Rabu, 01 Juni 2011

Di Sebuah Becak Mesin

“Sampai di Medan nanti, kita naik becak mesin ya, Sel,” ucap perempuan paruh baya di sebelahku. Aku seolah tak percaya mendengar inisiatif yang dilontarkannya.

Sejak kepergian suaminya delapan tahun lalu, Kak Masda tidak ingin pergi ke mana-mana. Kalau kemarin suamiku tidak ikut membujuknya, dia tidak akan sampai ke Balige. Sampai di Balige, Kak Rani yang notabene kakak ipar kami kemudian membujuknya pula untuk menikmati indahnya danau toba.

Aku berbeda. Ada keriangan di dalam hatiku di setiap perjalanan. Sejak kuliah aku sudah meninggalkan Toraja dan tinggal di Jakarta. Setelah menikah aku pun harus mendampingi suamiku berpindah tugas dari satu kota ke kota lain.

Kijang Innova yang membawa kami—para penumpang dari Kota Balige menuju Kota Medan baru beberapa menit lalu meluncur. Di luar, gerimis mewarnai wajah siang di kota yang berada di tepian danau toba ini.

“Kita naik taxi saja, Kak. Kenapa harus naik becak mesin? Kakak tidak takut naik becak mesin?” jawabku sambil menatapnya. Ide naik becak mesin yang diusulkan Kak Masda tidak menarik bagiku, karena Medan masih asing bagiku. Ini kunjunganku yang pertama kalinya di kota ini

“Kenapa harus takut, Sel? Dulu, waktu masih tinggal di Medan, aku sering naik becak mesin. Menurutku becak mesin adalah kenderaan yang menyenangkan dan aman dinaiki. Dulu aku sering naik becak bersama anak-anak ke rumah ibu, berbelanja ke pajak atau urusan lainnya. Anakku pun diantar jemput naik becak mesin ke sekolahnya.”

“Sebelum ada becak mesin, di Medan banyak beroperasi becak dayung. Modelnya sama seperti becak mesin, bedanya becak dayung dijalankan dengan sepeda. Tapi seiring perjalanan waktu becak dayung jarang ditemui lagi di Medan, sebab keberadaannya dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas dan tidak efektif jika digunakan untuk jarak tempuh yang lumayan jauh,” lanjut Kak Masda.

Aku berharap perjalanan ini tidak cepat sampai di Medan, biar rencana Kak Masda untuk naik becak batal dan kami akan dijemput oleh supir Kak Intan, kakak kandung Kak Masda yang tinggal di Medan. Harapanku sia-sia, perjalanan yang memakan waktu sekitar lima jam lebih berjalan mulus. Tak ada kendala.

Mobil Kijang Innova berhenti di jalan Sisingamangaraja. Kami meluruskan punggung, sebelum membawa turun barang-barang kami. Kota Medan di waktu malam tampak indah dengan lampu-lampu yang menerangi jalan. Sejumlah toko, warung makan, hotel, travel dan sebagainya masih terus menjalankan rutinitasnya, membuat suasana malam tambah indah dan semarak. Sebagian penumpang ada yang langsung naik ke mobil yang menjemput. Ada pula yang memanggil becak mesin, sementara Kak Masda mengajakku singgah ke warung sate padang.

Potongan daging sate yang empuk dan lezat segera berpindah ke mulutku, disusul potongan lontong dan kuah yang kental. Kak Masda melakukan hal yang sama. Setelah itu kami minum es tebak yang terdiri dari pepaya, kolang-kaling, roti, tape dan sirup merah. Kami sama-sama mengagumi segarnya es tebak dan kelezatan sate yang rasanya memiliki citra rasa yang tinggi dan jarang sekali kami temui di Jakarta.

Jam di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul setengah sembilan malam, saat kami keluar dari warung sate padang. Hatiku mendadak resah.

“Kita naik taxi saja ya, Kak. Aku trauma naik becak. Aku pernah jatuh sewaktu naik becak kayuh di Jakarta,” kataku memohon. Saat itu becak kayuh yang kunaiki terbalik karena ditabrak sebuah metro mini. Lutut dan betisku berdarah, pinggang dan kepalaku terasa sakit sekali. Sejak itu aku tak pernah ingin naik becak lagi.

“Becak kayuh beda dengan becak mesin, Selly. Kenapa harus takut kau? Percayalah, kau akan ketagihan naik becak mesin. Kau akan merindukannya setelah kau di Jakarta nanti,” sebaliknya Kak Masda berkata penuh keyakinan.

“Kalau begitu kakak pilih tukang becaknya yang bersih, rapi, wajahnya tidak seram dan bodi becaknya masih terlihat baru,” kataku lagi, mengajukan syarat.

Kak Masda awalnya protes, syaratku dianggapnya berlebihan. Tapi demi aku, dia pun mulai memilih tukang becak sesuai syaratku itu. Beberapa tukang becak hanya memandang kami kecewa, karena kami hanya melewati mereka. Kami bahkan menyeberang ke arah tempat mangkal becak di depan hotel bintang tiga. Kami menemukan yang kami cari. Seorang lelaki memakai kaos biru dan topi hitam. Kak Masda mulai menyebutkan tujuan kami. Tapi ternyata menawar becak tidak segampang yang dibayangkan Kak Masda. Ongkos yang ditetapkan lelaki itu jauh lebih tinggi dari ongkos sewajarnya. Ketika Kak Masda menawar, lelaki itu malah turun dari becaknya.

“Dua puluh lima ribu ke Jalan Setiabudi. Siapa yang mau bawa?” teriaknya.

Teriakan lelaki itu mengundang tukang becak lain mengerumuni kami. Ada yang minta tambah, ada yang mengatakan tempat yang kami tuju jauh dan ada pula seolah tertawa mengejek. Kak Masda langsung menarik tanganku, menjauh dari tempat itu.

“Tukang becak sekarang banyak mentikonya, Sel. Kalau dulu tidak begitu. Lagipula kalau tidak cocok dengan ongkosnya, kenapa mesti teriak-teriak mengumumkan ke tukang becak yang lain? Macam kita barang dagangan aja,” sungutnya.

Lalu kami melangkah lagi. Kebetulan ada seorang tukang becak yang lewat di depan kami. Dari pantauan kami, dia sepertinya cocok dengan kriteria yang telah kami sepakati. Kak Masda langsung memanggil orang itu. Seorang lelaki paruh baya, berkulit sawo matang dan memakai jaket. Ongkos yang diminta lelaki itu ternyata lebih murah.

Design becak di Medan memang jauh berbeda dengan design becak Jakarta. Pengemudi dan penumpangnya berada di depan, diperantarai palang besi yang menyambung dengan jok tempat duduk dan tenda becak. Ada sebuah pijakan kecil di bawah tempat duduk untuk naik ke atas becak. Tempat duduknya tidak serasa mau jatuh seperti tempat duduk becak Jakarta.

“Ayo, naik. Kenapa bengong saja, Selly?” ujar Kak Masda. Mau tak mau naik juga aku ke atas becak.

Dan ketika mesin becak yang menggunakan sepeda motor honda mulai meraung-raung, aku memegang erat ujung kayu yang menyatu dengan tempat duduk kami sambil memejamkan mataku. Melihat itu Kak Masda menertawaiku dan mengatakan kami akan baik-baik saja. Beberapa saat setelah becak meluncur di jalan, baru aku melepaskan peganganku, karena sepertinya aku mulai merasa aman.

Inilah pengalamanku yang pertama naik becak mesin. Dengan tenda yang terbuka, rambutku melambai-lambai seperti sebuah bendera di atas tiang yang ditiup angin kencang. Jiwa lepas menikmati pengalaman menaiki becak yang sungguh sangat langka kualami dalam hidupku. Aku lebih terpana melihat Kak Masda membuka sweaternya dan mengikat di pinggangnya. Persis gaya anak remaja. Kami benar-benar happy. Tak ada beban sedikitpun. Mata kami leluasa menikmati panorama langit yang diterangi cahaya bulan dan bintang.

Kami melewati café-café tenda di pinggir jalan yang menjual makanan tradisional, seperti lontong malam, serabi, martabak, nasi gurih dan sebagainya. Deru becak mesin bersaing dengan laju kenderaan lain melewati gedung-gedung bertingkat, rumah sakit, hotel dan perumahan penduduk.

“Kak, rasanya aku ingin berhenti dan merasai makanan itu satu per satu. Sayang ya sudah malam, kalau tidak aku pasti mau singgah, Kak,” kataku.

“Jangan khawatir. Kita kan bakalan ke Medan lagi dan naik becak mesin lagi.”

Tiba-tiba becak yang kami tumpangi berguncang, karena roda becak melewati jalan yang berlubang. Aku dan Kak Masda merasa perut kami ikut bergoncang, sehingga kami serentak mengucapkan kata aduh.

“Untung kita tidak sedang hamil besar. Kalau tidak, bisa melahirkan kita di atas becak ini, Kak,” candaku, disambut Kak Masda dengan derai tawa.

Tawa kami semakin keras, ketika melihat seorang lelaki tua hampir menabrak mobil di depannya, gara-gara melirik kami dengan genit.

“Dasar tua-tua keladi. Makanya kalau jalan lihat ke depan,” seru Kak Masda.

Tak lama kemudian, si tukang becak membunyikan klakson beberapa kali. Beberapa meter dari arah yang berlawanan sekilas kulihat pengendara sepeda motor sedang memandang ke arah becak kami. Sesaat kemudian tahu-tahu sebuah sepeda motor mendekati becak kami dan salah satu pengendaranya secara paksa menarik kalung berlian yang dipakai Kak Masda! Kejadian itu begitu tiba-tiba dan membuat kami sangat terkejut. Di tengah rasa riang gembira kami, mendadak kami mengalami peristiwa yang sangat tidak kami harapkan. Untuk sesaat kami seperti dua orang yang linglung, tidak sadar dengan kejadian yang menimpa kami. Hal itu berlanjut sampai di rumah Kak Intan.

“Kau akan ketagihan naik becak mesin, Sel. Kau akan merindukannya setelah kau di Jakarta nanti,” kata-kata Kak Masda terngiang-ngiang di telingaku. ***

Tidak ada komentar: