Selasa, 08 Maret 2011

Lagu Biru Buat Ayah

Ada dua tempat yang paling tidak ingin kukunjungi. Pertama, rumah sakit sebagai tempat penampungan bagi orang-orang yang sakit terlepas dari jenis penyakit dan umur penderitanya. Dan kedua, pasar sebagai tempat bertemunya para penjual dan pembeli yang konsekuensinya melahirkan suasana yang tidak menentu.

“Lucunya” aku berada di rumah sakit sekarang (kalau memang aku boleh memilih kata itu walau sejak empat hari yang lalu aku belum tertawa sederai pun). Dan untuk sementara harus kuredam keinginan untuk mengalergikan rumah sakit. Karena kini, ayahku tengah berjuang melawan penyakit “jantung” di ruang ICU rumah sakit ini.

Tidak ada yang dapat kulakukan di ruang tunggu ini. Diantara orang-orang berwajah gelisah dan penuh penantian sepertiku. Mataku yang kurang tidur menangkap riak kegembiraan bagi pihak yang berhasil membawa pulang keluarganya yang semula sakit dengan selamat. Tak luput penglihatanku melihat kesibukan para suster yang menangani pasien yang baru sampai. Sama sibuknya dengan para dokter yang kemerut di keningnya membikin perasaan was-was kami yang menanti kabar. Aku bisa melihat semua itu dengan pikiran yang melayang bagai daun dipermainkan angin.

“Tidaaak! Jangan tinggalkan kami, Yah! Bukankah Ayah masih ingin melihat kami mengenakan toga? Ayah tidak boleh pergiii,”

Deg! Raungan seorang gadis yang menghantarkan jenazah sang Ayah menuju mobil ambulance sempat membuat korsleting jantungku. Perih sekali jerit tangisnya. Orang-orang di sekelilingku menatap dengan iba.

Aku memijit keningku yang terasa memberati kepalaku. Dengan susah payah kuajak berdamai hatiku yang mulai kecut. Aku tidak ingin hatiku terperangkap di tempat ini. Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah selatan rumah sakit. Di hadapan aneka ragam bunga dan sebuah kolam ikan dengan air mancur di tengahnya aku berhenti. Aku menghela nafas, berada di tempat ini membuat hatiku mulai tenang.

“Hei, kunyuk ! Ngapain kau di sini?”seseorang menepuk pundakku. Aku membelalakkan mata begitu melihat siapa yang telah mengejutkanku.

“Ah, kau rupanya. Kau sendiri ngapain, brur?”aku balik bertanya.

“Kau duluan lah yang jawab,”ia bersandar di pilar. Mau tak mau aku tersenyum melihat mimik wajahnya.

“Ehm, Ayahku, sejak empat hari yang lalu nginap di ruang ICU, Kat,”

“Oooo,”angguknya sambil menatapku. Lalu memandang ke arah lain.

“Kau sendiri belum menjawab pertanyaanku,”protesku. Katrin terdiam.

“Heh, ayam tetanggaku banyak bengong mati lo, Kat,”tawaku disambutnya dengan hangat.

“Sama. Ayahku juga baru meninggal setengah jam yang lalu.”

Deg! Untuk kedua kalinya aku merasa jantungku korsleting. Bedanya kini Katrin mengucapkan itu seolah bukan dia yang tengah berduka cita. Hebat!

“Kau mengira aku bergurau kan? Kau pikir aku senang Ayahku mati? Walaupun aku dan Ayah sering bertengkar, aku tak pernah bermimpi jadi anak yatim begini, Priti ! Kau ngerti kan?”

Dengan kesedihan yang dalam kupeluk tubuhnya yang terguncang hebat. Selama ini aku mengenal Katrina sebagai gadis yang badung, suka bikin onar dan agak cuek. Kontroversial sekali denganku yang suka berada di perpustakaan dan agak pendiam. Tapi kini ia tengah berjuang melawan rasa kehilangan yang amat sangat atas kematian Ayahnya.

“Sudahlah, Kat. Doakan saja Ayahmu agar mendapat ketenangan di alam baka. Karena sebagai insan yang masih diberi kesempatan hidup, kita hanya mampu mendoakan yang telah pergi,”aku mencoba mencari kalimat untuk meredakan kesedihan Katrin, tapi lebih tepatnya kata-kata penghibur untuk hatiku sendiri.

Katrin memandangi wajahku yang tenang tanpa riak.

“Kau memang benar, Priti. aku harus berdoa untuk Ayah,”tiba-tiba ia sudah melangkah buru-buru.

“Hei, mau ke mana kau?”

Katrin menoleh lagi ke belakang.

“Aku kan sudah bilang, Priti. aku mau berdoa untuk Ayahku. Oh, ya. Semoga ayahmu cepat matinya, ya,”

“Ha!”hampir kulempar dia dengan batu dekat kolam.

“Iya, semoga penyakitnya cepat mati, gitu. Dan Ayahmu bisa sehat seperti sedia kala,”tawanya.

“Huh, sompret!”kulempar juga dia dengan kerikil. Katrina menghindar dan berdadah-dadah padaku. Sialan!

Dengan perasaan yang masih tak menentu aku kembali ke ruang tunggu.

***

“Priti, kau baik-baik aja kan?”seseorang mengguncang bahuku. Aku terlompat dari tempat dudukku dikejutkan begitu.

“Kau melamunkan apa, Prit?”Katrin duduk di dekatku. Tawanya kemudian terdengar. Aku mengucek-ucek kedua mataku.

“Memangnya kenapa?”tanyaku bego.

“Tuh, esmu mencair karena belum disentuh. Itu berarti, selama aku ke toilet tadi, kerjaanmu melamun aja,”

Aku mengerutkan kening. Belum sepenuhnya sadar apa yang tengah terjadi.

“Nah, baru aku tahu kenapa kau melamun, Prit,”katrin menepuk tanganku. Aku mengikuti pandangannya ke arah meja kedua sebelah kiri dekat pintu café ini. Seorang Ayah menyuapi anak gadisnya es krim.

“Aku yakin, keakraban mereka yang membuatmu melamun,”

Aku memandang Katrin lalu berfikir tentang sesuatu. Astaga, baru aku ingat. Bahwa sejak seorang ayah dan gadis muda itu hadir di café yang sama denganku, aku jadi teringat kembali ke masa laluku. Karena keakraban mereka menetaskan rasa iri di hatiku.

“Priti, Priti. Kau ini bagaimana. Biarlah semua itu jadi kenangan manis di hatimu. Kau sendiri pernah bilang, sebagai insan yang masih diberi kesempatan untuk hidup, kita hanya mampu mendoakan “ayah” yang telah pergi untuk selama-lamanya. Lalu mana buktinya? Sudah keseringan kau kutegur melamun karena adanya adegan seperti itu. Ah, sudahlah Priti. Kita isi saja hidup ini dengan sesuatu yang berarti agar tidak kalah dengan mereka yang masih punya ayah,”Katrina menyeruput esnya.

Aku menatapnya seolah bukan dia yang bicara sedewasa itu. Sejak ayahnya meninggal, kebadungannya lenyap berganti dengan sifat-sifat yang baik. Aku tersenyum mengerti kepada sahabatku yang senasib itu.

***


Tidak ada komentar: