatu hari kakak akan menemukannya, Ita.”

Apa lagi ini? Pikirku. Tapi tak sampai kutanyakan padanya, karena dia keburu pergi. Berhari-hari setelahnya, berminggu-minggu kemudian, bahkan sampai angka tahun berganti kutunggu kehadirannya untuk bertanya, tapi dia tak pernah kembali lagi. Tak pernah! ***

Tidak ada komentar: